3 - Comfort Zone

8 3 16
                                    

"Ran, kamu kenapa?" tanya Hana yang akhirnya menyusul ke dalam kelas.

Gadis berkacamata itu tidak menyadari Rania yang menjadi pusat perhatian di lorong beberapa menit yang lalu. Kedua matanya sibuk menatap beberapa kakak kelas yang bermain basket saat istirahat.

"Hana."

Tangis Rania kembali pecah, membuat Hana segera duduk dan memeluk temannya itu. Hana tidak mengucapkan sepatah katapun, dia sibuk mengusap punggung Rania.

Hana tidak pernah melihat Rania menangis. Selama ini, temannya adalah orang yang paling ceria dari sekian banyak orang yang ditemuinya. Melihat Rania menangis, ikut membuat hatinya merasa sakit.

"Aku takut, Han," ucap Rania pelan di tengah tangisnya.

"Kenapa? Kamu udah bisa ceritanya?"

Rania mengangguk pelan. Dia mengusap air matanya menggunakan jaket Noah, tetapi tidak dengan ingusnya. Perlahan tapi pasti, Rania menceritakan semua kejadian yang baru saja dia alami.

Hana kembali memeluk temannya itu setelah mendengar keseluruhan cerita. Dia tidak bisa menyalahkan Rania yang tidak dapat membela diri.

2 lawan 1. Sangat tidak manusiawi.

"Jadi sekarang gimana?" tanya Hana, tangannya masih mengelus pelan lengan Rania.

"Aku mau coba jauhin Noah, tapi—" Rania menarik ingusnya. "Dia malah ngasih aku jaketnya."

"Ini jaket Noah?" tanya Hana lagi, dijawab dengan anggukkan kepala. "Dia tau berarti?"

Rania menggeleng. "Aku takut Han."

Hana hanya tersenyum tipis. "I'm sorry, kamu harus ngerasain ini."

"Aku harus apa? Aku nggak ingin Noah curiga," ucap Rania pelan.

Gadis berkacamata itu hanya bisa mengusap pelan punggung temannya. Sejujurnya tidak ada yang bisa Rania lakukan selain menjauhi Noah. Namun, menurut Hana, emosi dan juga trauma Rania harus menjadi prioritas terlebih dahulu.

"Kita bicarain nanti aja, oke? Sekarang tenangin diri dulu."

Sebuah anggukkan kepala menjadi jawaban Rania. Dia kembali menarik ingusnya dan mengelap bekas air matanya. Wangi Noah yang tercium dari jaket sedikit membuat hatinya sakit. Beberapa hari lagi, dia tidak akan mencium wangi parfum yang tidak pernah tercampur dengan bau rokok itu.

"Kamu belum makan?" Hana meraih bekal Rania dan membukanya. "Makan dulu, masih ada waktu istirahatnya."

"Dikit aja, ya?"

"Harus banyak. Mana Rania yang selalu habis makanannya?"

Rania berusaha untuk tersenyum. "Yang penting aku makan, kan?"

"Rania Ardhasya."

"Siap, Nyonya."

***

Biasanya, pulang sekolah menjadi waktu yang ditunggu-tunggu Rania. Gadis berkuncir kuda itu sebentar lagi akan bertemu dengan kasur kesayangannya sembari membaca komik yang masih menumpuk di kamarnya.

Namun, untuk kali ini Rania sangat takut untuk pulang. Lebih tepatnya, takut bertemu dengan Noah. Sebelum berpisah, Hana sempat berpesan untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Selagi waktu untuk menjauhi Noah masih lama, Rania tidak perlu terburu-buru.

Rania menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya pelan. Dengan jaket Noah yang dipeluknya dan roknya yang sudah diganti dengan celana, gadis itu berjalan menuju parkiran.

Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang