Suasananya sudah cukup tenang dengan cahaya temaram di sana-sini. Aku merenggangkan tubuhku, keheningan dan ketenangan yang tidak ada duanya. Wajahku lengket sebab air mata dan liur. Tidak lama, tercium aroma tanah basah dan bunga-bunga yang pudar, lembab asri,— ternyata jendelaku kubiarkan terbuka sepanjang malam. Aku bersyukur tidak ada pencuri yang masuk. Aku bangun, terduduk, lalu desiran angin masuk bersama gemersik dedaunan dari pohon-pohon di depan apartemen, simfoni pagi yang cukup tenang. Aku merayap ke sisi dan bangkit berdiri, menguap dan merenggangkan lenganku di udara. Jam menunjukkan pukul 6.30 pagi. Awalnya aku ragu-ragu untuk keluar dari kamarku, terbayang-bayang jika noda darah itu masih membekas di dinding dan akan membuatku kembali mengerang seperti orang tak waras. Jadi, aku melangkah keluar dengan ragu-ragu, berdiri dalam posisi bersembunyi di ambang pintu, mengintip,
"Oh, ternyata sudah dibersihkan." Kataku, saat melihat dinding itu ... tapi mereka tidak mengubah letak kursinya, membiarkannya di sana; meski sekilas juga, aku masih dapat melihat bayangan Paul. Pucat di sana; berdarah di pelipis, dan kepalanya pecah ... terbayang-bayang bau amisnya yang tercium segar— tapi dia sudah tidak ada di sana, dan aku tidak tahu di mana dia akan dikremasi dan dimakamkan!
Aku berlutut di hadapan kursi itu, mengusap permukaannya, lalu dengan nada dalam berkata: "Ini memang gila, tapi kau juga sudah gila, membuat kita tidak berbeda! Kau putus asa karena cintamu, sedangkan aku akan meminta maaf lewat bayangan hitam mu di kursi— yah, Paul, aku tidak menyangka kau putus asa ... Maafkan aku ... Hari ini, aku tidak akan datang ke pemakamanmu. Tenanglah di sana, Saudaraku."
Saat mengusap sandarannya, sekejap arus angin kembali memasuki ruanganku,— tapi justru semakin membuatku yakin,— dia tenang, di atas sana, di atas sana.Seperti biasa, aku membenahi diriku, mencoba melepaskan kesedihan itu untuk sementara waktu, oh, betapa sulitnya itu?
Saat sarapan, aku meletakkan peti dan susu itu di sampingku, gigiku rasanya sulit untuk digerakkan dan bibirku justru gemetar tanpa alasan ... Sejauh ini aku masih menganggapnya wajar dan terkendali, terlebih lagi aku tak akan membeberkan babak komplikasi yang rumit. Selama aku masih menikmati sarapanku, dan burung-burung di luar masih berkicau saat bertengger, aku merasa situasinya akan baik-baik saja.
Aku keluar dan memutar baut pintu dari luar. Pukul 8 lebih sedikit. Lenganku menenteng satu susu dan meletakkan peti itu di saku jasku. Karena, bagaimanapun juga, aku yakin jika Wallace akan memarahiku; tapi aku tidak sabar untuk melihat rona pipinya yang merah dan lucu. Tetap saja, suara timah pecah itu, aku mencoba melupakannya ...
Aku sampai ke Demetrius dan langsung gesit berbelok ke apartemen Wallace. Menaiki anak tangganya yang sudah tidak modis, dan mengetuk pintunya tiga kali. Bautnya di buka dua kali, aku mempersiapkan diriku, saat pintunya terbuka tubuhnya tampak mungil dengan rambut terurai, menjuntai berantakan: "Gilbert?" Dia terlihat setengah sadar ...
Aku tersenyum, "Sayangku," kataku ragu-ragu, "Bisa aku masuk?"
Dia berpaling dari pintu, menguap, lalu merenggangkan tubuhnya. Aku mengunci pintunya dua kali.
"Di mana kucingmu?"
"Mungkin di sofa," jawabnya, setengah datar, "jadi, hati-hati, ya. Jangan duduk di atasnya!" Ia kembali menguap. Menjatuhkan dirinya di sofa lebar, dan memeluk hal yang lembut.
Aku menghampirinya, meletakkan susu itu di depan wajahnya.
"Maaf, ya, ada acara mendadak kemarin," tegasku, "Kamu, tidak marah, kan?"
Dia berdiri, jarinya sudah memegang di ujung kotak, lengan kirinya mengusap kedua bulu matanya yang lentik.
"Tidak," katanya, setelah kembali menguap, "lagipula kamu sudah membayar punggawa!"
Aku tertawa, "Ya sudah, aku senang kamu tidak sedih."
Aku berbalik, merayap, ingin menggantungkan jasku.
"Gilbert," Wallace memanggil, aku berhenti dan menghadapnya, "Wajahmu ... ada noda ..."
Darah seketika mengalir ke hatiku, membuatnya berdegup cepat dan ingin meledak.
"Noda? Di sisi mana?" Jariku meraba-raba wajahku.
"Itu," dia bangkit dan mendekatiku, aku sedikit membungkuk, "ini," dia menandai rona pipiku, menarik garis vertikal ke bawah ....
"Oh, Gilbert, Gilbert,— kamu menangis?"
Jarinya melepas. Bibirku sulit tersenyum. Jika dia tahu betapa sulitnya itu, mungkin sebaiknya tidak berdiri lebih lama di hadapanku dan segera meminum susunya. Tapi aku menahan perasaanku, dan berkata:
"Menangis? Kenapa aku dibuat menangis?"
Kepalanya menyamping, "Jujurlah, Gilbert ... Kasihanilah aku sebagai pendampingmu yang tidak sah!" Entah kenapa, bibirnya sekarang sudah tidak gemetar, tapi bibirku gemetar, dan kudengar nadanya itu,— nadanya sangat melankolis. Apakah aku harus menahannya? Dan berbohong? Tidak, itu matanya yang memintaku untuk jujur.
"Baiklah, baiklah, Wallace, Sayangku, aku akan jujur!" Aku memberanikan diri, aku tersenyum dan menghela napas dalam-dalam, lalu aku melanjutkan pengakuanku: "Kemarin, aku melakukan apa yang kamu minta, bukan? Sebenarnya aku juga ingin membawakan sesuatu untukmu, tapi barang itu berada di rumah, jadi aku berniat pulang sebentar dan mengambil benda itu,—"
Aku berlutut, Wallace berusaha menopang meskipun dia juga mengerti: dia tidak akan sanggup.
"Ayo, Lanjutkan, Gilbert." Pinta Wallace, "Ayo, ayo, Cintaku,— kamu hampir,— hampir mengeluarkan semuanya!"
"Aku mendapatkannya; Indah-sederhana," aku menangis, tersenyum, "Liontin dari peti misteri yang aku beli sebelum bertemu denganmu. Aku menyukainya dari sisi ke sisi. Bentuk dan hiasan rantai yang cantik, yang akan cocok dengan bagaimanapun kamu akan berbentuk di kemudian hari. Tapi sebelum itu, aku bertemu Paul ... menunggu dengan wajah pucat. Tidak pernah kusangka, bahkan sampai sekarang, itu adalah wajahnya ... karena dari tampaknya saja, aku yakin sepenuhnya seperti sebuah topeng pucat. Ya, aku menyambutnya seperti orang-orang biasa."
Wallace mengusap di bawah mataku, dan tersenyum, menyimak dengan baik.
"Setelah kutemukan perhiasanmu itu, aku senang,— kupikir aku harus membagi kesenangan itu dengan Paul; karena dia tidak pernah,— sekalipun tidak pernah,— terlihat sedih dan sepucat itu. Aku mendekat dan menunjukkan liontin itu. Menyampaikan niatku agar liontin ini dipakai di lehermu. Tapi—"
"Lalu apa yang terjadi?"
"Tapi, tapi, tapi dia melantur— melantur tidak jelas!"
"Apa yang dia katakan?"
"Evelyn— Evelina— tidak!— ya, Evelyn?" Jawabku berantakan, "Pokoknya kekasihnya. Mantan kekasihnya. Wanita itu, bertunangan dengan pengusaha batu bara."
"Kasihan Paul,— apa yang dia kira sebagai madu justru menarik puluhan lebah yang lebih baik darinya!" Kata Wallace, "Selanjutnya apa?" nadanya lirih.
"Dia ..." Aku menelan ludahku, "dia mengeluarkan pistol dan bunuh diri ... aku bersaksi atas kematiannya. Kemungkinan aku akan dipanggil kepolisian,— menunjukkan presentase besar!"
Tangisku berhenti. Sekarang aku menunduk seperti anak tujuh tahun di dekapan ibunya. Dan aku merintih, "Wallace, Wallace, Wallace," dengan nada dalam, aku bersyukur karena Wallace adalah dengan senang hati membukakan tangannya untukku.
Aku menarik dadaku, mengamatinya sebentar, setelah mengusap mataku yang berair, aku dapat melihat rona pipinya yang merah muda, bibirnya yang tidak lagi gemetar, dan matanya yang sayu di bawah bulu mata yang lentik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patung Malaikat
HorrorAku hanya menatapnya sejenak, tidak berpaling meski hanya satu detik; tapi, dia tetap hilang? Apa itu? Yang jelas itu bukan hanya satu, namun tiga buah!