Chapter 3

46 9 0
                                    

Senja mulai merayap di cakrawala Jakarta, melukis langit dengan warna jingga keemasan. Sean melangkah keluar dari galeri, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Gara dan misteri di balik mata sendunya. Ia tidak bisa menahan senyum mengingat janji Gara untuk menjadi objek fotonya suatu hari nanti. Ada sesuatu dalam diri pelukis itu yang menariknya, seperti gravitasi yang tak kasat mata.

Sementara itu, di sebuah apartemen mewah di pusat kota, Gara baru saja tiba. Ia menemukan Aska duduk di sofa, menunggunya dengan wajah cemberut. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, kontras dengan kulit putihnya yang bersinar di bawah cahaya temaram ruangan.

"Kau terlambat," ujar Aska, suaranya lembut namun ada nada kecewa yang tak bisa disembunyikan.

Gara menghela napas, merasakan beban tak kasat mata di pundaknya. "Maaf, ada beberapa hal yang harus kuurus di galeri."

Aska bangkit, berjalan mendekati Gara dengan langkah anggun. Tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik sekaligus tampan membuat banyak orang iri, tapi saat ini yang ia inginkan hanyalah perhatian kekasihnya.

"Sayang," bisik Aska, tangannya membelai dada Gara lembut. "Aku merindukanmu. Kita jarang sekali punya waktu bersama akhir-akhir ini."

Gara menatap Aska, ada kilatan kerinduan di matanya, tapi juga keraguan yang tak bisa ia jelaskan. "Aska, kau tahu aku-"

"Ya, aku tahu," potong Aska, ada nada frustrasi dalam suaranya. "Tapi tidak bisakah kita setidaknya menghabiskan waktu bersama? Menonton film? Atau hanya berbaring dan berpelukan?"

Gara terdiam sejenak, merasakan konflik batin yang semakin menjadi. Akhirnya, ia mengangguk. "Baiklah. Ayo kita nonton film."

Mereka duduk di sofa, Aska menyandarkan kepalanya di bahu Gara sementara film berputar di layar TV besar di depan mereka. Namun pikiran Gara melayang entah kemana. Ke galeri, ke lukisan-lukisannya, dan anehnya, ke sosok Sean yang baru ia temui hari ini.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Aska, mendongak menatap Gara.

Gara tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya. "Tidak ada. Hanya... pekerjaan."

Aska menghela napas, ada kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Selalu saja pekerjaan. Apa kau masih mencintaiku, Gara?"

Pertanyaan itu membuat Gara tersentak. Ia menatap Aska lekat-lekat, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya sendiri. "Tentu saja aku mencintaimu. Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Karena," Aska menelan ludah, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya, "kadang aku merasa kau begitu jauh. Seolah ada tembok tak kasat mata di antara kita."

Gara memeluk Aska erat, mencium puncak kepalanya lembut. Aroma shampo Aska yang familiar menggelitik hidungnya, mengingatkannya akan saat-saat bahagia mereka dulu. "Maafkan aku. Aku akan berusaha lebih baik."

Namun jauh di lubuk hatinya, Gara merasakan kekosongan yang tidak bisa ia jelaskan. Sebuah ruang hampa yang entah mengapa terasa sedikit berkurang saat ia bertemu Sean tadi. Perasaan ini membuatnya takut, bingung, dan merasa bersalah pada saat yang bersamaan.

Keesokan harinya, Sean duduk di taman kampus, memandangi hasil jepretannya di galeri kemarin. Matanya terpaku pada foto lukisan Gara, sosok yang tenggelam dalam kegelapan namun tangannya terulur ke arah cahaya. Ada sesuatu dalam lukisan itu yang berbicara padanya, seolah memanggil jiwanya.

"Masih memikirkan Gara?" suara Nara mengejutkannya.

Sean tersenyum malu, merasakan pipinya memanas. "Apa terlihat jelas sekali?"

Nara duduk di samping Sean, menatap sahabatnya dengan khawatir. Rambut pirang pendeknya bergoyang lembut tertiup angin. "Sean, aku tahu kau tertarik padanya. Tapi ingat, dia sudah punya kekasih."

"Aku tahu, Nara," Sean menghela napas, merasakan pergolakan dalam hatinya. "Tapi ada sesuatu tentang dia. Sesuatu yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh. Bukan dalam konteks romantis, tapi... entahlah. Aku merasa ada cerita di balik lukisan-lukisannya yang ingin kuungkap."

Nara menepuk bahu Sean lembut, matanya menyiratkan kekhawatiran. "Hati-hati, Sean. Jangan sampai kau terluka. Dunia seni bisa sangat rumit dan penuh drama."

Sean mengangguk, tersenyum pada sahabatnya. "Terima kasih, Nara. Aku akan berhati-hati."
.
.
.
.
.
.

Sementara itu, di studionya, Gara berdiri di depan kanvas kosong. Tangannya menggenggam kuas, tapi ia ragu untuk mulai melukis. Pikirannya melayang ke pertemuannya dengan Sean kemarin, ke mata cokelat hangat pemuda itu yang seolah bisa melihat jauh ke dalam jiwanya.

Gara menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan Sean. Ia mulai menggoreskan kuasnya di atas kanvas, menciptakan bentuk-bentuk abstrak yang mencerminkan kekacauan dalam hatinya. Warna-warna gelap bercampur, membentuk pusaran emosi yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Tanpa ia sadari, lukisan yang tercipta mulai membentuk siluet sesosok pemuda dengan kamera di tangannya, berdiri di tengah padang bunga yang dipenuhi kupu-kupu. Sebuah gambaran yang jauh berbeda dari karya-karya gelapnya selama ini.

Gara tertegun menatap lukisannya. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya merasa... hidup? Ia merasakan jantungnya berdebar lebih kencang, seolah ada energi baru yang mengalir dalam dirinya.

Ponselnya berdering, menampilkan nama sang pujaan hati di layar. Gara menatap ponselnya lama, merasakan konflik batin yang semakin menjadi. Akhirnya, dengan tangan sedikit gemetar, ia mengangkat telepon.

"Halo, sayang," suara Aska terdengar ceria di seberang sana. "Aku punya kabar baik! Aku dapat tawaran pemotretan di Paris minggu depan. Bukankah itu luar biasa?"

Gara merasakan dunianya seolah berhenti berputar. Ia mencoba tersenyum, meski Aska tak bisa melihatnya. "Selamat, Sayang. Aku turut senang mendengarnya."

"Terima kasih! Oh, aku harus pergi sekarang. Ada fitting kostum. Sampai nanti, sayang. Aku mencintaimu!"

"Aku juga," balas Gara pelan sebelum sambungan terputus.

Gara kembali menatap lukisannya, merasakan pergolakan emosi yang semakin intens. Entah mengapa, ia merasa lukisan ini menceritakan lebih banyak tentang dirinya daripada semua karya gelapnya selama ini. Apakah ini pertanda? Ataukah hanya khayalan dari hatinya yang mulai goyah?

***

Di sudut lain kota, Sean duduk di kamarnya, memandangi kartu nama Gara. Ia menimbang-nimbang, haruskah ia menghubungi pelukis itu? Mengajukan ide untuk sesi foto? Jantungnya berdebar kencang hanya dengan memikirkannya.

Dengan tangan sedikit gemetar, Sean akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan.

"Selamat malam, Pak Gara. Ini Sean, mahasiswa fotografi yang Anda temui di galeri. Saya ingin tahu apakah Anda masih bersedia untuk sesi foto yang saya usulkan kemarin? Terima kasih."

Sean menekan tombol kirim, merasakan campuran antara harapan dan kecemasan. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah ini.

Malam semakin larut di Jakarta. Di berbagai sudut kota, tiga jiwa yang terhubung oleh benang tak kasat mata menjalani malam mereka dengan pikiran masing-masing. Sean dengan rasa penasaran dan harapan yang membuncah, Gara dengan kebimbangan hati yang semakin menjadi, dan Aska dengan ambisi karir yang mungkin akan mengubah segalanya.

Takdir telah mulai menenun kisah mereka, menciptakan tapestri rumit yang akan membawa mereka ke dalam perjalanan menemukan cinta, passion, dan jati diri mereka yang sesungguhnya. Dan malam itu, di bawah langit Jakarta yang dipenuhi bintang, tiga hati yang gelisah mulai melangkah ke arah perubahan yang tak terelakkan.



TBC
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa vote guys

DEVOTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang