L i t t l e M e m o r i e s

234 19 0
                                    

Pagi-pagi sekali Hinata hanya bisa mengumpat sambil membereskan apartemennya yang seakan terkena serangan angin topan dadakan. Itu semua karena kedatangan tiba-tiba adik tercinta—Hanabi Hyuga—beserta sepuluh orang teman-teman seangkatannya merayakan ulang tahun minus perencanaan. Hanabi yang sangat royal dan suka pujian mengusulkannya langsung ke apartemen sang kakak. Pada saat, malam hari, Hinata tidak kembali ke apartemennya dan memilih untuk pulang ke rumahnya. Selain merindukan orangtuanya, Hinata pun kelelahan karena jarak antara sekolah dan rumahnya memakan banyak waktu, itu alasan mengapa dirinya harus tinggal sendiri sementara untuk mempermudah. Hinata tidak mengetahui apapun akan kekacauan mengerikan akibat kenakalan Hanabi bersama teman-temannya.

Dirinya berangkat kembali pukul 03:58 AM demi mengikuti keberangkatan kereta pertama menuju Tokyo. Tentunya, karya indah adik beserta teman-temannya menghanguskan seribu persen mood dalam sekejap mata. Cukup sudah untuk pertama dan terakhir Hanabi mengetahui sandi apartemennya.

"Ada dengan wajah itu, Hinata? Kamu tampak seperti zombie." Ya, itu tidak salah. Hinata bahkan yakin sekali penampilannya bahkan lebih mengerikan dari zombie itu sendiri. Kiba tertawa menanggapi ucapan Chouji yang langsung beri hadiah toyoran dari Shino. Hinata melirik tanpa minat.

Dari belakang Fuu dan Temari mengikuti dan duduk di bangku depan Hinata sedangkan Tenten melambaikan tangannya hangat. "Hei, Nata!" Hinata membalas senyum.

"Tumben kamu telat, Hinata." Fuu bertanya sembari meletakkan tasnya di meja dan berbalik melihat Hinata.

Gadis bermarga Hyuga itu sedang menetralkan sesak didadanya. Hasil yang dia dapatkan setelah berlomba dengan satpam gerbang sekolah. Sekolah elit ini tidak akan melihat siapapun untuk menegakkan keadilan dan ketertiban. Mungkin telat sedikit saja akan berakhir ke ruang BK.

Hinata tersenyum miris mengingat perjuangannya. "Iya, Fuu." Kalau bukan mengingat jarak yang jauh ke rumah dan antara senin menuju minggu, Hinata bersiap memberi pelajaran berharga untuk adik tercintanya itu.

Hinata menerima minuman kaleng dari Temari. Dia berterima kasih, meminum air dingin di dalamnya hingga tak bersisa.

Jam tangannya menunjukkan pukul 06:57 AM dan masih ada tiga menit untuk menuju toilet. Gila! Hinata tidak bisa menahannya lagi.

"Yak! Hinata!" Fuu berteriak keras. "Kamu mau ke mana?!"

Fuu si buntut ayam dengan emosinya yang meledak-ledak. Tenten yang selalu ceria. Temari dengan husbu tercinta.

Oke, Hinata harus menerima kenyataan bahwa para sahabatnya itu beraneka macam.

Ada orang mengatakan, "Jangan menilai seseorang dari sampulnya." Karena hasil penilaian objektif tidak akan membagikan info akurat dari seseorang tersebut. Meski pemalasan dan sering tidur di kelas bukan berarti orang itu sesuai dengan mata telanjang.

"Hanabi menjahilimu lagi, hm?"

Laki-laki itu mengelus pipi gadisnya perlahan. Membagikan hangat di hari paling menyebalkan menurutnya. Gadis itu cemberut, menekan bibirnya ke bawah menarik tawa laki-laki di hadapannya keluar.

Bukannya kesal Hinata lantas ikut tertawa mendengar alunan itu. Tawa lebih jarang keluar ketimbang ucapan manisnya. Dia tidak pernah bosan melemparkan ungkapan itu, merayu gadisnya dan henti sebelum semburat merah terlihat pada pipi putih Hinata.

"Shikaaa." Tuan putri sudah merengek. Itu panggilan khusus dari Shikamaru untuk Hinata. "Iya, tuan Putri." Bibir laki-laki itu tidak menghentikan senyumannya, justru lebih lebar.

"Kamu menyebalkan tau!"

Tidak ada respon berarti dari Shikamaru. Manik amesthys berpendar mengelilingi taman dan fokus menatap pancuran air di tengah taman. Dirinya sedang kesal. Di mapel pertama dia melupakan buku serta guru Kakashi menambahkan nilai merah di tugas hariannya—Hinata mengumpati Hanabi lagi.

Tidak sampai di sana, teman-teman rempongnya—terutama Fuu, sangat kepo alasannya terlambat datang. Sangat. Hinata mungkin akan baik-baik saja dengan maksimal tiga pertanyaan. Namun, Fuu dengan semangat dan jiwa kepo masa mudanya yang membara tidak berhenti barang sedetik—terlalu banyak!

Hinata rasanya ingin menangis.

"Hime."

Hinata menoleh melihat si pemanggil. Mendengus pelan dan melihat air mancur lagi meskipun dadanya berdebar dengan sentuhan pada pipi karena ulah Shikamaru. "Jangan mengabaikan aku, Hime."

Shikamaru sangat menyukai tidur dan hal yang paling tidak laki-laki itu sukai adalah diabaikan. Khusus dari Hinata. Dia terkenal cuek baik pada laki-laki atau perempuan, tidak perduli, dan hanya mementingkan dirinya saja. Meski begitu, otak certas, wajah tampan, dari keluarga terpandang serta sikap cueknya pada perempuan menjadi daya tarik luar biasa bagi para gadis sekolahnya.

Mata laki-laki itu sayu. Hinata berdecak melihat wajah tampan itu yang sudah berpangku tangan di atas lututnya sendiri, menahan kepala nanasnya. Shikamaru selain belajar dan tidur, ada satu hal lain yang tidak laki-laki itu lewatnya. Bermain game.

"Begadang lagi?" Koala itu sudah merengkuh tubuh Hinata, mengangguk.

"Kan sudah aku bilang, jangan begadang Shika," dumel gadis itu. Walau Hinata masih dalam dekapannya, dia tau bibir ranum gadis itu sedang mengerucut saat ini. Lantas Shikamaru terkekeh sambil sesekali mencium puncak surai panjang gadisnya.

Shikamaru tidak akan pernah bosan mengatakan bahwa Hinata adalah gadisnya. Miliknya. Menjadi ratu untuk perasaannya.

"Mau makan sup tomat?" Shikamaru melepaskan pelukkannya tanpa memberi jarak lebih. "Aku akan memberikan bagianku untuk tuan Putri Tomat sebagai hadiah."

Shikamaru tersenyum lagi. Namun, Hinata merasakan dadanya berdenyut.

Tomat ya?

Little MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang