Sudah kuduga ini keputusan yang salah,
Aku; Behati melirik pria yang berdiri di depanku, berharap dia tidak menyadari kehadiranku di belakangnya. Tadi dia memasuki lift sembari memainkan ponselnya, entah sedang berkirim pesan dengan siapa, tapi apa peduliku.
Aku terlalu lelah hari ini, ada terlalu banyak pasien yang perlu aku tangani hari ini, dan hal terakhir yang aku butuhkan adalah berdebat dengannya, terlebih dengan dia yang kini berduaan denganku di lift sempit ini, setelah beberapa perawat turun di lantai enam tadi.
"Sial," runtuknya, entah pada siapa, yang jelas bukan untukku.
Aku tahu karena aku yakin dia belum menyadari keberadaanku.
Aku menyandarkan diriku di dinding besi lift yang bergerak turun, menutup mataku sejenak, berharap pintu kemana saja doraemon benar-benar nyata dan aku bisa berada di kamar kos ku sekarang, aku butuh tidur, dan tentu saja mandi- sudah dua hari aku tidak mandi...
...aku tidak bau kan? aku takut mencium bau ku sendiri-
"Hei,"
Ng,
"Apa kau mati berdiri?"
Astaga, apa dia ingin membuatku mati karena kesal? "Apa?" aku membuka mataku, merasa enggan harus menghabiskan tenagaku untuk berkomunikasi dengannya,
"Lift nya terhenti." jelasnya, dia membuatku melihat layar kecil yang biasanya menandakan lantai berapa lift berada.
"Apa?" aku melangkah mendekat, dan layar kecil yang aku maksud tidak lagi menunjukan angka tapi huruf; 'Eror' duh, apalagi ini?
"Aku sudah menekan tombol merah ini tapi tidak ada jawaban, coba kau telepon seseorang," ucapnya padaku, aku menurutinya, mencari-cari ponselku yang berada di kantong jaket merahku, dan-
"Ponselku mati," ucapku, aku lupa mengisi baterainya.
"Apa tidak ada satu pun yang benar kau lakukan?" ucapnya sinis padaku, dia kemudian mengeluarkan ponselnya, sebuah ponsel model terbaru, yang juga aku ketahui harganya tidak murah, yang dimana juga merupakan ponsel impianku. Aku mengembalikan ponsel buntut ku kembali ke kantong jaketku, aku terlalu lelah membalas ucapan kurang ajaranya barusan.
"Tidak ada sinyal," ucapnya, setelah mencoba menelpon seseorang, "Liftnya-" kalimatnya berhenti, "Apa yang kau lakukan?" tanyanya padaku.
Aku yang sudah memposisikan diri dengan nyaman, duduk di lantai, bersandar di dinding besi lift, "Menunggu?" ucapku, tampak sangat santai di matanya. Aku bahkan mengeluarkan beberapa cemilan dari tas ku, makanan darurat yang bahkan tidak sempat aku makan karena kesibukanku, "Kau mau?" tawar ku padanya.
Dia memandangku remeh, "Sebagai seorang dokter seharusnya kau tahu kalau cemilan ber MSG tidak baik bagi tubuh?" ucapnya, melipat tangannya di dada, memperlihatkan betapa bugar dirinya di bandingkan aku.
"Dan, sebagai seorang dokter, kau juga seharusnya tahu kalau makan dapat membuatku terhindar dari kematian, lebih tepatnya mati kelaparan." balasku, aku tidak ingin berdebat dengannya tapi dia duluan yang mulai.
"Lucu sekali, dokter Behati." lirihnya, sekali lagi meremehkanku.
"Tidak ada yang lucu, dokter Zachary." balasku, aku membuka bungkusan ciki ku yang berharga dan tidak akan membaginya.
Sudah ku bilang kan,
Ini keputusan yang salah...
...seandainya aku mau mendengar Julia dan Maxi untuk menunggu mereka, maka aku tidak akan terjebak di lift ini bersamanya.
Bersama pria bajingan yang sudah membuat kehidupanku di rumah sakit menjadi rumit selama setahun terakhir.
Pria yang kini berdiri di depanku, dan sepertinya akan aku bersamaku selama beberapa jam ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate You The Most
ChickLitBehati MEMBENCI Zachary, sangat membencinya... Persoalannya adalah mereka adalah kolega, teman sejawat, rekan kerja di rumah sakit yang sama. Jadi sebenci-bencinya Behati, dia tetap harus menghadapi Zachary. Alasan Behati membenci Zachary adalah kar...