Bab I

11 2 0
                                    

La mort n'est pas un enfer, on meurt simplement au paradis.

Aku tidak terlalu serius menanggapinya, tapi ketika mendengarnya menumpahkan sitrun dan sebotol penuh terisi lagi, mungkin aku tidak akan langsung meninggalkannya. Air memenuhi nampan logam, menggenang dari sisi ke sisi. Aku meletakkan perhatianku pada seekor lalat yang hinggap di dalam gelas kaca terbalik. Ketika campuran sitrun mulai berada di permukaan, lalat itu pergi ke dinding gelas, hinggap di sana dan kebingungan setengah putus asa. Kulihat Wallace tersenyum saat akhirnya melihat reaksi kecil. Bulu matanya lentik hampir seperti kapas dix, membuatku melepas perhatianku dari gelas sebentar dan beralih ke matanya. Menyadari hal ini, tatapannya terangkat.
"Apa yang kau perhatikan?" Tuntutnya.
Aku tersenyum, "Tidak ada, hanya seekor lalat terjebak ..."
Dia tertawa kecil dan berkata, "Kamu tidak pandai berbohong," sambil memiringkan kepalanya.
"Aku tahu." ungkapku sambil mengangguk, mataku kembali menatap gelas kaca yang terbalik, "jadi, tolong jangan diperpanjang." tambahku.
Setelah tersenyum kecil akhirnya dia menunduk. Lengannya terulur, mengotak-atik nampan sambil menahan ujung gelas. Kurasa akibat itu sekarang lalat itu jatuh di permukaan nampan logam. Tubuhnya tergeletak kaku di atas genangan dengan kaki-kaki di udara dan sayap katunnya dalam keadaan sudah setengah mengkristal. Dari Matanya putih-pucat ... dan aku yakin serangga itu sudah mati. Dengan kagum aku mendekatkan pandanganku di kaca, jika saja aku cukup berpengetahuan aku tidak akan bersikap eksentrik.
"Cantik, bukan? Siapa yang mengira membuat sitrun dan sulfat dalam satu tempat dapat membuat sayapnya rapuh?" Wallace mengumumkan setelah melihatku bersikap.
Aku mendongak dan menatapnya, tersenyum,
"Tidak, tidak ada." kataku,
"Baiklah," dia mendorong nampan logam ke arahku, "kamu pasti tidak paham,-"
"Memang tidak," Tegasku, dan tersenyum, kembali ke kaca.
"Perhatikan ini!" Wallace mengangkat gelasnya, melanjutkan dengan nada bicara melankolis, "tubuhnya tidak benar-benar mati. Sebentar lagi akan berubah menjadi batu. Bisa dibilang hanya membius kesadaran dan diawetkan."
Aku tersenyum, "Aku jadi tidak yakin jika air tadi hanya campuran sitrun dan kompos sulfat!" Ungkapku penasaran.
Dia menggaruk telinga dan menatap lalat yang terkapar.
"Ada benarnya," jelasnya, "tentu zat lainnya tidak diketahui, tapi cukup untuk percobaan."
"Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" Aku menuntut.
Lengannya terulur mengambil pinset, dengan hati-hati memungut jasad serangga, dan meletakkannya pada piring putih yang lebih kecil dari nampan logam.
Kuperhatikan baik-baik, karena proses metamorfosisnya hampir luar biasa, aku membungkuk sedikit, mataku berbatasan kuncup sisi meja mahoni. Dan sekarang, dari detik ke detik, warna tubuh lalat gemuk itu mulai bermetamorfosa ... warna hijaunya berubah lebih gelap, matanya yang pucat sekarang seputih salju merah, sedangkan sayapnya yang rapuh dan mengkristal kini terlihat lebih keras akibat membeku,- tidak lama, ada gerakan di kakinya. Gerakannya kaku, tidak bertahan lama, karena selaput kristal sudah mencapai abdomen dan merayap ke toraks, selaput ini mengeluarkan sedikit busa yang hampir mikroskopis tapi masih dapat dilihat dengan mata telanjang jika kau cukup dekat. Sekarang busa ini berasa di duri kaki, merambat ke setiap inci, baru menghabiskan kakinya setelah 20 detik. Sepertinya Wallace juga tahu akan hal ini, tetapi memilih diam. Jadi aku mengajukan pertanyaanku: "Kau melihat fenomena ini di Museum Dahilberg minggu lalu?"
Dia terdiam. Tapi aku menuntutnya berbicara. "Wallace!"
Dia tersentak di tempat, matanya mendongak dan memandangku sebentar.
"Ah," dia mendesah dan tersenyum, "sedikit, bahkan hampir tidak ada, tapi bukan ini yang terjadi!"
Aku menyadari jika ada sebongkah komplikasi. Lalu dengan tenang, kuhampiri dia di seberangku dan berdiri di sampingnya.
"Jadi serangga itu tidak sepenuhnya mati?" Aku menuntut ragu.
"Apa yang bisa kukatakan selain itu?" Jawabnya lebih tegas. Aku mengangguk dan berusaha memaklumi. Meski demikian ini juga bukanlah kegagalan.
Aku sedikit memberinya jarak 1 meter, dia menggaruk pipinya, mengambil catatan dari meja di belakangnya. Piring itu dia tarik lebih dekat dengannya. Mataku belum berhenti terpesona, bahkan belum berkedip, terlebih oleh kristal yang sudah menjadi selimut oleh serangga itu. Membeku dan mengawetkan dalam keadaan dia sadar di dalamnya.
Aku ingat saat aku mengangkat gelas yang telah dipakai oleh Wallace untuk serangga itu, awalnya aku hanya iseng ... baunya tercium mirip kompos organik yang baru keluar dari olahan, amis dan segar rerumputan basah di tanah lembab, lebih menyengat dengan bau sangat alami membusuk.
Bau ini, ketika aku menciumnya, berpengaruh pada ekspresiku, yang membuat Wallace menoleh dan berhenti mencatat laporan di buku kecilnya. Matanya yang lentik terkesiap, dia berjalan meletakkan bukunya di meja, menghampiriku, mengambil gelasnya untuk diletakkan kembali di atas meja. Semua itu dengan sikap terburu-buru yang tidak aku mengerti apa sebabnya. Sekarang, aku beruntung karena dia telah memberitahuku lebih awal.
"Pastinya Pemudaku ini belum tahu apa-apa." Dia mengusap di bawah hidungku dengan lembut. Dari situ menuju kedua pipi, dan berakhir di bawah mataku.
"Bukankah sudah kukatakan padamu juga?" Aku tertawa.
Dia tersenyum getir, tapi kurasakan kekhawatiran di rona pipi merah mudanya, "Ada apa?" Tanyaku, berusaha menghibur.
"Jangan menghirupnya!"
"Jangan sekali-kali menghirupnya!" Ulangnya.
"Baik! Baik! Baik, Gadisku yang baik!" Kataku, "tolong jangan coba menakuti aku dengan sesuatu yang tidak aku pahami."
"Oh, Tuan Gilbert," desahnya, bibirnya gemetar namun masih bernada cantik, "komposisinya mungkin akan membuat paru-parumu bermasalah."
"Omong kosong!" Jawabku tidak sabar.
Dia tersenyum. Tahu betapa keras kepala dari teman bicaranya. Lalu dia berbalik, mengambil buku catatannya, dan membuka draft dengan cepat. Dari satu halaman ke halaman lain, kertasnya menggantung di bawah setiap lembar yang dia buka. Aku tidak tahu benar apa yang dia baca dan periksa. Tidak lama dia menyeret sebuah kursi dari pinus, dengan tenang dia duduk dan bersandar, pandangannya tetap menunduk, baru kali ini kuperhatikan dia sangat fokus dalam menganalisis catatannya.
"Ketentuan dari Profesor Gounelle, 2 gram sitrun dan 15 sendok teh sulfat .... jujur, aku bingung ini akan berhasil!"
Aku berjalan mendekat, "bangkai apa ini?" Tanyaku.
Dia mendongak dan menjawab dengan nada dalam, "aku penasaran jika serangga-serangga yang dipamerkan kemarin sudah mati."
"Dan kau memakai serangga hidup untuk percobaanmu? Apakah itu diizinkan?"
"Asal kamu tahu jika aku memenuhi prosedur."
Aku tertawa, berhenti, dan menjawab: "ya, tentu, aku tahu," aku terbatuk, "kamu orang cukup artistik, tapi itu sebelum kamu jatuh dua bulan sebelumnya. Merubahmu menjadi sosok setengah eksentrik!"
Dia setengah menoleh, menghindari bertatapan denganku, dan membelakangiku.
"Yah, aku jatuh," katanya, nadanya indah berirama lebih dalam, "dan cukup tahu jika aku juga jatuh cinta,"
"Aku tidak pernah menolakmu juga," tegasku, "dan selalu di belakangmu."
Sejenak ruangan begitu senyap karena Wallace tidak langsung menerima pernyataanku dan tidak menjawab; tapi biasanya itu berarti dia sudah berusaha untuk menahan amarahnya. Hanya saja, untuk hari ini, aku tidak tahu apa yang membuatnya menahan marah.
Aku memutari meja dan berjalan menuju ambang pintu. Di sana aku bersandar di ambang pintu, meliriknya sebentar yang sudah kembali menghadap piring berisi lalat yang membeku. Tapi aku berpaling, mengambil topiku, berniat berjalan-jalan sebentar di Prophète Avenue. Kemungkinan juga akan mampir di galeri Nouveau Saphir jika aku berniat, lalu membelikan sekotak susu putih untuk Wallace di Rooster.
Setelah berlarian menuruni anak tangga rusak, aku mulai keluar dari apartemen Wallace, memasuki Demetrius Street, berjalan 50 meter sebelum berbelok kanan ke States Prophète Avenue.
Waktu itu sudah pukul 4 sore waktu setempat. Sekarang, kuil-kuil sedang dipenuhi oleh barisan turis dan jemaah yang baru pulang bekerja. Dan barisan ini lebih ramai dari gereja St. Jasmine yang berjarak 70 meter darinya di waktu pekan. Nama kuilnya adalah Christerlundgresn, yang juga kuil teramai di Prophète, dan di dalamnya ada sebuah patung dengan sosok dengan nama yang sama: yang membuatku heran adalah karena posisi patung yang ini berlutut, dari sikapnya yang menunjukkan ekspresi berdoa kepada sesuatu, mengala orang-orang justru menyembahnya? Tingginya dua meter. Berwarna putih pucat dari kepala, tangan berkaitan, dan bagian atas perut. Sedangkan dari bagian bawah perut (rahim) hingga ke bawah seluruhnya di cat merah maroon dan diberikan noda-noda krem ivory.
Aku menyebrang ke sisi trotoar kuil. Tempat itu lenih ramai dari kemarin, mungkin besok lebih padat dan mungkin akan memancing perhatian walikota, terlebih karena rumor menghilangkan kesialan. Secara garis besar benang merahnya memang mustahil; bagaimana patung seorang wanita aborsi menghilangkan kesialan dari nyawa? Dan mengapa dia melakukannya? Dia benda mati yang di pahat oleh Freya Lundmark, meninggal tiga bulan yang lalu di Praha, dan dipoles warna oleh Meja W. Johannesburg, meninggal di Krakow bulan lalu. Apakah wajahnya yang tertutup mengungkapkan kesedihan dari tekanan? atau hanya sekedar sedih kehilangan bayinya? atau karena dia sadar dia menyadari jika dia bukanlah manusia?
Jika kau bertanya padaku, dari jarakku sekarang- sekitar 16 meter dari rumah patung yang beratap biru tosca,- kepalanya yang menunduk terlihat lebih meratapi di balik pilar daripada saat lebih dekat kau pandang dan berdoa. Aku menghela napasku dalam-dalam ... tujuanku bukan ini. Dan patung itu sudah tidak lagi berurusan denganku, begitu pula sebaliknya. Dan juga karena aku kehilangan Wallace kesayanganku setelah berkunjung kepadanya, jadi aku tidak akan berniat untuk melihatnya lagi ... tidak peduli dengan kesedihan di kedua matanya yang bergemerlap cahaya permata merah darah seperti air mata ... Maka aku tidak akan kehilangan Wallace.
Berdiri di sana mungkin telah membuatku menjadi pusat perhatian. Jadi aku lekas-lekas berbalik dan kembali berjalan. Kemungkinan aku berjalan sekitar 30 menit. Berjalan ke sana ke mari tanpa tujuan yang jelas, kembali melewati kuil, melihat jamaah, lurus ke St. Jasmine, beristirahat sebentar, mengaso, dan akhirnya berakhir juga dengan duduk di bangku St. Jasmine. Dengan lelah aku menyandarkan diriku senyaman mungkin- sejenak melupakan Wallace dan menghindari wajahnya yang cemberut, yang membuatku tersipu malu sendiri di bawah atap St. Jasmine. Beberapa orang datang dan pergi. Keluarga lansia dan Keluarga muda. Anak-anak mereka berlari-lari, bernyanyi, menjadi nakal atau penurut. Aku memperhatikan setiap orang yang biasanya tidak kukenal dan menyapa dengan senyum ramah di wajahku.
Kebetulan burung berisik hinggap dan bertengger di kakiku, mematuk, dan pergi taman, jadi aku akan sedikit lama di sana sambil mendengar purwarupa doksologi yang akan aku dengarkan di akhir pekan. Nyanyian itu akan didengar oleh 100 orang lebih, tapi bukan berarti mereka taat seperti halnya aku sendiri. Bahkan, Wallace, sering berkunjung ke St. Jasmine, hanya untuk sekedar berdoa, berkunjung, menyapa, atau mengabdikan diri sebagai sukarelawan pembersihan gereja; tetapi semua itu sebelum dia terjatuh dari kuda hitamnya, dan berakibat mencederai bagian belakang kepalanya. Aku mengingat momen itu sebagai bentuk analisis dan observatif, sebuah tombak yang pada akhirnya melukai diriku sebanyak bagaimana kekasihku telah dibuang ke dalam neraka, hari di mana kekasihku percaya akan hal dan sesuatu yang tidak seharusnya ada. Dia mengigau hampir setiap harinya, tidak banyak berinteraksi, memelihara kucing hitam di apartemen yang aneh, eksentrik, dan, oh, satu lagi yang mencolok, pemarah. Dulu karakteristiknya lembut- bahkan lebih lembut dari sutra- namun satu titik balik merubahnya dari sosok ambisius yang interaktif menjadi sosok pemarah yang eksentrik, bukankah itu petaka bagi orang yang dekat dengannya?
Oh, bukankah dunia terlalu absurd untuknya? Dan mengapa harus dia yang mengalaminya?
Dia berada sekitar 1 km dariku sekarang ... dan kuharap dia tidak melakukan hal bodoh lainnya seperti meminum gelas kecil terpentin. Atau saat bulan lalu, dia menceritakan padaku beberapa kisah yang cukup rumit dan menjengkelkan,- aku tidak dapat menganggapnya bodoh soal ini, karena dia begitu gamblang dalam menceritakannya seakan dia sendiri yang mengalaminya- sesuatu ini, yang cukup membuatku bergidik di tempat, mengingatkanku pada Kaca Tanduk Naga, Kitab Terkutuk Charmare milik Orcus, Topeng Pucat, dll. Penekanan dan pendekatan, kehancuran dan kutukan mimpi buruk- semua tahap dari komplikasi hingga antiklimaks membuatku semakin tak bertahan. Pada akhirnya, aku hanya meninggalkannya di samping alkitab, menyuruhnya berdoa, atau dia akan berakhir seperti Lady Christerlundgresn,- ketika aku membuka pintu, kulihat dia menerima saranku dan membuka alkitab, mempelajarinya dengan serius; tetapi setelah itu hubunganku sudah tidak benar-benar membaik.

Patung MalaikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang