Becca sama sekali belum mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka masuk ke mobil Freen lima belas menit yg lalu. Keheningan di dalam mobil terasa mencekam dan membuat Freen gelisah. Mereka perlu melakukan sesuatu untuk meredakan ketegangan, Freen berdehem dan membuka percakapan.
"Sudah berapa lama kau tinggal di New York?"
Becca masih menatap ke luar jendela samping mobil. Setelah beberapa detik, dia menoleh menatap Freen dan menjawab.
"Sejak orang tuaku meninggal dunia."
Lalu Becca kembali memalingkan wajah dan menatap ke luar jendela.
Oke. Tidak berhasil. Akhirnya Freen pun memilih bersikap bijak dan menutup mulutnya rapat-rapat.
Setengah jam kemudian, yg bagi Freen terasa setengah hari kemudian, mereka tiba di Oliver's Tea Parlor, tidak jauh dari Chelsea Park. Kafe kecil itu memiliki kesan zaman dulu, dengan lantainya yg berlapis kayu dan tertutup karpet, foto-foto pemandangan hitam putih yg tergantung di dinding, dan perabotan antik yy tertata rapi. Perapian besar menyala riang di ujung ruangan, membuat semua orang yg melangkah masuk merasa hangat dan nyaman.
"Aku tidak melihat kakek-kakek kita," kata Becca sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
"Aku juga tidak," Freen membenarkan.
Kafe itu bertingkat dua, tetapi Freen yakin kakeknya tidak sudi naik tangga. Pinggulnya benci tangga. Lagi pula, di lantai dasar masih tersisa meja-meja kosong.
"Bagaimana kalau kita duduk dulu sementara menunggu mereka?"
Freen tahu Becca akan menolak, membantah, atau mengatakan sesuatu yg pada dasarnya untuk menolak dan membantah, jadi Freen bergegas berjalan mendahului Becca ke arah meja. Diam-diam dia menghembuskan napas lega ketika Becca mengikutinya.
Freen melepaskan jaker dan menggantungkannya di tiang gantungan di samping perapian. Becca tidak melakukan hal yg sama. Becca duduk bersedekap di salah satu dari empat kursi berlengan empuk yg mengelilingi meja kaca antik berbentuk bulat. Dia masih mengenakan jaket dan syalnya. Bahkan tasnya masih tergantung di bahunya. Bahasa tubuhnya menunjukan bahwa dia sama sekali tidak berniat berlama-lama di sana.
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menanyakan pesanan. Freen melihat Becca hendak menggeleng, jadi dia cepat-cepat menyela dan memesan teh dan beberapa macam kue untuk mereka. Setelah si pelayan pergi, Freen melihat Becca melotot ke arahnya.
"Kita tidak menunggu kakekmu dulu sebelum memesan?" tanyanya.
Freen memilih kursi di hadapan Becca dan duduk bersandar.
"Kakeku pasti tidak keberatan apabila kita memesan lebih dulu. Lagi pula aku agak lapar. Mereka membuat scone yg enak di sini. Walaupun, tentu saja, aku yakin scone buatanmu lebih enak."
Becca menatapnya dengan tajam, namun tidak berkomentar apa-apa. Dia merogoh tas, mengeluarkan ponsel, menyentuh layarnya beberapa kali, lalu menempelkannya ke telinga.
Freen mengambil kesempatan itu untuk mengamati gadis yg duduk di hadapannya. Waktu sepuluh tahun telah mengubah Becca. Wajahnya yg dulu kurus kekanak-kanakan kini terlihat dewasa dan tajam, gerak-geriknya yg dulu canggung seperti kebanyakan anak remaja, kini terlihat anggun dan terkendali, mata cokelatnya yg dulu polos dan berkilat-kilat riang kini terlihat serius dan dingin. Perasaan Freen tidak enak memikirkan memikirkan bahwa dirinyalah yg mungkin telah melenyapkan kehangatan di mata cokelat gelap itu.