L i t t l e M e m o r i e s

103 11 3
                                    

[ Bagian Dua ]

Pikirannya berkecambuk, melarikan ketenangan seorang Hinata Hyuga dalam renungan meratapi nasib. Sangat tidak bersyukur sekali kalau dilihat dengan keadaan ekonomi keluarganya yang jauh dari kata buruk, otaknya masih mampu merebut tingkat 3 dalam kelas, tubuhnya sehat sempurna, wajahnya apalagi—selain Uchiha, klan Hyuga terkenal dengan aura yang elegan dan tertata, rapi, serta visual yang tidak kalah menarik. Jauh dari kepantasan untuk merenungi keadaan dengan keperluannya yang sudah terjamin sampai tujuh keturunan—harusnya bahagia, tenang, aman, sudah pasti sejahtera.

Secara finansial tentu tidak perlu diragukan, keluarganya juga mendukung inginnya—bila sesuai syarat dan ketentuan dari sang Ayah, dan pendukung setia disisinya—Shikamaru Nara. Hinata berdecak. Kegundaan hatinya tidak lantas menghilang setelah kebersamaannya dengan Shikamaru 15 menit yang lalu.

Selesai drama instan siang tadi, memang masih ada adegan kejar-kejaran antara mereka, disaksikan warga sekolah yang tersisa serta Kakashi yang kebetulan memantau dari koridor. Banyak respon naik; ada yang ikut tertawa menyaksikan pasangan itu sampai cibiran dari beberapa murid. Baik Hinata dan Shikamaru tidak lagi memperdulikan tanggapan untuk mereka. Terlepas dari hal itu, setiap manusia tidak pernah  lepas dari omongan manusia lainnya. Mereka mungkin akan tertawa dan mencibir saat ini, lalu kemungkinan besar besoknya kembali seperti biasa—tidak peduli.

Lalu sore dengan tangisan langit yang ramai cukup menyita waktunya di perpustakaan kota. Dirinya sendiri ke sana—lebih tepatnya setelah membujuk Shikamaru tidak ikut bersamanya. Hinata tidak enak dengan Shikamaru yang terus mengikuti setiap langkahnya ditambah pekerjaan laki-laki itu dan sistem belajarnya yang jauh lebih berat. Makanya drama ala-ala itu terjadi.

Kepadatan tugas dari sekolah juga menutup kesempatan Hinata bermain. Kebiasaannya menelusuri taman kota yang tidak jauh dari apartemennya yang sudah menahun terganggu. Meskipun setiap hari ke tempat yang sama, Hinata tidak pernah bosan. Tidak pernah sedikitpun.

Perasaannya membuncah ketika semua urusan sekolah—entah itu tugas dan semacamnya— selesai, Hinata bersiap dengan dress kesayangannya. Alunan lagu OASIS - Don't Look Back in Anger berputar ringan.

"Bagaimana kabarmu, Hinata?"

Manusia berbeda gender itu duduk bersebelahan, menempati satu bangku panjang besi taman dengan keberadaan batas transparan membentang setengah meter sebagai pemisah.

"Baik." Hinata menjawab selang satu menit berikutnya. Gadis itu  menoleh, "Sai-kun sendiri?"

Bukannya menjawab, laki-laki berkulit pucat itu malah tertawa. Berusaha mengurai kecanggungan yang mencekik keduanya. "Kamu tidak berubah Hinata. Pemalu seperti dulu." Ada jeda, sebelum Sai melanjutkan, "aku baik. Sangat baik malah. Kamu tidak perlu khawatir." Sai mendaratkan tangan mengelus lembut kepala Hinata, melemparkan senyum.

"Paman dan Bibi bagaimana? Hanabi juga! Ah... Apa si kecil itu masih nakal mengingat tingkah nekadnya dulu."

Hinata ikut tertawa kecil mengingat masa-masa itu.

Sejak kecil Hanabi selalu membuat kegaduhan dengan kaki-kaki mungilnya yang membuat para Hyuga senam jantung. Balita manis itu tidak pernah mau diam sejenak dan terus mencari perhatian atau mainan baru yang menarik minatnya. Dengan rasa penasaran yang membludak, ketika berusia 3 tahun Hanabi pernah memasuki kolam ikan hias kesayangan Hiashi dan berakhir membawa pria kepala tiga itu masuk rumah sakit akibat menahan pilu.

Hinata tersadar, adiknya sudah mengerikan sejak dini. Huh~

"Aku benar 'kan?" Sai tertawa lagi, namun kali ini seperti mengejek gadis di sebelahnya karena hembusan napas lelah itu mengatakan semuanya. "Dia pasti sangat merepotkanmu."

Percakapan itu berlangsung 30 menit seterusnya. Lambungan tawa dan godaan sesekali terdengar, tentunya Sai pelakunya.

"Ambil."

Hinata menatap surat yang berhenti di depannya. Dia bingung.

"Ini untukmu." Hinata mengambilnya setelah paksaan Sai. "Baca nanti setelah ini. Kamu pasti tau surat itu dari siapa Hinata."

Sai bangkit, merenggangkan persendiannya sebentar. Ada tiga gaya yang Hinata lihat sebelum Sai kembali menautkan mata kepadanya. "Maaf, aku tidak bisa lebih lama lagi, Hinata. Sasuke akan menggila nanti."

"Jaa~ Hinata."

Punggung lebar Sai menghilang diantara kerumunan taman. Walau ini malam selasa bukan berarti pengunjung taman berkurang, bagian besar keluarga baru dan anak-anak mereka dan pasangan muda-mudi.

Tak hayal, hujan sore tadi malah membangkitkan kehangatan dari dalam benak manusia itu sendiri. Hinata tersenyum melihat interaksi antara cucu dan neneknya. Cucu laki-lakinya melepaskan jaket tebalnya untuk sang nenek lalu menambahkan kecupan ringan di kening nenek. Betapa manisnya. Keluarga dari anak itu lantas tertawa bangga.

Notifikasi dari ponselnya berbunyi. Hinata kembali duduk dan membuka pesan tersebut.

Nomor tidak diketahui
Udara semakin dingin, cepatlah pulang, Hime.

⋆⋆⋆

Musik yang menusuk gendang telinga membuat Sai mengumpat lepas. Kalau bukan demi mobil kesayangannya Sai lebih memilih bermain bersama perempuan-perempuan yang mencintai dompet serta adiknya. Sentuhan dari mereka sangat menggiurkan nafsunya—jangan lupakan rintihan mereka atas kuasanya. Oh, ya, mari kita percepat ini.

Matanya menjelajah ke sekeliling tempat berdosa itu. Dia pun melangkah ke sudut ruangan setelah menemukan orang yang dia cari.

Melemparkan kotak berukuran kecil dengan bentuk persegi dibalut kertas kado warna-warni, laki-laki itu juga mengistirahatkan bokongnya yang ikut kesal. Waktunya menenangkan pikiran.

"Sisanya kau minta Pain langsung. Bajingan itu tidak mempercayaiku untuk membawa lebih." Sai memijat keningnya. Itu sepertinya akan meledak.

Dengan kasar Sai menyambar bibir wanita penghibur di kanannya, sedangkan wanita lain di sebelahnya menyenangkan tubuhnya yang lain.

Laki-laki di seberangnya menatap tanpa minat. Tidak hanya Sai, teman-temannya yang lain juga asik dengan para wanita sewaan mereka.

Teringat bagian yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Dia menghisap rokoknya kembali.

Note :
Perhatikan alur maju-mundur, ya!
Terima kasih sudah membaca ♡

Little MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang