Chapter 5

50 8 2
                                    

Gara melangkah masuk ke gedung pencakar langit tempat kantor pusat perusahaannya berada. Sepatu pantofelnya berketuk di lantai marmer, menciptakan irama yang senada dengan detak jantungnya yang stabil. Wajahnya tenang, tak menunjukkan emosi apapun - sebuah topeng sempurna yang telah ia kenakan selama bertahun-tahun.

"Selamat pagi, Pak Gara," sapa resepsionis dengan senyum profesional.

Gara mengangguk singkat, melanjutkan langkahnya menuju lift. Di dalam, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Jas hitam yang pas badan, dasi merah yang rapi, dan ekspresi yang tak terbaca. Sempurna, pikirnya. Inilah Gara yang dikenal dunia - dingin, profesional, dan tak tersentuh.

Lift berdenting, membuka ke lantai eksekutif. Gara melangkah keluar, disambut oleh sekretarisnya.

"Pak, ada meeting dengan tim kreatif pukul 10, lalu makan siang dengan investor pukul 1," ujar sekretarisnya, membacakan jadwal.

Gara mengangguk. "Baik, terima kasih."

Hari-harinya selalu seperti ini - meeting yang tak ada habisnya, keputusan-keputusan penting yang harus diambil, dan ekspektasi yang harus dipenuhi. Namun Gara menjalani semuanya dengan tenang, seolah tak ada beban yang ia pikul.

Siang hari, setelah makan siang dengan investor, ponsel Gara berdering. Nama Satria muncul di layar.

"Halo, Satria," sapa Gara.

"Gara! Malam ini kita harus keluar. Aku tidak menerima penolakan," suara Satria terdengar bersemangat di seberang sana.

Gara menghela napas. "Satria, kau tahu aku sibuk-"

"Justru karena kau sibuk, kau perlu refreshing," potong Satria. "Ayolah, kita ke club malam ini. Aku sudah mengatur semuanya."

Gara terdiam sejenak. Mungkin Satria benar, ia memang butuh refreshing. "Baiklah," akhirnya ia menyerah.

"Yes! Kujemput jam 9 ya," Satria terdengar senang sebelum menutup telepon.

Malam itu, Gara berdiri di depan cermin di apartemennya. Ia mengenakan kemeja hitam yang pas badan dan celana jeans. Untuk sesaat, ia menatap pantulan dirinya. Di balik topeng dingin itu, ada kekosongan yang tak bisa ia jelaskan.

Tepat pukul 9, Satria menjemputnya. Mereka meluncur ke salah satu club VIP paling eksklusif di Jakarta. Begitu masuk, musik yang menghentak menyambut mereka.

"Gara! Satria!" sebuah suara familiar memanggil.

Mereka menoleh, mendapati Reza Nugroho dan Dimas Wijaya - teman sekolah mereka dulu yang kini sama-sama telah menjadi pengusaha sukses.

"Wah, reuni kecil-kecilan nih," Satria tertawa, memeluk kedua temannya.

Gara tersenyum tipis, memberikan pelukan singkat pada Reza dan Dimas. "Lama tidak bertemu," ujarnya.

Mereka duduk di area VIP, memesan minuman dan mulai berbincang. Obrolan mengalir dari bisnis hingga kenangan masa sekolah. Tawa dan canda memenuhi meja mereka, membuat suasana terasa ringan.

"Hei Gara, bagaimana kabar Aska?" tanya Reza di sela-sela obrolan.

Gara terdiam sejenak sebelum menjawab, "Baik. Dia sedang ada pemotretan di Paris."

"Wah, keren!" seru Dimas. "Kalian masih langgeng ya."

Gara hanya tersenyum, menyesap minumannya. Ia bersyukur cahaya remang club menyembunyikan ekspresinya yang sesungguhnya.

Malam semakin larut, musik semakin menghentak. Satria dan yang lain mulai turun ke lantai dansa, meninggalkan Gara sendiri di meja.

"Ayo Gara, turun!" ajak Satria.

DEVOTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang