Hari yang ditunggu-tunggu Sean akhirnya tiba. Dengan kamera tersandang di bahu dan senyum mengembang di wajah, ia melangkah menuju lokasi pemotretan yang telah disepakati dengan Gara. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara semangat dan sedikit kegugupan.
Sean mengecek kembali alamat di ponselnya, memastikan ia berada di tempat yang tepat. Di hadapannya berdiri sebuah gedung tinggi yang elegan, tempat studio Gara berada. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara gugup dan antusias.
Ini dia, batinnya. Akhirnya aku akan bertemu dengannya.
Dengan langkah mantap, Sean memasuki gedung dan menaiki lift menuju lantai tempat studio Gara berada. Sepanjang perjalanan, ia memikirkan kembali pertemuan singkat mereka di pameran tempo hari.
Ada sesuatu dalam matanya, Sean merenungkan. Sesuatu yang dalam... mungkin kesepian?
Pintu lift terbuka, dan Sean melangkah keluar. Ia berhenti sejenak di depan pintu studio, menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk.
"Masuk," terdengar suara berat dari dalam.
Sean membuka pintu perlahan, matanya langsung terpukau oleh pemandangan di hadapannya. Studio Gara adalah ruangan luas dengan jendela-jendela besar yang membiarkan cahaya alami masuk, menerangi berbagai karya seni yang tersebar di seluruh ruangan.
Di tengah ruangan, berdiri Gara, sibuk dengan sebuah kanvas besar. Ia menoleh sekilas ke arah Sean, ekspresinya datar.
"Selamat siang, Gara," sapa Sean, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. "Saya Sean, yang kemarin bertemu Anda di pameran."
Gara mengangguk pelan, meletakkan kuasnya. "Ya, saya ingat. Silakan masuk."
Sean melangkah masuk, matanya tak berhenti mengagumi setiap detail studio itu. Namun, lebih dari itu, ia mengamati Gara. Melalui lensa fotografernya, Sean bisa melihat lebih dari yang terlihat oleh mata biasa.
Ada keindahan yang tersembunyi di balik ekspresi dinginnya, Sean membatin. Seolah ada api yang terkubur dalam-dalam, menunggu untuk dibebaskan.
"Jadi," Gara memecah keheningan, "Anda ingin memotret saya?"
Sean mengangguk antusias. "Ya, jika Anda mengizinkan. Saya ingin menangkap esensi dari seniman di balik karya-karya luar biasa ini."
Gara terdiam sejenak, matanya menelusuri wajah Sean seolah mencari sesuatu. "Mengapa?" tanyanya akhirnya.
Pertanyaan itu membuat Sean terkejut. Ia tidak menyangka akan ditanya demikian. Namun, dengan cepat ia menemukan jawabannya.
"Karena saya percaya bahwa di balik setiap karya seni yang hebat, ada cerita yang lebih hebat lagi," Sean menjawab dengan tulus. "Dan saya ingin menangkap cerita itu melalui lensa kamera saya."
Untuk sesaat, Sean melihat sesuatu berkilat di mata Gara. Sebuah emosi yang cepat menghilang, namun cukup untuk membuat Sean yakin bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik topeng dingin Gara.
"Baiklah," Gara akhirnya menjawab. "Anda boleh memotret saya. Tapi dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Saya ingin melihat hasilnya sebelum Anda menggunakannya untuk apapun."
Sean mengangguk setuju. "Tentu saja. Saya akan menghormati privasi Anda."
Mereka mulai sesi pemotretan. Sean bekerja dalam diam, sesekali memberi arahan lembut kepada Gara. Melalui lensanya, ia melihat sisi-sisi Gara yang mungkin tak pernah dilihat orang lain.
Ada kesepian yang mendalam di matanya, Sean membatin saat mengambil close-up wajah Gara. Seolah ia merindukan sesuatu... atau seseorang.
"Boleh saya tahu," Sean memberanikan diri bertanya di sela-sela jepretannya, "apa yang menginspirasi Anda dalam berkarya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVOTION
Romance"Jika mencintainya berarti harus menahan rasa sakit ini selamanya, maka aku akan melakukannya. Karena melihatnya bahagia adalah segalanya bagiku." Sean . . . . . . . . Sean yang mencintai Gara dengan tulus, meskipun cinta tersebut menyebabkan rasa s...