Chapter 4

33 9 0
                                    

Fajar mulai menyingsing di ufuk timur Jakarta ketika Gara terbangun dari tidur gelisahnya. Ia menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali melayang ke pesan Sean semalam. Entah mengapa, ada desiran aneh di dadanya setiap kali ia mengingat pemuda itu.

Dengan helaan napas panjang, Gara bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirainya lebar-lebar. Cahaya matahari pagi menerobos masuk, menyinari studio apartemennya yang dipenuhi lukisan-lukisan gelap.

Namun, di antara lukisan-lukisan itu, satu kanvas berdiri mencolok. Lukisan yang ia buat semalam - siluet pemuda dengan kamera di tengah padang bunga. Gara menatapnya lama, merasakan pergolakan batin yang semakin intens.

Ponselnya berdering, memecah keheningan pagi. Nama Aska muncul di layar.

"Pagi, sayang," suara Aska terdengar ceria. "Aku ingin memberitahumu, aku sudah mengonfirmasi tawaran pemotretan di Paris."

Gara merasakan jantungnya mencelos. "Oh... begitu. Kapan kau akan berangkat?"

"Minggu depan," jawab Aska. "Tapi sayang... ada satu hal lagi."

"Ya?"

"Kontraknya... untuk tiga bulan."

Dunia Gara seolah runtuh saat itu juga. Tiga bulan. Itu waktu yang sangat lama. Namun, ia menelan kekecewaannya dan berkata dengan suara yang ia usahakan terdengar ceria, "Itu kesempatan yang luar biasa, Aska. Kau harus mengambilnya."

"Kau yakin tidak apa-apa? Maksudku, kita baru saja..."

"Aku yakin," potong Gara lembut, meski hatinya berteriak sebaliknya. "Ini mimpimu, aku akan selalu mendukungmu."

"Oh, sayang. Aku mencintaimu. Terima kasih atas pengertianmu."

"Aku juga mencintaimu."

Setelah menutup telepon, Gara terduduk lemas di lantai studionya. Ia menatap lukisan-lukisannya yang gelap dan suram. Ironis, pikirnya, bagaimana lukisan-lukisan itu kini mencerminkan perasaannya dengan sempurna.

Tiga bulan. Ia akan kembali sendirian selama tiga bulan. Harapan yang baru saja ia bangun kembali hancur berkeping-keping.

Sementara itu, di sudut lain kota, Sean sedang asyik memotret di taman kampus. Senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya, membuat orang-orang di sekitarnya ikut tersenyum.

"Sean! Foto aku dong!" seru seorang mahasiswi.

Sean tertawa riang, matanya berbinar-binar. "Tentu! Ayo, berpose yang cantik!"

Ia mengambil beberapa foto, memberikan instruksi dengan penuh semangat. Orang-orang di sekitarnya tak bisa tidak tertular keceriaannya.

"Sean, kau ini selalu ceria ya," komentar Nara yang baru saja bergabung. "Apa rahasianya?"

Sean mengangkat bahu, masih tersenyum. "Tidak ada rahasia. Aku hanya mencoba melihat keindahan dalam setiap hal, sekecil apapun itu."

Nara menggelengkan kepala, takjub. "Kau ini benar-benar unik, Sean."

Sean hanya tertawa, lalu kembali sibuk dengan kameranya. Ia mengambil foto-foto random: kupu-kupu yang hinggap di bunga, sepasang kakek-nenek yang duduk di bangku taman, seorang anak kecil yang sedang bermain layangan.

Namun, di tengah kesibukannya, pikiran Sean kembali melayang pada Gara. Sudah seminggu sejak ia mengirim pesan pada pelukis itu, tapi belum ada balasan. Sean menghela napas, berusaha mengenyahkan perasaan kecewa yang mulai menggerogotinya.

"Hei, Sean!" panggil Nara. "Kau melamun?"

Sean tersentak. "Ah, tidak. Hanya... memikirkan sesuatu."

Nara menatap Sean dengan seksama, menyadari ada sesuatu yang mengganggu pikiran sahabatnya itu. "Kau masih memikirkan Gara?"

Sean mengangguk pelan. "Ya, tapi tidak apa-apa. Mungkin dia sibuk."

.

.

.

.

.

.

Sementara itu, ditempat yang berbeda, di studio apartemennya, Gara berusaha fokus pada lukisan barunya. Kanvas putih di hadapannya perlahan terisi oleh goresan-goresan warna gelap, mencerminkan suasana hatinya. Kesendirian yang ia rasakan setelah kepergian Aska ke Paris terasa semakin menekan.

Namun, Gara bukanlah orang yang asing dengan kesendirian. Ia telah terbiasa dengan sunyi yang melingkupinya, dengan ruang kosong yang seolah menelan seluruh studio. Kuas di tangannya terus bergerak, seolah berusaha mengisi kekosongan itu dengan warna-warna suram.

Ponselnya bergetar, menampilkan notifikasi pesan. Gara melirik sekilas, melihat nama Sean di layar. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pesan tersebut.

"Selamat siang, Pak Gara. Maaf mengganggu. Saya ingin menanyakan kembali tentang kemungkinan sesi foto yang pernah saya usulkan. Apakah Anda memiliki waktu dalam waktu dekat ini? Terima kasih."

Gara membaca pesan itu berulang kali. Ada sesuatu dalam kesopanan dan kehati-hatian Sean yang membuatnya tersenyum tipis. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk membalas.

"Selamat siang, Sean. Tidak mengganggu sama sekali. Saya sedang memiliki beberapa proyek, tapi mungkin kita bisa mengatur jadwal dalam dua minggu ke depan. Bagaimana dengan hari Sabtu, dua minggu dari sekarang?"

Tak lama kemudian, balasan dari Sean datang. "Terima kasih atas tanggapannya, Pak Gara. Hari Sabtu dua minggu dari sekarang sangat baik. Apakah ada lokasi khusus yang Anda inginkan untuk sesi foto ini?"

Gara berpikir sejenak sebelum menjawab. "Bagaimana kalau di taman kota? Saya rasa suasana alam bisa memberikan nuansa yang menarik untuk foto."

"Ide yang bagus, Pak. Saya setuju. Terima kasih banyak atas kesediaannya. Saya akan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik."

Setelah mengakhiri percakapan, Gara kembali menatap lukisannya. Entah mengapa, ia merasa ada sedikit cahaya yang menerobos masuk ke dalam kegelapan yang ia lukis. Mungkinkah ini pertanda sesuatu yang baru?

Hari-hari berlalu dengan Gara tenggelam dalam rutinitas melukisnya. Ia menghabiskan waktu di studionya, kadang lupa makan atau tidur. Kesendirian telah menjadi temannya yang setia, meski terkadang ia merindukan kehangatan kehadiran seseorang.

Malam-malam panjang diisi dengan coretan sketsa dan sapuan kuas. Gara mencurahkan seluruh emosinya ke dalam setiap lukisan, menciptakan karya-karya yang semakin dalam dan kompleks. Namun di balik semua itu, ada secercah harapan yang mulai tumbuh - harapan akan pertemuan dengan Sean yang mungkin bisa membawa warna baru dalam hidupnya.

Sementara itu, Sean sibuk mempersiapkan diri untuk sesi foto yang akan datang. Ia mempelajari teknik-teknik baru, mencari referensi, dan berlatih dengan tekun. Meski hubungan mereka masih sangat formal, ada sesuatu dalam diri Gara yang membuatnya ingin memberikan yang terbaik.

Waktu terus bergulir, membawa mereka semakin dekat ke hari yang telah dijanjikan. Baik Gara maupun Sean, tanpa mereka sadari, mulai menghitung hari dengan perasaan yang campur aduk - antusias, gugup, dan penuh harapan akan apa yang mungkin terjadi saat mereka kembali bertemu.








TBC

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jangan lupa vote ya

DEVOTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang