L i t t l e M e m o r i e s

124 18 6
                                    

[ Bagian Satu ]

Shikamaru menatap dalam manik Hinata, sedangkan gadis remaja itu membalas takut-takut. Keduanya berada di parkiran, tentu, karena jam sekolah sudah selesai dan bel pulang berdering lima belas menit yang lalu. Adegan drama tatap-menatap itu sudah berjalan dua menit tanpa ada jawaban pasti dari Hinata. Gadis itu sudah terlebih dahulu merasa ngeri dengan pertanyaan Shikamaru pada dirinya dan jawaban yang selanjutnya akan keluar dari gadis itu. Hinata tidak yakin bisa.

Perlahan napas yang sedari tadi dia tahan keluar melalu bibir yang dia gigit—korban pelarian Hinata mengatasi rasa gugupnya. Kebiasaan. "B-beneran kok." Syukurlah suara masih tersisa di kerongkongan.

Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Dia mengeratkan genggamannya pada tangan mulus Hinata dan mengelusnya. Tidak lupa, laki-laki itu memberikan ciuman-ciuman singkat di jari-jari lentik gadis itu.

Hinata hanya bisa mematung. Menahan teriakannya juga tungkai kakinya yang hampir meleleh. Sejak awal berpacaran dengan Shikamaru sampai saat ini—Hinata masih tidak terbiasa dengan semua sentuhan laki-laki Koala itu.  Dan... jangan lupakan kenyataan bahwa mereka masih berada di parkiran dengan semua murid yang tersisa di sana.

"Hargai yang jomblo dong!"

Masa bodo dengan Fuu yang tidak memiliki pacar, Hinata berusaha menetralkan debaran di dadanya serta wajahnya yang kian memanas.

"Kau semakin terlihat seperti tomat, Hime." Shikamaru mengacak surainya gemas disusul dengan gema kekehan laki-laki itu menggelitik perutnya. Pemuda tukang tidur itu menggeram setelahnya. "Hime, hari ini aku tertawa sudah berapa kali?"

Mungkin itu sama banyaknya dengan keram pada pipinya dan perut kupu-kupunya yang memaksa keluar. Hinata kembali menenggelamkan bibirnya masuk saat melihat raut Shikamaru yang lucu.

Dunia serasa milik berdua, ya.

Shikamaru meraih dagu Hinata yang menunduk, membingkai wajahnya dengan telapak tangan besarnya. Oh, lihat bahkan tangannya jauh lebih besar jadi pada wajah cantiknya.

"Jangan menunduk Sayang," katanya, "dunia harus tau siapa gadis paling cantik di sini."

Murid perempuan di samping keduanya mendengar itu sontak berteriak heboh. Hampir seluruh murid mengenal pasangan paling menggemaskan ini. Shikamaru dikabarkan jago dengan gombalannya untuk Hinata meski belum jelas bukti, hanya berpaku pada interaksi dan action saja. Namun, saat mendengar suara berat itu merangkai kata penuh panas itu membuat mereka ikut meleleh. Layaknya lilin dengan api di atasnya, atau es krim yang tersorot cahaya matahari.

Lama tidak bersuara—Hinata tidak yakin suaranya berfungsi dengan baik sekarang—gadis itu berdehem. Setidaknya dia harus mengeceknya agar tidak terlalu kelihatan salting. Meski laki-laki itu pun mengetahui yang sebenarnya keadaan jantungnya.

Aish, Hinata salah tingkah. Tolong bantu tutup mata nanas itu sekarang juga! "Shikaaa." Baik, ucapkan mantra semoga koala ini berhenti menggodanya. "Iya, Sayang?"

"Shikamaru Nara."

"Aku mendengarkanmu, Hinata Nara."

Hinata berbalik. "Terserah!"

⋆⋆⋆

Suasana taman terasa sesak padahal seharusnya tanaman-tanaman hijau di sekelilingnya memberikan kenyamanan dan sejuk kesegaran bagi para pengunjung. Curah hujan juga sudah berhenti sore tadi. Dengan dress tunik berwarna hitam tanpa lengan—bukankah udara dingin menjadi lebih dominan dengan tambahan tiupan angin-angin malam?

Hinata sadar dentuman didadanya lebih berisik dari seharusnya kala senyuman pemilik netra gelap tertuju kepadanya. Pujian tubuh goalsnya malah tampak mungil untuk laki-laki itu.

"Dress itu sangat cantik denganmu."

Kelu. Hinata tidak tau harus membalas apa ucapannya. Tungkai sampai saat ini kuat menahan berat tubuhnya sudah keluar dari perkiraan.

"Long time no see, Hime."

Kilasan masa lalu kembali hingga gadis itu termangu dengan pandangannya yang membayang. Hei, seharusnya Hinata tau perasaan ini.

Selang beberapa detik semuanya gelap. Pelukan hangat yang Hinata tidak asing lagi. Aroma tubuh laki-laki itu memenuhi indera penciumannya. Tanpa sadar, cairan bening meluncur di pipinya.

"Maaf, Hime, maaf," Shikamaru panik melihat air mata itu. Meski kontrol dirinya masih tenang, perasaannya mulai berlarian mengganggunya. "Aku menyebalkan, ya? Maaf, Hinata. Maafkan aku."

Dicium surai gelap itu penuh sayang. Shikamaru khawatir Hinata ingin memendam masalahnya sendiri, tapi air mata itu sudah terlihat jelas. Dengan sapuan jemarinya, laki-laki itu menyingkirkan aliran bening dari gadisnya.

Hinata masih diam dalam rengkuhan Shikamaru. Otaknya masih mencerna keadaan. Lalu matanya membulat, menatap tidak percaya Shikamaru dan menyumpah serapahi dirinya sendiri.

Seharusnya dirinya yang meminta maaf bukan laki-laki ini.

Kebersamaan yang sudah terjalin selama satu tahun mengitari gendang telinganya. Tawa laki-laki itu—Hinata merasa egois.

"Kamu tau alasanku memutuskan Lee tidak?" Tenten menunggu jawaban Hinata.

Hinata menggeleng.

"Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Dia melupakan aku—pacarnya. Dia larut dengan cinta pertamanya." Tenggorokannya tercekat. "Dan... dia meninggalkanku."

"Lee tidak menelponku. Dia tidak mengabari aku bagaimana harinya. Astaga, mungkin terdengar lucu sebenarnya padahal kami satu kelas. Tapi, bodohnya aku mempertanyakan itu. Ya... aku rasa cukup sekali hal bodoh itu aku lakukan."

Angin meniup rambutnya. Mengusap kasih wajah gadis yang terjebak dengan perasaannya sendiri—dulu.

"Sebaliknya, aku bercerita tentang hari-hari berlalu. Ke mana tujuanku, apa yang kulakukan hari ini, dan keluh kesah tanpa seorangpun tau—aku adukan kepadanya." Dari sini Tenten mendapatkan banyak pengalaman. Cukup berarti. Cukup dimengerti. Tenten tidak ingin mengulangi lagi. "Sampai akhirnya aku menyadari, menggantikan seseorang yang namanya sudah tercantum bagi si pecinta itu mustahil ... benar 'kan?"

Mereka hening setelahnya. Tenten dengan masa lalunya. Hinata dengan kebenaran yang dia dapatkan.

"Haha, aku terlalu banyak bicara hari ini."

Keras Hinata menggeleng. "Kamu tidak perlu minta maaf, Shika." Kenyataannya pelukan ini begitu nyaman. Hinata tertawa ringan, membalas tatapan Shikamaru untuknya.

"Aku mau es krim," bisiknya, malu.

Little MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang