Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik awan, menyinari kampus Universitas Pelita Harapan yang mulai ramai dengan aktivitas mahasiswa. Sean melangkah ringan memasuki area kampus, kamera kesayangannya setia menggantung di leher. Senyum hangat terukir di wajahnya, menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya.
"Pagi, Sean!" sapa Nara yang sudah menunggu di depan gedung fakultas.
"Pagi, Nara!" balas Sean ceria. "Siap untuk kelas hari ini?"
Nara mengangguk antusias. "Tentu! Apalagi hari ini kita ada kelas komposisi fotografi. Kau pasti sudah tidak sabar, kan?"
Sean tertawa kecil. "Kau tahu aku selalu bersemangat untuk kelas itu."
Mereka berjalan beriringan menuju ruang kelas. Sepanjang jalan, Sean tak henti-hentinya mengamati sekeliling, mencari momen-momen kecil yang bisa diabadikannya.
"Lihat itu, Nara," bisik Sean, menunjuk ke arah sepasang kupu-kupu yang hinggap di bunga dekat air mancur kampus. Dengan cekatan, ia mengangkat kameranya dan mengambil beberapa jepretan.
Nara menggeleng-gelengkan kepala, tersenyum geli. "Kau ini, selalu saja menemukan keindahan di hal-hal kecil."
"Itulah esensi fotografi, Nara," jawab Sean sambil memeriksa hasil jepretannya. "Menemukan keajaiban dalam keseharian, mengabadikan momen yang sering terlewatkan oleh mata biasa."
Kelas komposisi fotografi hari itu membahas tentang teknik framing. Dosen mereka, Pak Rudi, menjelaskan dengan antusias tentang bagaimana menggunakan elemen-elemen alami untuk membingkai subjek foto.
"Ingat," ujar Pak Rudi, "framing bukan hanya tentang membuat foto terlihat menarik. Ini tentang mengarahkan mata penonton, memberi konteks, dan menambah kedalaman pada cerita yang ingin kalian sampaikan melalui foto."
Sean mendengarkan dengan seksama, sesekali mencatat poin-poin penting. Ia selalu merasa bersemangat setiap kali belajar teknik baru dalam fotografi.
Seusai kelas, Sean dan Nara memutuskan untuk mempraktikkan langsung apa yang baru mereka pelajari. Mereka berjalan-jalan di sekitar kampus, mencari objek yang menarik untuk difoto.
"Hei, coba lihat ini," panggil Sean. Ia mengarahkan kameranya ke arah sebuah pohon tua yang rindang. Melalui celah-celah daun dan ranting, terlihat siluet menara kampus yang menjulang tinggi.
"Wow, Sean! Itu framing alami yang sempurna!" puji Nara.
Sean tersenyum puas. "Ini yang Pak Rudi maksud. Pohon ini membingkai menara dengan indah, memberikan konteks tentang lingkungan kampus kita."
Mereka terus berkeliling, Sean dengan semangat menjelaskan kepada Nara tentang berbagai teknik komposisi yang ia terapkan dalam setiap jepretannya. Nara mendengarkan dengan penuh minat, sesekali memberikan komentar atau saran.
"Kau tahu, Sean," ujar Nara saat mereka beristirahat di kantin kampus, "aku selalu kagum dengan passion-mu dalam fotografi. Kau benar-benar mencintai apa yang kau lakukan."
Sean tersenyum lembut. "Fotografi bukan sekadar hobi bagiku, Nara. Ini caraku melihat dan memahami dunia. Setiap foto yang kuambil adalah potongan waktu yang diabadikan, cerita yang ingin kubagikan dengan orang lain."
Nara mengangguk paham. "Itu yang membuatmu berbeda, Sean. Kau tidak hanya mengambil gambar, tapi kau menangkap esensi dari momen itu."
.
.
.
.
.
.Sementara itu, di sisi lain kota Jakarta, Gara melangkah tegap memasuki gedung pencakar langit tempat kantornya berada. Wajahnya yang tampan namun dingin membuat beberapa karyawan yang berpapasan dengannya menunduk hormat.
"Selamat pagi, Pak Gara," sapa sekretarisnya begitu ia memasuki ruangan.
Gara hanya mengangguk singkat sebagai balasan. Ia langsung menuju meja kerjanya, mulai memeriksa dokumen-dokumen yang menumpuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVOTION
Romance"Jika mencintainya berarti harus menahan rasa sakit ini selamanya, maka aku akan melakukannya. Karena melihatnya bahagia adalah segalanya bagiku." Sean . . . . . . . . Sean yang mencintai Gara dengan tulus, meskipun cinta tersebut menyebabkan rasa s...