L i t t l e M e m o r i e s

83 11 0
                                    

[ Bagian Tiga ]

Hyuga Hinata. Mungkin hanya sebagian orang yang tidak mengenal pemilik nama cantik itu. Sesuai nama dan artinya, Hinata dikenal sebagai anak cerdas dengan wajah meneduhkan; menarik rasa penasaran bagi orang-orang untuk mendekat, berkenalan dan mengambil kesempatan untuk mengenal lebih jauh. Parasnya yang cantik tidak kalah dengan perilakunya pula. Pendiam, lembut, perhatian, memiliki rasa simpati yang besar serta terampil. Hinata dibingkai dengan baik dan sempurna, setidaknya sebagian besar penilaian terhadap Hinata seperti itu.

Hanabi menghela napas. Gadis itu menunduk, mendengarkan nasihat dari Hikari—ibunda—setelah aduan dari Hinata. Kakaknya tidak sebaik itu, ayolah.

Walau ia akui dirinya tersangka utama di sini, tapi kesalahan bukan seratus persen darinya. Masih ada pihak lain yang patut disalahkan. Kakaknya, tentu saja. Sandi apartemen pasaran; tanggal ulang tahunnya. Terlalu ceroboh. Syukur tidak orang jahat yang masuk ke sana, hanya adiknya. Kakaknya itu memang tipu muslihat sekali.

"Hanabi, dengarkan Kaasanmu." Hiashi bergabung dalam meja makan. Aura dari pria terasa dominan sampai gadis yang namanya disebutkan meneguk liur perlahan.

Hikari mengambil posisi di sebelah kanan Hiashi. Hyuga itu memimpin doa sebagai kepala keluarga. Keheningan dalam makan keluarga adalah hal yang sengaja Hiashi terapkan. Ia bermaksud mengajarkan anak-anaknya menghargai setiap hidangan yang tersedia. Tidak menyia-nyiakan makanan dengan makan secukupnya—tidak berlebihan namun tidak kekurangan. Hiashi dengan tegas mengajarkan pada kedua putrinya. Tidak baik mengeluhkan nikmat langka itu.

"Berikan alasanmu."  Sang Hyuga membuka percakapan. Mereka mengisi ruang keluarga setelah menyelesaikan makan malam dengan hikmat.

"Kemarin ulang tahun Konohamaru, Otousan. Aku bersama teman-teman bermaksud merayakan bersama. Karena hari sudah gelap dan Konohamaru mengatakannya tiba-tiba saat itu, jadi aku ikut membantu. Apartemen Oneesan lebih dekat dari rumah teman-temanku. Memang sebelumnya kami berencana merayakannya di rumah temanku saja, tapi...." Hanabi berhenti, tatapan Hiashi seakan ingin menebasnya sekarang. Lalu ia melanjutkan perlahan, "J-jadi kami berbelok ke apartemen Oneesan saja." Cengiran takut-takut Hanabi umbarkan. Semoga Hiashi tidak berceramah panjang lebar.

Ia mendongak, mendapati Hiashi yang bersedekap menatap lurus ke arahnya. "Sudah?" Hanabi mengangguk.

Hiashi bukanlah kepala keluarga yang kejam kepada anak-anaknya. Ia memang akan memberikan pelajaran bila anak-anaknya melakukan kesalahan. Tidak langsung menghakimi, Hiashi akan menanyakan alasan dari tindakan tersebut. Setidaknya dari dasar meyakinkan nantinya bisa membuat keputusan yang bijak.

"Kamu tau kesalahanmu apa?" Hanabi mengiyakan pertanyaan Otousannya. Jiwa bar-barnya memang sangat berlawanan dengan kelahirannya di tengah keluarga penuh sorotan ini. "Maaf, Otousan."

"Pertama, kamu tidak meminta izin kepada Oneesanmu. Tindakan itu bisa dikatakan bentuk kriminalitas, Hanabi. Jika awak media tau, kamu bisa masuk laman berita harian hari itu juga."

Hanabi sangat tidak sabar ditambah perasaannya yang menggebu-gebu saat itu sampai ia melupakan tata krama seperti yang diajarkan Kaasannya. Bahkan guru tata krama khusus didatangkan untuk dia dan Hinata.

"Kedua, kamu membawa masuk teman-temanmu sembarangan. Merayakan boleh-boleh saja, tapi tidak harus di apartemen Oneesanmu. Barang-barang pribadi miliknya tentu ada di sana. Kamu tau 'kan Oneesanmu tidak suka barangnya disentuh sembarangan? Bagaimana kalau ada yang hilang, atau paling tidak pindah posisi? Seharusnya kamu memikirnya terlebih dahulu."

Hinata sejak kecil sangat merawat barang miliknya. Menjaga dan melindunginya, bahkan tangisannya tidak segan keluar kalau mainannya menghilang dari tempat biasa ia simpan. Hiashi mengamati anak sulungnya dan kebiasaanya dengan barang miliknya semakin kuat. Ia tidak ingin membuat Hinata disepelekan oleh adiknya sendiri. Hiashi berpikir akan mengajarkan ulang tentang batasan-batasan tidak tertulis yang harus Hanabi tau.

"Tidak membereskan tanggung jawabmu. Itu terakhir." Hiashi menekan ucapannya. "Kamu mau Otousan mengacaukan kamarmu dengan barang berserakan, sampah, dan sisa-sisa makanan yang berceceran?"

Hanabi diam. Tentu dia menolak keras kalau benar terjadi. Ancaman Hyuga Hiashi tidak pernah main-main. Jika kesalahan yang sama terulang, ucapannya akan jadi kenyataan saat itu juga. Hanabi juga membenci barang miliknya disentuh sembarangan, sama dengan Hinata. Ia harus meminta maaf dan menawarkan hadiah menarik agar Hinata memaafkannya cepat.

"Renungi kesalahanmu dan segera meminta maaf pada Hinata."

⋆⋆⋆

Ketukan dari sepatu mahal dengan lantai marmer menghasilkan suara gema dari lorong bangunan besar itu. Ukurannya yang kelewat besar dari pada rumah umumnya, malah bisa dibilang Mansion, namun tetap bukan. Seorang laki-laki dengan setelan rapi berjalan diantara pengawal dan maid di ruangan itu. Pengawal berambut putih berada di belakangnya, menarik tas kecil milik tuannya.

"Anakku."

Lelaki itu berhenti, membalas pelukan hangat ibunya erat. "Tadaima," bisiknya di perpotongan leher sang ibu.

"Okaerinasai, Sasu-chan."

⋆⋆⋆

"Kamu istirahat yang cukup dulu, Sasu-chan. Kaasan akan membuatkanmu sup tomat kesukaanmu. Okei?" Mikoto meninggalkan Sasuke di kamarnya setelah mendapat anggukan dari anaknya.

Uchiha Sasuke adalah putra bungsu dari pasangan Fugaku Uchiha dan Mikoto Uchiha. Dua tahun sebelumnya ia tinggal di Tokyo sebelum pindah mendadak ke kota terbesar di California, U.S.

Pribadi dingin, tidak peduli, dan masa bodo. Sasuke juga disebut serigala penyendiri. Media pernah mengangkat tentang si bungsu yang tidak pernah terlibat pembicaraan hingga dituduh bisu. Sejak kecil Sasuke hanya membuka diri pada keluarga dan sahabatnya saja.

"Yo, Teme!" Laki-laki bersurai pirang mengangkat tangannya. Sasuke hanya melirik sapaan sahabatnya dan mendudukkan diri pada salah satu sofa.

Lelaki pirang itu mengerucutkan bibir. "Kau tidak seru."

"Berhenti bertingkah menjijikkan, Naruto."

Cahaya gemerlap lampu tidak mengurangi pahatan sempurna milik bungsu Uchiha itu. Sejak kedatangannya di pintu masuk bar, beberapa kali pula sentuhan terbuka para wanita malam menyambutnya. Sayangnya godaan mereka tidak diterima baik, Sasuke membisikkan sesuatu hingga wanita malam itu bergetar ketakutan.

"Seperti yang dibicarakan, tuan muda kita satu ini sangat anti perempuan, ya." Lelaki dengan anjing besar dalam pangkuannya berseru. Lantas  ia geleng-geleng kepala.

"Wanita LA bagaimana? Kau tidak sebodoh itu menganggurkan sembahan mereka 'kan?" Sasori menganga. Pecinta selangkangan sepertinya hanya diberikan otak senggama, Sasuke menyayangkan wanita yang terjerat pesonanya. "Sayang sekali."

"Sasuke berbeda dengan manusia otak selangkangan sepertimu."

"Kau sama saja, sialan!" Sasori memaki Naruto.

Naruto mengelak. "Jangan samakan aku denganmu."

Kegaduhan antara Sasori dan Naruto memang tidak ada habisnya. Selain Sasuke, Sasori menjelma menggantikan lelaki itu semenjak ia pindah mendadak dulu. Naruto tidak akan membiarkan mata ikan itu mengejek dirinya.

"Kau meninggalkan kami tiba-tiba." Akamaru—anjing milik Kiba menggonggong, seakan menyetujui ucapan majikannya. "Akamaru bahkan merindukanmu."

"Termasuk kau." Sai tertawa.

Baru menyadari keberadaan sepupunya, Sasuke memandang dalam laki-laki pucat itu hingga Sai berdecak bersembunyi dipunggung Kiba.

"Jangan bilang seleramu batangan."

"Sialan, lepaskan tanganku!" Sai berteriak heboh ketika Sasuke menarik tangannya.

"Perkiraanmu sepertinya benar, Naruto." Sasori bergidik.

Kasihan sekali paman Fugaku kalau tau anaknya belok. Naruto terbayang gambaran yang membuat bulu kuduknya naik. Hih~

Little MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang