8 - Bully kedua

1 1 13
                                    

Tepat sebelum bel masuk sekolah berbunyi, Rania dan Hana menyempatkan diri untuk pergi ke ruang UKS untuk mengambil plester.

Karena terburu-buru ketika turun dari motor Noah, Rania tidak menyadari bahwa kakinya sempat tegores oleh sesuatu yang merupakan bagian dari motor lelaki itu.

"Ran, adanya alkohol," ucap Hana pelan sambil meringis membayangkan rasa sakit yang akan diterima temannya itu.

"Obat merah nggak ada, Han?" tanya Rania.

Hana menggeleng, dia pun memberikan plester ke arah Rania. "Bersihin pake air aja ya di kelas?"

Rania tentu saja setuju dengan usulan Hana. Dia tidak ingin merasakan rasa ngilu ketika luka di kakinya itu bertemu dengan alkohol di pagi hari yang cerah ini.

"Pelan-pelan aja jalannya, Ran," ucap Hana ketika mereka menelusuri lorong.

"Abis ini pelajaran Bu Sena, kamu lupa, ya?"

"Aduh! Kalo gitu ngapain jalan? Lari lah!"

Luka di Rania yang masih terasa nyeri itu terpaksa harus dia abaikan untuk menyamakan langkah kakinya dengan Hana yang sudah melaju terlebih dahulu.

"Pelan-pelan, Han! Kakiku lagi luka tau!"

"Nggak dulu. Aku nggak mau kena semprot Bu Sena!"

Mereka pun berlari menulusuri sisa lorong dengan canda dan tawa. Namun, tanpa mereka sadari sesuatu yang buruk akan terjadi ketika memasuki kelas.

Meja Rania hancur lebur.

Isi tasnya yang dibiarkan berhamburan di lantai kelas, ranselnya yang berada di atas loker, bekalnya yang entah ada di mana, dan jangan lupakan kata-kata buruk yang tertulis di meja gadis itu.

"Siapa yang ngelakuin ini?!" teriak Hana.

Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Hana. Semuanya memilih untuk terdiam, mencoba untuk mengabaikan pembullyan yang jelas-jelas berada di depan matanya.

Rania tentu saja bergeming. Memang, dia tidak merasakan bully secara fisik karena Hana berada di sampingnya. Namun, itu tidak berarti Rania dapat keluar dari ancaman Danara dan Tania.

"Kenapa pada bisu sih?!" keluh Hana yang langsung buru-buru membantu Rania untuk meraih ranselnya.

Gadis berkuncir kuda itu tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya bisa buru-buru merapihkan bukunya yang berserakan di lantai.

"Rania Ardhasya."

Kondisi kelas yang berantakan dan guru sudah mulai memasuki ruangan, merupakan mimpi buruk Rania.

Bu Sena, guru matematika yang tidak begitu suka dengan kondisi ruangan seperti kapal pecah pun berjalan mendekati anak muridnya yang sedang memeluk buku paketnya. Kedua matanya kemudian melirik ke meja gadis itu yang penuh coretan.

"Kenapa meja kamu kayak gini? Udah masuk ke pelanggaran, lho," ucap Bu Sena, dingin.

"Bukan saya yang coret-coret, Bu," jelas Rania.

"Terus siapa?"

Rania menutup mulutnya rapat-rapat. Memang sudah jelas Danara dan Tanti lah dalang dibalik kekacauan ini. Namun, dia tidak memiliki bukti kalau dua gadis itu pelakunya.

"Siapa, Rania?"

"Saya nggak tau, bu."

Bu Sena menghela napasnya. Dia membenarkan kacamatanya yang gampang merosot karena hidung pesek perempuan itu.

"BK, sekarang."

"Tapi bu, bukan saya-"

"Jelasin aja alasan kamu ke Pak Bambang."

Comfort ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang