5. I'm Sorry..

55 10 0
                                    

Aemond menggeram marah dan mendorong bahu Ranaeia hingga gadis itu berbaring menekannya diatas ranjang setelah pria itu melempar belati ke lantai, Ranaeia merasa Aemond bisa mengulitinya hanya dengan tatapan tajamnya tetapi Ranaeia juga merindukan mata Aemond dari sedekat ini. Tatapan Aemond turun ke leher Ranaeia yang berdarah, bahkan Aemond sama sekali tidak melihat gadis itu mengernyit karena lukanya.

"Beri tahu aku, apa yang coba kau mainkan." ucap Aemond disertai geraman campuran kesal dan ancaman.

Ranaeia menggeleng kecil, nafasnya naik turun dan hatinya terasa sakit. "Aku sedang tidak mempermainkanmu, aku tidak pernah ingin mempermainkanmu."

Tangan Aemond yang semula mencengkram bahunya bergerak naik mengangkat rahang Ranaeia membuat lehernya lebih terekspos. Aemond mendekatkan bibirnya sampai Ranaeia bisa merasakan hembusan nafas hangatnya diatas kulitnya.

"Haruskah aku percaya? Tidak pernah ingin mempermainkanku?" Aemond terkekeh sinis. "Apa ini usaha pertama dan satu-satunya yang kau miliki agar aku melepaskanmu?"

Ranaeia menggeleng lagi. Apapun yang akan dia katakan pasti sulit bagi Aemond untuk percaya setelah apa yang Ranaeia lakukan padanya. Saat Ranaeia hendak bersuara, nafasnya justru tercekat saat lidah Aemond menyentuh lehernya, menyapu dari leher hingga turun ke batas kainnya.

"Darahmu, aku akan sangat menikmati hari saat aku memenggal kepalamu dan meminum darahmu sampai mabuk."

"Aemond kau-"

"Monster? Apa kau juga berpikir kalau aku monster? Sayangnya, kau yang menciptakan monster ini Ranaeia, kau." Aemond mendongak kembali menatapnya dengan satu tangan mencengkram lengannya dengan kuat sementara tangan lain menekan rahangnya.

Alis Ranaeia mengernyit sementara matanya terbuka lebar dan menggeleng pelan. "Kau bukan monster, Aemond. Aku tau kau membenciku, tapi tidakkah kau mau mendengarkanku?"

Aemond menjatuhkan kepalanya disamping kepala Ranaeia dan ia bisa mendengar tawa hambar Aemond sebelum wajahnya kembali menatap Ranaeia. Tatapannya tidak setajam sebelumnya, Aemond benci mengakui kalau dia ingin mengetahuinya, ingin mendengarkannya, ingin percaya padanya. Sampai keinginan itu membuatnya takut, takut kalau dia kembali jatuh dan dikecewakan lagi.

"Aku tidak ingin mendengarmu Ranaeia, apapun yang kau katakan. Kau tidak tau apapun tentangku. Apa yang membuatmu yakin kalau aku akan jatuh pada tipu dayamu? Pada kelembutanmu? Sudah terlambat." Suaranya rendah namun tegas dan terdengar getir.

Dengan dengusan kecil, Aemond bergerak dari atas Ranaeia ke samping dan duduk membelakangi gadis itu yang juga mengubah posisinya menjadi duduk menatap punggung Aemond sedih. Dia tidak pernah menginginkan ini, menghancurkan Aemond dan dirinya. Kebahagiaan masa kecil mereka dan mimpi-mimpi yang mereka coba rajut saat mereka masih sangat muda. Apakah itu tidak ada artinya?

"Aemond."

"Diam, Ranaeia. Aku tidak mau mendengar kebohonganmu lagi. Jalani saja hukumanmu dengan baik disini dan jangan lakukan apapun." ucap Aemond mempertahankan posisinya.

"Tidak, aku ingin mengakhiri kesalahpahaman kita."

"Kesalahpahaman? Beraninya kau bicara tentang kesalahpahaman." Aemond memutar kepalanya menatap Ranaeia tajam.

Mungkin sudah terlalu terlambat, mungkin tidak ada lagi kesempatan. Aemond benar-benar membencinya, jika menyiksa Ranaeia dengan menjauhkannya dari keluarganya dan bentuk penyiksaan lainnya akan menebus kesalahan Ranaeia padanya, maka Ranaeia bersedia. Dia sudah lelah, dan jika satu-satunya hal yang bisa dia perjuangkan menolaknya, maka Ranaeia bisa apa?

Ranaeia menunduk, menatap sprei. "Baiklah, itu semua memang salahku, kau berhak membenciku dan aku pantas mendapatkannya. Benci saja aku Aemond, jika itu membuatmu lebih baik."

Tidak ada balasan selama beberapa detik sebelum akhirnya Ranaeia tersentak saat Aemond tiba-tiba berdiri, berjalan menuju pintu kemudian berbalik menatapnya.

"Benar, aku membencimu dan setiap nafas yang kau ambil telah menyakitiku. Jangan pernah berpikir kau bisa bebas dariku."

Oh. Aemond berpikir dia mengatakan semua itu untuk kebebasannya. Dia pikir dia bersikap lembut agar Aemond luluh dan Ranaeia bisa memintanya untuk membebaskannya, agar ia bisa bertemu dengan keluarganya.

Kepalanya menoleh ke arah pintu menatap sedih punggung Aemond yang menghilang sebelum terdengar debaman pintu dibelakang punggung pria itu.

Bukannya tidak ada kesempatan, Aemond hanya takut untuk memercayainya. Aemond pikir dia bersandiwara untuk menipunya.

"Oh Aemond." Ranaeia menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, membasahi telapak tangannya dengan air matanya. "Maafkan aku.."

__________________________

It's been.. gatau, berapa hari si? Belum lama -lama amat lah ya. Sebenernya aku udah nulis bab ini dari aku selesai nulis bab sebelumnya tapi karena masih kurang sreg dan kuedit berkali-kali dan masih tetep ngga sreg jadi ku tunda sampai aku revisi lagi. Sayangnya, aku sibuk menjelang hari kemerdekaan kemarin, buanyak acara dan ngga punya waktu buat revisi. Ada sebenernya cuma otakku ngga bisa kerja karena capek.

Aku up 2 chap dooong meheheh.

Aku harus mengejar ketertinggalan Kairos juga aaaaa aku lupa aku punya Kairos.

Avenoir [Aemond Targaryen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang