Bab III

5 2 0
                                    

Mimpiku kemarin malam tidak bagus, dan bekasnya membiaskan cahaya di kepalaku sebelum memudar menjadi partikel samar-samar dan menghilang. Tapi aku berniat tidak akan menceritakannya ke siapapun, kecuali Wallace. Sesaat, aku hanyut dalam keheningan pikiranku sendiri, jadi di atas kasur aku dibuat berasosiasi dengan kesadaran pribadi dengan mimpiku; atas Mimpi itu- mimpi apa itu barusan? Mengapa sangat menyeramkan? Kenapa aku tidak segera mengingatnya agar tidak menjadi kenyataan?

Ini pertanda buruk.

Dan selama aku membersihkan diri, sarapan, dan bergegas menuju apartemen Wallace, aku selalu berdoa kecil agar perkaranya tidak menyangkut Wallace.
Di depan pintu masuk, aku menghela napasku pelan-pelan, dan berusaha tenang saat menaiki tangga apartemennya hingga sampai di kamar Wallace yang hampir gelap. Aku mengetuk pintunya dua kali dengan irama. Wallace segera membuka pintunya. Jika bukan karena cahaya matahari redup, aku tidak bisa melihat wajahnya saat membuka pintu, "masuklah!" Katanya dengan datar, dan tubuhnya langsung berpaling meninggalkan pintu terbuka. Aku masuk dan mengunci pintu dua kali, meletakkan topi dan menggantungkan jas di gantungan onyx di belakang daun pintu.
Sejenak aku duduk di sofa dan kuperhatikan kamarnya yang rapi dan bersih; dengan alkitab terbuka di meja, lukisan dalam bingkai tergantung di dekat studio, dan aku senang melihatnya berganti pakaian sebelum memasuki ruangan Observatorium, tempat di mana ia mengubah seekor lalat menjadi kristal. Saat dia masuk, aku bangkit menuju jendela ... kubuka dan mencondongkan kepalaku ke depan untuk mendapatkan udara yang lebih segar. Sesaat aku melupakan hampir seluruh masalah pribadiku,- karena udaranya seharum semak bunga di Kastil Manchester,- dan perlahan-lahan bersandar dada di ambang jendela, lenganku menggelayut bebas di luar jendela. Ketenangan itu,- aku sangat berhati-hati saat menyusun fragmen,- membuatku mencoba untuk kembali mengingat: dengan pemandangan sepanjang Demetrius Street hingga persimpangan di Prophète Avenue; yang trotoarnya membekas dengan sepatu-sepatu yang hangat; hentakan sepatu dan hembusan suhu panas serempak dari udara manusia; aku mengingat dengan mantap, sebuah memori.
Jika aku merapikan susunannya, maka aku mengawalinya hingga dapat berakhir tenggelam dengan keringatku sendiri, maka garis besarnya akan tersusun seperti ini:
"Pseudo- Lady Christerlundgresn- Wallace- di balik topeng pucat- kotoran- belatung- lalat- mengawetkan- permata- kekasih- eksodus seorang kekasih dari Surga- Dua- Gadis Perawan- berakhir!'
Aku tidak melihat tandanya hingga akhir, berbeda cerita jika aku melewatkan sesuatu. Namun aku yakin, aku telah mengingat seluruhnya! Dan semua itu, aku pikir, tidak buruk. Karena kali ini, aku tidak membicarakan soal Entitas Raja.
Aku melipat tanganku aga mendapatkan suasana yang lebih nyaman. Sekarang, dalam keadaan berdiri membungkuk, kakiku gemetar ... dan tidak kuperhatikan sekitar lagi, melainkan hanyut dalam bayangan ilusiku sendiri.

"Gilbert,-"
aku menoleh, menarik diriku dari jendela dan berbalik.
"Wallace ..." Aku tersenyum, "kau perlu sesuatu?" Kataku, kaku, "jika kau memerlukan apa-apa bilang saja! Oh, yah, hari ini aku tidak akan melukismu, oke? Aku ingin hari ini kita hanya beristirahat." Tetapi kulihat warna wajahnya memudar di bawah kening mengerut, jadi aku kembali mengajukan sesuatu.
"Atau kau ingin berjalan?" Tanyaku diplomatis, "Ayolah, Wallace, Sayangku! Kumohon jangan pasang wajah itu!"
Awalnya diamnya terkesan menyeramkan; dia ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan di bibirnya, aku berlutut,- seperti biasa yang kulakukan setiap dia tergugup,- seperti seorang ksatria dan dia Tuan Putri yang suci dari Thule.
"Katakan, O, sayangku!" Aku mengumumkan sampai malu untuk tersenyum.
Dia mengangkat kepalanya. Dia berbalik, menuju sofa, dan terduduk, dengan gerakan yang sangat halus, lembut, serta anggun karena gaun bergaris kuningnya bahkan tidak terangkat di udara. Aku sampai-sampai meragukan jika dia bergerak untuk sampai ke sofa itu. Sejenak, aku bangkit dan menuju sofa, duduk di sampingnya dengan tenang dan tidak berbicara. Menyadari keberadaanku, Wallace menyandarkan kepalanya di pundakku sambil menggenggam lengan kemejaku erat-erat. Hatiku sempat berdebum; sikapnya yang bermanja seperti kucing hitamnya,- oh, oh, sudah lama dia tak tampak manis seperti itu, apalagi bersikap- mulai meluluhkan perasaanku. Jadi, juga dengan hati-hati, aku mengusap kepalanya dengan lembut. Genggamannya semakin erat sampai-sampai kuku-kuku jarinya mulai meraba di kulitku, dan menimbulkan sedikit sensasi nyeri. Setiap gerak usapan melemparkan aroma harum: tercium bagai ribuan teratai dewasa di air sungai yang mengalir biru dan bersih, membuatku semakin menikmati suatu momen di mana sudah jarang aku rasakan setelah kekasihku terjatuh.
Setelah beberapa momen yang begitu menyenangkan, jari-jemariku semakin nyaman, genggamannya melonggar, dan terdengar suara tersedu dari bawah. Kepalaku yang sedari tadi hanya diam akhirnya menunduk. Kutarik lenganku dari kepalanya dan kuangkat wajahnya dari dagu. Kepalanya bergerak lunglai saat terangkat, setelah wajahnya terangkat sepenuhnya, barulah kusadari jika wajahnya telah basah dan berkilau, dengan rona pipinya yang separuh pucat pasi. Aku melepas jariku dengan lesu, dan sekarang telah sepenuhnya kasihan- jika aku harus tetap memandangnya seperti itu? Tidak! Itu kejam!
"Kenapa?" Tanyaku, "Kau berbuat lebih halus dan lembut hari ini!"
Lengannya terangkat dan mengusap kedua matanya yang merah, berusaha merapikan wajahnya meski rasanya mustahil, karena air matanya masih mencuat dan suaranya masih terisak-isak.
"Aku bermimpi," katanya, bibirnya bergetar tapi suaranya tetap cantik.
"Itu pasti mimpi buruk." Tegasku
Dia kembali mengusap lalu terbatuk. Aku ikut mengusap bibirnya dan kurasakan gemetar itu menunjukkan sebuah ketakutan.
"Katakan, Wallace," aku tersenyum hangat, berusaha menghiburnya, "sebenarnya, aku juga bermimpi buruk!" tambahku.
Dia menghela napas, sekarang tangisnya berhenti dan matanya sayu-lembut di bawah bulu mata lentik.
"Hanya jika kamu mendengarkan ini?" Ia menuntut dengan sedih.
"Tentu, aku sudah kenal kamu sejak 2 tahun yang lalu," jawabku, "sementara umurku 30 dan umurmu 17." yang membuatnya tertawa kecil dan mengusap butir air mata terakhirnya di wajah yang lengket.
"Baiklah; aku bermimpi-" matanya terangkat, "aku bermimpi, aku ... aku terbangun di peti mati." dia tersenyum; "di sana, ada kamu! Kita berdua. Bersama. Entah, tapi kamu sudah mati sementara aku masih hidup. Tampak dari wajahmu yang hampa, matamu terbuka dan seputih mayat, tubuhmu membusuk: ulat masuk dan keluar dari hidungmu yang tak tersumpal, sedangkan dari mulutmu yang tak dibalut kafan telah menjadi terowongan tikus. Mereka memakanmu! Dua atau tiga hari. Empat atau lima bulan. Lalu, ketika tubuh dan usiaku lebih lemah tidak berdaya daripada seorang Budha,- aku melihat kamu," kedua lengannya terangkat dan menggenggam pipiku yang seketika merah, "kamu menghilang. Dari mayat. Hilang." Lanjutnya gemetar; "Apa ... Demi Tuhan, tolong katakan, Gilbert! Apa itu? Apa artinya itu?"
Dia kembali terjatuh di dadaku, lesu dan menangis terisak membuat kemejaku basah. Semakin aku berusaha untuk menghiburnya, dengan kata-kata manis atau bujukan: "Itu hanya mimpi, jangan terlalu memikirkannya!" Malah membuatnya semakin mengerang, putus asa, semakin aku bingung dengan tanggapan cocok apa yang harus kuberikan padanya. Dia terlanjur menangis, menyedihkan dan pedih.
Aku menunggunya lama; dan akhirnya, tangisannya berhenti sekitar pukul 11. Selama itu, oh, beragam cara aku perbuat agar dia berhenti menangis!
Tanpa sadar sudah pukul 11 ... Aku mendorong pundaknya,- dia sudah tidur,- napasnya berhembus lembut dengan wajahnya yang terlihat lebih tenang. Aku bersyukur karena kuanggap dia sudah lebih baik dari tegangan serta teror yang seharusnya tidak dia alami. Aku pun berdoa agar dia juga tidak bermimpi hal yang sama seperti yang diceritakannya,- karena dia pantas menerima bagian yang lebih sempurna.
Dengan hati-hati aku menggeletakkan tubuhnya di sofa, menahan kepala dan memberi bantal di bawahnya, serta segera mengambil membentangkan selimut hingga dadanya. Hatiku terasa nyaman dan lega melihatnya tenang ... dan setelah melakukan hal-hal itu, aku mengangkat sebuah kursi kayu bersandaran dan duduk di samping studio. Aku menghela napasku sampai teratur. Pelan-pelan, di sana, mataku terpejam- lalu teringat pengalamanku, pertama kali bertemu dengannya: aku berada di Washington Park, tahunnya samar, namun yang pasti sedang berada dalam ketidakpastian dan pencarian jati diri saat aku menganggur. Dia berada di area pacuan kuda, apa yang dia lakukan? Sedang menuntun kudanya, ramah dan senyumnya yang manis ... kukira: "tidak mungkin aku akan meninggalkan model secantik ini!", dia luar biasa dan eloknya hampir mengagumkan. Jadi aku menghampirinya; menawarkan pekerjaan itu; mencoba meyakinkan sekeras usahaku hingga keringatku mengucur deras di bawah cuaca yang terik ... dia mau, senyumnya hingga gigi-giginya tampak putih berseri ... Oh, Dia sudah berada dua meter, di studioku pribadi,- ilustrasi Hétradé berhasil dilukis. Sempurna, indah-sederhana, meski terlalu sering mengusapkan terpentin. April, dia jatuh, luka di kepala belakang. Dan sejak itu, dia memelihara kucing dan suka mengurung diri. Apakah itu memori yang baik? Mungkin aku harus segera menikahinya agar aku dapat merubahnya menjadi lebih baik dengan lebih hati-hati dan lebih seksama!
Ada suara ketukan di pintu. Mataku terbuka dan mengerjap menyesuaikan cahaya. Aku bangkit dan terhuyung menuju pintu, tapi sepertinya orang itu tidak sabaran, karena orang itu kembali mengetuk jadi aku harus merespon.
"Ya, ya, aku datang." Kataku, sedikit geram.
Aku membuka kuncinya dua kali dan menarik pintunya; Paul berdiri dalam posisi santai bersanggah dengan kaki kirinya ... Aku memulai lebih dulu.
"Paul? Hei, bung ada apa?"
Dia melepaskan topinya; menghembuskan napasnya dan mengeluarkan lengan kanannya di saku.
"Aku tidak akan berlama-lama," katanya terburu-buru, "jadi, uhh, ini, Aku berikan untukmu!" lengan kanannya terangkat, memberiku sekilas pandang dengan sebuah hadiah terbungkus dan terikat 4 tali.
"Apa ini?" Aku menggerutu, "kenapa diberikan padaku?
Awalnya, dia kebingungan untuk menjelaskannya, dia ungkapkan itu kepadaku secara jujur, sementara aku mengamati hadiah itu dengan rasa bercampur senang dan curiga, membolak-balik bungkusnya dan menempatkannya di bawah tanganku. Sesaat dia mencari-cari di dalam kamar, matanya berjumpa dengan Wallace yang tergeletak berselimut di atas sofa, lalu dengan nada penasarannya dia memberanikan diri untuk bertanya soal Wallace kepadaku. Segera kujawab pertanyaan itu, melebih-lebihkan beberapa hal serta menyembunyikan alasan bagaimana dia kelelahan dan tertidur di atas sofa.
Mendengar jawabanku, dia tersenyum dengan wajah yang tersipu. Diungkapkan kepadaku sesuatu tentang hadiah itu.
"Gilbert, sejujurnya, itu bukan untukmu," dia menunjuk kotak hadiah itu, "Yah,- inginku,- hadiah itu untuk Wallace."
Aku tertawa, "Haha! Sebenarnya sudah kuduga dari tadi!" Aku menyatakan. Aku menunjukkan hadiah di depan wajahnya yang setengah merah.
"Tapi apa isinya?" Aku segera menuntut.
"Baiklah- baiklah, Naga Penjaga,-"
"Aku lebih dari itu. Aku pemiliknya!'
"Haha! Humormu cukup aneh, tapi, oke, baiklah; isinya adalah sebuah kalung- kalung onyx hitam dengan emas seberat 3 gram."
"Kau mencurinya?" Aku menuntut dengan riang.
Dia tersenyum, "Aku khawatir jika rahangmu belum pernah patah?"
"Astaga, kau ini terlalu emosional," jawabku, "tapi, rahangku pernah patah."
Dia tertawa; kami tertawa, tapi segera kuingat jika Wallace masih terlelap dan aki tidak ingin tawa kami membangunkannya, jadi segera aku menyuruhnya diam ....
Setelah keadaan tenang, Paul kembali mengatakan; ini terkait isi hatinya yang dirasa cukup menimbulkan kontradiksi; dia merindukan Istrinya, namun terlalu takut untuk bertemu ayah mertuanya di Manhattan, sementara rasa rindunya,- setelah kemarin dia mengungkapkan perceraiannya kepadaku,- semakin membuat hatinya sesak dengan kerinduan.
"Aku bisa membantumu, tapi ini kali terakhir kau mengirimkan hadiah ke Wallace." Tegasku diplomatis.
"Oh, bung, dia gadis secantik anggrek," Paul mengumumkan, "dia terpaku padamu! Dan juga, baru kali ini aku mengirimkannya sebuah hadiah!"
"Dengar-" aku mencondongkan kepalaku dekat dengan wajahnya, "aku bukannya melarangmu, oke? namun sekarang aku ingin dia lebih dekat denganku!"
"Juga, apakah kau tidak ingin mendapat bantuanku?" Tambahku.
Mendengar pernyataanku, Ya, Dia sedikit kesal di raut mukanya tapi kurasa pilihannya cuma satu. Memang aku merasa berdosa, namun tawaranku, nyatanya, lebih baik untuk dia kedepannya!
Dia mengangguk, "baiklah, akan aku penuhi, aku bersumpah! Aku pria yang menepati sumpah!"
Aku tersenyum getir, "Ya, tapi kau bercerai dengan istrimu." Gerutuku sambil berjalan keluar dari ambang pintu.
"Apa katamu?"
"Tidak ada."
Aku berbalik dan hanya menutup pintu, tidak menguncinya. Aku berdiri dan bersandar di dinding lorong; dia berdiri menghadapku, lengannya di saku tampak meraba ingin meraih sesuatu. Dengan ramah, kemudian dia bertanya apakah diperbolehkan mengeluarkan rokoknya, yang kujawab dengan permisalan yang mudah dia pahami, lalu dia mengurungkan niatnya.
"Jadi kau betul-betul masih mencintainya?" Aku menuntut.
Dia mengangguk.
"Katakan sesuatu!"
"Aku masih mencintainya!" Serunya tersipu.
"Baiklah- Dengarkan aku!" Tegasku, "Aku ingat dia bekerja sebagai penjahit, bukan? Dia bekerja pukul 9 hingga 5 sore?"
"Benar, sampai sekarang,"
"Jadi, ini rencanaku," lanjutku, "kemungkinan besar kamu dapat menghubunginya sangat kecil jika waktu pagi, sekitar pukul 7 hingga 10,- di siang hari," tegasku, menggurui, "cobalah siang hari,- setengah 1 atau 2 lebih 15 menit ... Itu adalah waktu istirahat kedua atau mereka terkadang bersantai-"
"Bagaimana kau tahu?" Paul memotong sebentar, "Darimana kamu tahu serinci itu?"
Aku tertawa kecil. Tidak lama kulihat wajahnya sedang ragu dan temaram, jadi aku meneruskan:
"Ibuku seorang penjahit rumahan," aku mengumumkan, "itu adalah jadwalnya secara umum kuketahui, lagipula tidak ada salahnya mencoba."
"Apa jaminanmu?" Paul menuntut cemas.
"Akan aku beri kekasihmu itu Taring Naga!" Aku menawarkan, "dia pernah membicarakannya, bukan?"
"Tapi aku juga ingin sebuah jaminan jika saranku berhasil." Tambahku, "Apa yang kau tawarkan?"
Dia diam sejenak, kubiarkan dia berpikir dengan menyandarkan punggung lebih nyaman; setelah beberapa saat, dia akhirnya menjawab: "Mahkota Permata. Bagaimana?"
"Mahkota apa? Jangan main-main dengan tawaranmu!"
Sejenak dia bingung, ekspresinya benar-benar menunjukkannya secara jujur.
"Bagaimana?" Aku menuntut.
"Ini milik seseorang-"
"Kau mencurinya?" Aku memotong-
"Dengarkan aku!" Ia menjawab buru-buru dengan mata terpejam. Lalu matanya terbuka dan melanjutkan: "Mahkota Permata milik Tuan Whitehead."
"Kriminal itu? Ayolah, Paul, Kau pasti bercanda!"
"Kamu salah- salah! Aku memilikinya di kotak kaca ..."
"Tunjukkan besok," tegasku terburu-buru, "jika tidak- kau tidak bisa menemuinya lagi!"
Kami tidak beranjak dari tempat sampai Wallace bangun dan menarik pintu kamarnya ke dalam. Dia berdiri di ambang pintu terbuka dan mencondongkan kepala dan separuh tubuhnya. Kami menoleh serempak, dan aku berlari-lari kecil menghampirinya dengan perasaan sedikit cemas. Kusadari jika tatapannya belum lepas dari Paul yang masih berdiri di tempatnya. Aku melirik Paul sebentar dan mengisyaratkan agar dia mendekat. Dia menghampiri kami dengan gerak sopan.
"Siapa dia, Gilbert?" Tanyanya, nadanya sangat hangat dan manis. Wajahnya lesu dan tubuhnya sedikit membungkuk.
"Dia Paul, kolegaku dari galeri, bukankah aku pernah menceritakannya?" Jawabku.
Bibirnya gemetar saat menjawab di wajahnya yang lemah dan polos, "aku tidak ingat."
"Tidak apa, jangan terlalu memikirkannya."
Paul mendekat dan berdiri di belakangku, lalu dengan nada percaya diri yang pelan namun jelas, tubuhnya membungkuk, dan dia berkata: "Saya minta maaf menganggu tidurmu, Nona Wallace,- tapi kedatangan saya bukan tidak berarti apa-apa." Dia tersenyum dan melirikku, aku menyadari lirikan itu, dia meminta untuk mengeluarkan hadiah yang dia bawa.
Aku menunjukkan lenganku yang menggenggam hadiah itu ...
"Ini, Nona Wallace," dia menunjukkan hadiahnya, "terimalah ini sebagai bentuk tanda persahabatanku dengan kekasihmu, Gilbert. Dan juga, saya akan sangat senang jika Anda langsung mengenakannya sekarang di hadapan saya!"
Paul melirikku, aku merespon dengan menatap Wallace: "Ini hadiah untukmu, Sayangku, bisakah kau penuhi permintaan santa-mu?"
Wallace tersenyum, matanya berkilau senang, tidak ada air mata didalamnya, tentu dengan senang hati Wallace membukanya. Melihatnya melepas tali sampai melihat isinya, rasanya tidak pernah kulihat dia bertingkah seperti anak sepuluh tahun- tapi dia senang, dan aku lebih menyukainya!
Ketika dia memakai kalung onyx di hadapan kami, Paul melepas topinya.
Sekarang dia menunjukkannya ke kami; dengan emasnya berkilau cerah meski lorong bercahaya temaram. Apa yang bisa kukatakan lagi?
"Itu kalung yang cocok." Kataku
"Terima kasih," ungkapnya, "terima kasih juga, Tuan Paul."
"Kesenangan bagi saya," jawab Paul, "di gereja saya senantiasa berdoa, Nona Wallace, berdoa jika seharusnya saya ditakdirkan untuk tidak melakukan kesalahan, tetapi manusia juga diciptakan untuk neraka bukan? Haha!" Wallace tersenyum, tapi tidak membalas apapun.
"Saya ingin menebus kesalahan saya," lanjut Paul, "ini, adalah langkah pertama saya,- benda ini melindungi Anda,- yang telah tertimpa kemalangan,- dari gangguan dan nasib sial lainnya. Anda terjatuh, bukan?"
"Ya, Aku terjatuh," jawab Wallace menyeringai.
"Tapi kenapa melindunginya dari nasib sial?" Aku menuntut Paul.
"Kau pasti ingat yang kita bicarakan kemarin, itulah sebabnya." Tegas Paul, lengan kirinya terangkat ke pundakku, "Gilbert, bung, perasaanku terkadang tidak meleset!"
Sesaat kuperhatikan jika, oh, wah, dia tidak pernah seserius itu- lantas, kenapa dia sangat bersikeras?
"Apa yang kalian bicarakan?" Wallace menengahi pembicaraan.
"Tidak apa, Galeri Reu Grandis mengeluarkan sebuah benda sejarah yang mereka simpan kemarin!" Kata Paul
"Yah, sebuah tubuh pedang dari kota Pompeii."
"Apa yang kalian bicarakan?" Wallace masih penasaran.
Aku dan Paul saling melirik sebentar, untungnya aku tahu yang lebih baik- karena aku tahu Wallace akan menelusuri pikiranku dan akan mendapatkan jawabannya sesegera mungkin, jadi aku memutar tubuhnya dan mendorong punggungnya perlahan-lahan dan masuk ke kamarnya- lalu meminta Paul untuk pulang dengan alasan bukankah dia tidak akan berlama-lama di sini. Paul ingat itu, dan dia berpamitan kepadaku dan Wallace, dan segera pergi dari tempat itu- hanya saja, dia tidak meninggalkanku sendirian tanpa masalah. Sekarang, aku harus setenang mungkin untuk berbohong,- berbohong agar Wallace percaya. Agar Wallace tidak menyelidiki otakku lebih jauh. Aku mendudukkannya di sofa, dan membuatkannya secangkir teh. Setelah teh itu tersaji di meja,- bertepatan juga kucing hitam itu bangun dan keluar dari ruang studio,- aku mulai mengangkatnya dan meletakkannya ke paha Wallace. Seketika kucing itu menguap, mengaso, dan menggosokkan kepalanya, di dada Wallace ... Aku mulai bercerita sejarahku kemarin. Karena perhatiannya teralihkan, aku cukup diuntungkan. Kucing itu bermain dengan emas yang menjuntai, sementara Wallace sibuk menatapnya dengan hadiah emas itu ... Tidak lama mengusap kepalanya, kucing itu mendengkur, dan wajah Wallace tampak senang. Aku melanjutkan ceritaku dengan pola yang sama. Sampai kucing itu melompat turun, mengibaskan bulu, dan aku berhenti. Wallace cukup terhibur dan merasa cukup mendengar dan aku menurut dan bersyukur. Dia meminum tehnya sedikit, meletakkan cangkirnya, lalu tanpa diduga-duga olehku, karena setelah itu dia menyampaikan kepadaku jika dia ingin pergi ke Kuil.

Patung MalaikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang