L i t t l e M e m o r i e s

126 16 0
                                    

[ Bagian Empat ]

Deruman kendaraan roda empat memekakkan telinga diiringi teriakan menggelegar para penonton di pinggir arena. Bagi pemilik jiwa pembalap seperti Sasuke, mereka berkumpul untuk melihat casanova satu itu. Penguasa jalanan telah kembali. Orang-orang yang sempat mengenal Sasuke lantas bersorak gembira karena arena maut itu tidak semenarik biasanya setelah kepergiannya.

Perempuan dengan pakaian kurang bahan mendekat ke arena. Kaki jenjang putih mulus itu terpampang jelas, mengajak pria hidung belang menjulurkan lidah merasakan keindahannya sampai pertengahan paha itu. Tali transparan jika ia memiliki mulut pasti susah berteriak minta tolong karena bobot yang ditanggung tidak sebanding. Daging kenyal itu mengintip setengahnya akibat sesak dari baju yang membalutnya. Puncak dari daging itu bahkan tidak terbalut apapun selain kain merah menyala yang dikenakan.

Dia berhenti diantara mobil Sasuke dan Sai. Benar. Hanya mereka yang akan bermain kali ini. Sai pikir bertandingan tiba-tiba dari Sasuke tidak akan menarik minat penonton karena tidak masuk jadwal perkumpulan mereka. Namun, kenyataannya berkata lain. Bodohnya dia harus melawan penguasa jalanan.

Sasuke membalas tatapan penuh dendam Sai untuknya. Ia menyeringai buas menyulut emosi lelaki pucat di seberang. Manik kegelapan miliknya kembali menatap lurus, mencoba dirinya sendiri setelah lama tidak memainkan kesenangannya.

Satu kesenangan menjadi penguasa arena balap terkemuka ini. Tokyo Drift.

"One."

Aba-aba mulai disebutkan oleh perempuan di tengah mereka. Dalam hitungan ketiga kedua mobil cepat itu melesat menuju kemenangan. Sasuke dengan lihai memainkan keahliannya sesekali melirik melalui kaca mobil posisi Sai di belakangnya.

Memasuki tikungan tajam—salah satu bagian arena yang sering memakan korban dengan ketajamannya hingga kesalahan sedikit mengendalikan kuda mesin itu akan berakhir fatal. Kematian seperti makanan keseharian, dengan kata lain tumbal menuju kesuksesan.

Tapi tidak dengan Sasuke. Laki-laki itu justru menyeringai dengan tikungan lidah iblis itu dengan menambahkan kecepatan mobilnya dilanjutkan atraksi sebentar.

Dengan kesombongan khas Uchiha, si bungsu berhenti lantas berbalik arah menunggu Sai yang langsung melanggar posisinya.

Penonton kian heboh dengan tingkah Uchiha satu itu. Garis akhir sudah di depan mata, mungkin kemenangan kali ini direbut oleh sepupunya.

Sayang sekali bintang utama tidak memberikan kesempatan jutaan yen untuk Sai. Pada detik-detik terakhir, Sasuke menerobos garis akhir membuat riuh penonton semakin menggila.

"Gila!" Host berteriak heboh. Keberadaan mic di dekat bibirnya memantulkan suara baritone yang diucapkan tiga kali. Tidak lain dan tidak bukan si pirang, pemilik kumis rubah dengan senyuman secerah matahari. Tidak salah lagi, dia Namikaze Naruto.

Terdengar seruan penonton semakin keras menyetujui ucapannya.

Naruto merangkul bahu sahabatnya. Menggoyangkan tubuh atletis itu hingga berakhir terpental jatuh setelah bogeman mentah dari Sasuke.

Kiba menepuk tangan disertai cengiran anjing miliknya dan gonggongan Akamaru di sisinya. Sasuke mengelus bulu terawat anjing besar itu. "Lainkali ajari aku, Sasuke!"

Pujian penuh kekaguman tidak henti-hentinya terdengar dari mulut-mulut penggila jalanan. Pemilik kejuaraan tetap diam di tempat memandang langit malam bersama bulan serta keramaian dari para prajurit dengan cahaya terang.

"Kyaaa! Sasuke-kun sangat tampan!"

"Kau kalah! Berikan 5000 yen sesuai kesepakatan kita."

"Aku masih syok dengan kecepatannya saat di jalur lidah iblis!"

Sasuke tidak menghiraukan obrolan orang-orang tentang dirinya. Saat ini, tujuannya hanya memberikan ungkapan selamat pada sepupunya. Mungkin, memberikan pelukan seperjuangan cukup menarik. Tapi, itu bukan gayanya sekali, ia bukan si bodoh Naruto dengan kegemaran merangkul semua orang. Marga keluarga seharusnya sudah menjelaskan siapa dirinya.

Dagu runcing itu diangkat tinggi, matanya menghantarkan penghinaan untuk orang-orang yang memilih menjadi lawannya, mulutnya tajam dengan omongan tidak pantas atau lebih sering diam menjadi pilihan—khas seorang Uchiha sekali. Karena tingkah Sasuke sebelumnya, Sai sangat jengkel, ia bersiap duel maut sekali lagi tidak peduli bagaimana kelanjutannya, dirinya juga raja jalanan meski keahliannya cukup berbeda jauh. Kekesalannya lebih berkuasa dari pikirannya.

"Kau tidak ingin memaksaku mengulang permainan itu 'kan?

Jarak beberapa meter dari posisinya berdiri, raut wajah Sai berubah mendengar ucapan orang di hadapannya. Pendengaran masih berfungsi dengan baik, sangat baik apalagi untuk mendengar ungkapan yang mengandung ejekkan yang di lemparkan Sasuke. Tubuh menjulang tinggi mengharuskan Sai mendongak lebih tinggi dengan tubuh bersandar pada pintu mobil untuk melihat tatapan mata.

Ia berdehem ringan, "Tidak." Harga dirinya memang sengaja diinjak-injak saat ini. "Kurasa tidak perlu."

Hingar-bingar penonton di sekitar mereka mulai berkurang. Mereka berpisah dengan bergerombol membuat kumpulan masing-masing dan melanjutkan obrolan tentang pertandingan sebelumnya. Dari kejauhan mereka menyebutkan nama Sasuke lebih bebas serta beragumentasi keahlian penguasa jalanan terkenal lainnya.

Sasuke mengedikkan bahu acuh tak acuh. Bukan hanya peduli, sedikitpun penasaran tidak menghinggapi dirinya. Terbiasa dengan lingkungan keluarga berada, Sasuke tidak terlalu memikirkan perasaan orang-orang sekitarnya selain keluarganya.

Uluran tangan menunggu sambutan balasan kepada Sai dengan wajah muram daripada orang lain di sekitarnya. Udara dingin Tokyo malam itu berganti hangat saat dekapan tangan lain menyentuhnya. Sudut bibir ranum milik Sasuke terangkat tipis, yang tidak lama mengeluarkan ultimatum bagi Sai yang mendengarnya.

⋆⋆⋆

Hidup di dunia, di planet bernama bumi yang tidak memiliki kehebatan suci seperti cerita karangan dalam buku novel yang baru ia beli sore tadi, menyadarkan Hinata kalau selama apapun ia menginginkan perubahan tidak akan ada dalam waktu instan. Sistem perubahan itu memerlukan materi, penyebab dan waktu yang tepat sebelum berkata tentang takdir itu sendiri.

Tongkat sihir dalam serial film Harry Potter mengacung ke arah plafon kamarnya pada puncak tangannya yang kurus. Menggerakkan acak, namun tetap berfokus lurus pada objek besar berwarna putih susu yang mengambil profesi layak manusia sebagai langit-langit kamar. Hinata pasrah dengan tubuh terlentang sejak setengah jam berlalu. Waktu terus berjalan ketika dirinya sibuk membisikkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung mendapatkan jawaban.

"Dia sudah kembali, ya?"

Pertanyaan itu keluar dengan volume lirih, mengambil contoh suara gumaman anak kucing ketika diganggu diwaktu tidur. Entah pada siapa kalimat itu ditujukan, Hinata bahkan tidak sadar salah satu dari seribu pertanyaan lain dalam benaknya menyembul keluar.

Dinding kamar tidak mampu menjawab, bukan tidak ingin, ia memang diciptakan untuk menyekat ruangan pada bangunan Hyuga. Begitu pula dengan benda mati lainnya, Hinata tidak mendapat jawaban.

Tak lama, mata yang sudah letih merekam jejak hari ini, menutup lensanya. Kegelapan itu terasa hangat lalu Hinata tenggelam mengikuti kantuk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Little MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang