Chapter 6

49 8 0
                                    

Fajar menyingsing, memancarkan cahaya hangat yang menerangi kamar Sean. Pemuda itu terbangun dengan senyum lebar, semangatnya meluap-luap untuk menyambut hari baru.

"Hari ini pasti akan menjadi hari yang luar biasa!" gumamnya riang sambil beranjak dari tempat tidur.

Sean memulai harinya dengan sarapan sehat dan olahraga ringan. Sembari menikmati secangkir kopi, ia memandangi kalender di dinding, menghitung hari menuju pertemuannya dengan Gara.

"Tinggal tiga hari lagi," batinnya, jantungnya berdegup kencang karena antusias.

Setelah bersiap-siap, Sean berangkat ke kampus dengan semangat menggebu-gebu. Di sepanjang perjalanan, ia tak henti-hentinya tersenyum dan menyapa setiap orang yang ia temui.

***

Sesampainya di kampus, Sean langsung disambut oleh teman-temannya yang sedang berkumpul di taman.

"Hei, Sean! Kau terlihat sangat bersemangat hari ini," sapa salah satu temannya.

Sean tertawa riang. "Bukankah setiap hari memang harus disyukuri dan dijalani dengan semangat?"

Beberapa mahasiswa yang sedang kebingungan dengan tugas fotografi mereka mendekati Sean, meminta bantuan.

"Sean, bisa ajari kami teknik low light photography?" tanya seorang mahasiswi dengan wajah memelas.

"Tentu saja!" jawab Sean antusias. "Ayo kumpul di sini, akan kujelaskan step by step."

Selama satu jam berikutnya, Sean dengan sabar menjelaskan berbagai teknik fotografi kepada teman-temannya. Matanya berbinar-binar saat berbagi pengetahuan, dan ia tak segan memberikan tips dan trik yang ia pelajari dari pengalamannya.

"Ingat, kunci utama fotografi bukan hanya teknik, tapi juga rasa. Kalian harus bisa menangkap esensi dari objek yang kalian foto," ujar Sean, mengakhiri sesi sharing-nya.

Teman-temannya bertepuk tangan, merasa tercerahkan oleh penjelasan Sean yang mudah dipahami.

"Terima kasih, Sean! Kau memang yang terbaik," puji salah satu temannya.

Sean hanya tersenyum malu. "Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan melalui fotografi," batinnya.

Setelah kelas selesai, Sean memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, mencari objek menarik untuk difoto. Di tengah keramaian taman, matanya tertuju pada seorang nenek tua yang duduk sendirian di bangku taman.

Terdorong oleh rasa empati, Sean mendekati nenek tersebut.

"Permisi, Nek. Boleh saya duduk di sini?" tanya Sean dengan sopan.

Nenek itu menoleh, tersenyum lemah. "Oh, tentu saja, Nak. Silakan."

Sean duduk di samping nenek itu, meletakkan kameranya dengan hati-hati.

"Nenek sedang menunggu seseorang?" tanya Sean, memulai percakapan.

Nenek itu menggeleng pelan. "Tidak, Nak. Nenek hanya sedang menikmati sore hari. Sudah jadi kebiasaan Nenek untuk duduk di sini setiap sore."

Sean mengangguk, merasakan ada kesedihan dalam suara nenek itu. "Pasti menyenangkan ya, Nek, bisa menikmati keindahan taman ini setiap hari."

"Ya, taman ini menyimpan banyak kenangan indah bagi Nenek," jawab nenek itu, matanya menerawang. "Dulu, Nenek dan almarhum suami Nenek sering menghabiskan waktu di sini."

Sean terdiam sejenak, merasakan kesedihan nenek itu. "Nenek pasti sangat merindukan beliau."

Nenek itu mengangguk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Setiap hari, Nak. Terkadang kesepian itu terasa begitu menyesakkan."

DEVOTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang