Pulang

145 19 1
                                    

"Lo kenapa dah?" tanya Ruka pada Minji. Ia mengernyit heran, melihat sahabatnya itu senyam-senyum sedari tadi tanpa tahu alasannya. Takut kalau-kalau Minji kerasukan dedemit atau khodamnya Uni Bakwan, kan gak lucu.

"Hehe," jawab Minji singkat, masih dengan senyumannya yang mengganggu Ruka.

"Haha hehe, apaan dah? Gue ketinggalan apa? Gak biasanya lo cengar-cengir begini, tuh muka datar aja biasanya" celotehnya.

Ruang kerja Minji dan Ruka bersebelahan, jadi saat keduanya tak ada klien, mereka berkumpul untuk sekedar mengobrol atau meminum kopi bersama, seperti sekarang ini.

"Coba tebak" ucap Minji.

"Males" potongnya cepat.

"Yeuu, coba dulu napa" tawar Minji.

"Ogah, kecuali lo kasih gue sesuatu kalau tebakan gue benar" ujar Ruka asal-asalan.

"Iye dah, lu gue traktir minum kopi hari ini kalau tebakan lu bener, gue lagi in good mood soalnya" Minji menaik turunkan alisnya sembari mengulas senyum sombong, membuat Ruka berdecih.

"Pasti lo menang lotre"

"Asbun banget, sejak kapan gue ikut judi?" ujarnya tak terima, membuat Ruka tertawa keras.

"Yaudah deh, pasti lo abis jadian sama si Hanna" ralatnya.

"Hanna siapa bjir, Hanni kali" Minji makin kesal dibuatnya, untung beneran jadian, jadi stok sabarnya ke asbunnya Ruka masih ada.

"Hehe, iya, itu maksudnya" Ruka kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal itu setelah beralibi.

"Huh, untung gue jadian, jadi lo bakal tetap dapat traktiran" Keduanya pun tertawa.

"Eh, tapi lo beneran, nih?"

"Maksud lo?"

"Ya... lo beneran ngambil keputusan ini dengan ngambil banyak pertimbangan, gak? Masalahnya, karir lo bakal terancam kalau ketahuan melanggar kode etik. Yang jadi pacar lo adalah klien lo sendiri, Ji"

Ruka tidak bermaksud untuk merusak kebahagiaan Minji saat ini, tapi ia tidak ingin sahabatnya menghadapi resiko yang begitu besar, yang dapat mengancam pekerjaannya sendiri.

"Ini berat sih sebenarnya. Tapi gue pikir ini adalah keputusan yang tepat, mengingat gue sendiri tau kondisi kekasih gue secara garis besar. Mau gak mau hubungan ini dirahasiakan dulu dari publik selama beberapa waktu dan dia berhenti jadi klien gue. Kalau dia masih perlu penanganan sama psikolog atau bahkan perlu ke psikiater, gue bakal bantu cari orang yang dia butuhkan itu" jelasnya yang dijawab oleh anggukan dan deheman Ruka.

"Sebagai sahabat lo, gue cuma pengen yang terbaik buat lo berdua. So, congrats, ya, atas jadiannya! Ayo, kita minum kopi dulu sambil ngobrol-ngobrol, sesuai janji lo, lo yang bayar pesanan gue"

"Hahaha, makasih banyak, ya. Kuy, lah, kita pesen kopinya, sekalian cari makan siang"

*****

"Sayang, aku baru sampai rumah kakak" ujar Hanni, ia sekarang sedang menelpon Minji untuk mengabari keadaannya. Seperti rencananya sebelumnya, bahwa ia ingin pulang sebentar untuk menjenguk ibunya yang kebetulan masih menetap di rumah kakaknya.

"Syukurlah, kamu bersih-bersih badan aja dulu, abis itu istirahat. Nanti jangan lupa sarapan, ya, sayang"

"Iyaa, kamu juga jangan lupa mam. Nanti aku hubungin lagi, ya" ucapnya sambil mematikan telepon.

Lelah. Setelah beberapa jam perjalanan ia tempuh dengan menggunakan bis mini, sampailah ia di tempat Jennie sebelum matahari terbit dan langit masih gelap. Saat keluar dari kendaraan tadi, ia langsung disambut oleh keluarganya, minus ayahnya pastinya, karena ia sengaja tak memberitahu kepulangannya pada ayahnya itu. Semenjak kejadian kemaren, sampai saat ini ia belum ingin berinteraksi dengan ayahnya.

Sesuai perintah Minji, Hanni segera ingin tidur kembali selepas mandi. Barang-barangnya yang sedikit itu tak perlu dibereskan, ia biarkan saja di dalam tas karena ia tak akan lama tinggal disana. Tapi kantuknya hilang ketika melihat ibunya memasuki kamar mereka berdua. Melihat raut lelah di wajah ibunya membuat Hanni ingin menitikkan air mata. Segera ia memeluk ibunya erat sambil menahan tangis.

"Nak, kamu kenapa tiba-tiba pulang? Emang ada libur?" tanya ibunya dalam rengkuhan Hanni.

"Ada sebentar mah"

"Padahal kasian kamunya, capek di perjalanan tapi disini cuma sebentar" timpal ibunya lagi.

Hanni menggelengkan kepalanya yang ia sandarkan di bahu ibunya, "Nggak papa, Ma. Hanni kangen Mama. Mama gimana kabarnya?"

Hanni ingin sekali bertanya to the point tentang pertikaian ayah ibunya waktu itu, tapi entah mengapa lidahnya terasa kelu untuk mengatakannya. Ibunya menghela napas berat, diam sejenak sebelum angkat suara,

"Mama baik, kok, sayang" sahutnya sambil mengelus kepala anak bungsunya itu.

"Jangan bohong, Ma" cicit Hanni.

"Kamu pasti kepikiran yang kemaren, ya?"

Hanni hanya berdehem. Ibunya lalu melepaskan pelukan keduanya, mengajak Hanni untuk duduk di tepi ranjang.

"Mama udah gak papa, Han. Untung kakakmu kemaren langsung bawa Mama kesini. Maaf kemaren pertengkaran itu harus terjadi lagi dan kamu jadi tau itu. Mama gak tega sebenarnya kalau kamu sampai kepikiran dan ganggu kegiatan kuliah kamu" ujar ibunya, matanya terlihat berkaca-kaca. Segera Hanni menggeleng.

"Hanni khawatir sama Mama Papa. Jangan ngerasa bersalah ya, Ma."

Karena pintu kamar terbuka, terlihat Jennie melewati depan kamar itu, namun ketika menyadari bahwa ibunya dan Hanni seperti sedang membicarakan sesuatu yang serius, ia menghentikan langkahnya dan mengintip dari luar pintu.

"Permisi, aku boleh nimbrung?"

Hal itu sedikit mencairkan suasana sedih antara Hanni dan ibunya, keduanya tertawa.

"Boleh, boleh. Ayo sini, kak, ikut duduk juga" ujar Hanni sambil menepuk-nepuk tepi kasur yang kosong di sebelahnya. Jennie pun memasuki kamar dan duduk di sebrlah Hanni. Mereka mengobrol banyak hal. Dari situ Hanni tahu bahwa apa yang terjadi waktu itu hanyalah salah paham. Tapi ia tetap geram dengan ayahnya sendiri karena "kebaikannya" yang seringkali tak lihat situasi dan kondisi. Kakaknya bilang kalau ayahnya sering memberi pinjaman uang kepada tetangga dekat rumahnya yang kebetulan seorang janda. Ayahnya kasihan dengan janda itu, makanya sering beri pinjaman uang, tapi ya gitu, gak mikir risiko kedepannya bakal kayak gimana.

Janda itu terlalu sering mendatangi rumah mereka, bahkan ketika ibunya tak ada di rumah sembari membawa anak kecilnya. Janda itu baru saja cerai oleh suaminya, membuat orang-orang sekitar rumah jadi mikir yang enggak-enggak dengan ayahnya hingga lahirlah rumor bahwa ayahnya ingin menikahi janda tersebut. Walau kata ayahnya itu tak benar, tapi Jennie tetap ingin membawa ibunya untuk tinggal bersamanya untuk sementara waktu, setidaknya sampai ibunya merasa tenang.

"Aku belum ada hubungi atau ngomong apapun sama Papa setelah kejadian kemaren" ujar Hanni.

"Gak papa, dek. Kalau kamu belum siap, gak papa kok. Papa baik-baik aja. Mama juga katanya abis kamu balik ke kota bakal pulang ke rumah" kata Jennie.

"Emang Mama udah gak papa?" tanya Hanni pada ibunya.

"Aman, Han. Omong-omong, karena kamu disini, kita harus happy-happy dong! Nanti kita masak-masak atau jalan-jalan bareng, gitu. Tapi kamunya istirahat dulu aja, ya" ucap ibunya.

"Betul itu, apalagi si Anna pasti seneng banget kalau tau kamu datang. Tapi dia masih tidur ini, jadi masih gak tau kalau kamu disini. Nanti pasti dia ajak kamu buat main bareng pasu udah bangun" timpal Jennie.

Anna adalah keponakan Hanni yang berumur 3 tahun.

"Hahaha, yaudah, deh. Senang kalau kalian baik-baik aja. Aku tidur dulu ya kalau gitu"

Seperti yang dikatakan ibunya, bahwa selama kehadiran Hanni, mereka akan melakukan banyak hal-hal menyenangkan bersama sebelum ia kembali ke kegiatan perkuliahannya. Walau hanya dua hari disana, Hanni merasa sangat senang.

Di lain tempat, Minji merasa tersiksa oleh rindu karena ditinggal pergi sebentar oleh kekasih mungilnya itu. Dalam hati ia berjanji akan memeluk pacarnya erat-erat setibanya Hanni di kotanya sambil mencium gemas pipi tembamnya.

No Matter What | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang