7. Keputusan Untuk Meninggalkan

807 132 83
                                    

Sang dokter menghentikan gerakannya dan memandang Haein dengan cermat. “Hong Haein-ssi, ini adalah keputusan yang sangat besar dan penuh konsekuensi. Saya ingin anda benar-benar memikirkannya. Kondisi kesehatan anda saat ini juga perlu dipertimbangkan, dan tentu saja, pertimbangkan masa depan anak ini. Kondisi mental anda belum sepenuhnya membaik, akan membahayakan juga bagi diri anda.”

Haein terdiam, menatap kosong ke arah layar yang menampilkan gambar janinnya. Pikirannya berputar-putar antara kebencian, keputusasaan, dan perasaan bersalah. Sebesar apa pun keinginannya untuk menyerah, ada sesuatu yang menahannya-perasaan samar bahwa bayi ini mungkin satu-satunya harapan yang tersisa dalam hidupnya yang telah hancur.

Dokter melanjutkan dengan nada hati-hati, “Keputusan ini sepenuhnya ada di tangan anda, tetapi saya ingin Hong Haein-ssi mempertimbangkan semua aspek sebelum melangkah lebih jauh. Saya menyarankan anda untuk pulang dulu, renungkan keputusan ini dengan matang. Jika sudah, anda bisa kembali lagi.”

Haein mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia masih terombang-ambing. Setelah pamit, langkahnya terasa berat saat ia meninggalkan ruangan itu, meninggalkan tanda tanya besar tentang masa depannya yang masih gelap.

Malam itu, di apartemennya yang sunyi, Haein berbaring sambil memegangi perutnya yang mulai membesar. Dia tidak bisa menahan air mata yang mengalir tanpa henti. “Apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar tidak tahu lagi...” gumamnya pelan, suara hatinya dipenuhi dengan rasa bingung dan ketidakpastian yang mendalam.

Keesokan malamnya, Haein berjalan di sepanjang trotoar yang sepi, wanita itu membawa belanjaannya yang cukup berat. Walaupun berpikiran untuk menyingkirkan anak itu, nyatanya, Haein tetap membeli susu untuk kehamilannya. Ia berusaha menjernihkan pikirannya yang penuh kekacauan. Dia tak tahu harus pergi ke mana, hanya mengikuti langkah kakinya tanpa arah. Perasaan sesak masih menghantuinya, dan keputusan yang harus diambil terasa semakin berat di pundaknya.

Di tengah kesunyian malam, Haein tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Sebelum dia bisa bereaksi, suara yang sangat dikenalnya memecah keheningan.

“Hong Haein!”

Haein berhenti seketika, tubuhnya menegang. Taeyoung berdiri tak jauh darinya, matanya langsung tertuju pada perut Haein yang mulai sedikit menonjol. Ekspresi wajahnya berubah, dari dingin menjadi penasaran, dan akhirnya sedikit terkejut.

“Itu... anak kita, kan?” suara Taeyoung terdengar lirih namun penuh keyakinan.

Haein menatapnya membara, “Bukan. Aku menjajakan diriku kepada seratus laki-laki demi uang, kau hanya salah satunya.”

Taeyoung menatapnya tak suka, lelaki itu menahan pergelangan tangannya, “Jangan bercanda, Hong Haein! Aku tau betul itu anak kita. Kau hanya melakukannya denganku!” tegasnya tajam.

Haein membalas tatapan Taeyoung dengan mata yang nyalang, dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian yang selama ini ia pendam. “Ya, itu anak kita. Tapi lebih baik anak ini mati daripada harus punya ayah sepertimu.”

Kata-kata Haein memotong udara malam seperti belati. Taeyoung terdiam sejenak, jelas terpukul oleh ucapannya. Namun, dia segera menguasai dirinya kembali dan melangkah mendekat. “Apa yang kau katakan? Kau tak bisa melakukan itu.”

Haein tersenyum pahit. “Aku bisa, dan aku akan melakukannya. Aku tidak akan membiarkan anak ini hidup dalam kegelapan, ketidakadilan, dan ketidakpastian. Aku tak mau dia tumbuh menjadi bagian dari dunia yang kau ciptakan, Jang Taeyoung.”

Taeyoung mencoba meraih lengan Haein, tapi dia menepisnya dengan kasar. “Kalau kau begitu menginginkan anak, kau bisa dapatkan dari perempuan lain. Tidak perlu dari aku, aku tidak butuh anak.” ucap Haein dengan dingin.

Taeyoung, yang tidak terbiasa ditolak, dengan cepat mencengkeram lengan Haein, membuatnya tak bisa bergerak. “Tidak. Aku hanya mau punya anak darimu, Haein. Kita masih suami istri. Anak ini adalah bagian dari kita.”

Haein tertawa sumbang, suaranya penuh keputusasaan. “Suami istri? Kau benar-benar percaya itu, Taeyoung? Nama yang kau ucapkan saat pemberkatan bukan nama asliku. Apa kau tahu itu? Bagaimana bisa kau berpikir kita benar-benar suami istri?”

Mata Taeyoung menajam, tetapi dia tidak melepaskan cengkeramannya. “Di mata Tuhan, Dia tahu siapa yang kunikahi. Dan aku menikahimu, Haein.”

Haein memandang Taeyoung, matanya dipenuhi kebencian. “Kau tidak tahu apa-apa tentang Tuhan. Kalau Tuhan ada, Dia pasti tidak akan membiarkan semua ini terjadi. Kalau Tuhan benar ada, aku tidak akan mengalami ketidakadilan ini, dan orang-orang seperti dirimu sudah membusuk di neraka. Aku tidak akan membiarkan anak ini menjadi bagian dari rencana gilamu, Taeyoung.”

“Kau tidak akan tega melakukannya.” balas Taeyoung, melihat paperbag yang dibawa Haein, “Kau bahkan membelikan susu kehamilan untuk anak itu.”

Haein meremat kuat paperbag miliknya, “Ini asupan terakhirnya. Setidaknya, dia membawa bekal untuk hidup di surga.”

Kata-kata itu menggantung di udara, menyisakan hanya kesunyian dan ketegangan di antara mereka. Meski Taeyoung tampak berusaha menahan amarahnya, ada kilatan kesedihan di matanya yang tak bisa disembunyikan. Haein menarik lengannya dari cengkeraman Taeyoung, lalu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan pria itu dalam kegelapan.

Namun, dalam hatinya, Haein tahu bahwa ancaman Taeyoung dan kekuasaannya masih membayang-bayangi setiap langkahnya.

AKU MENCINTAIMU, HONG HAEIN!”

“Lupakan itu, Mr. Jang. Berikan belas kasih dan rasa cintamu pada yang lebih membutuhkan. Aku tidak butuh cinta.”

Tangan Haein mengepal kuat di samping, wanita itu berusaha untuk terus melangkah. Membiarkan Taeyoung berdiri jauh darinya, tidak mengejar. Dalam setiap langkah, Haein mengusap wajahnya beberapa kali, enggan terlihat cengeng walaupun hormon kehamilan membuatnya tidak berdaya.

Sesampainya di apartemen, Haein mengunci pintu itu sebelum menangis di ujung ruangan. Haein tidak sanggup, membayangkan gerakan bayinya yang mulai terasa saja, dia tidak sanggup. Anak itu memberi sinyal bahwa dia hidup dan aman disana, akan tetapi jika tempat teraman bagi anak itu tidak merasa aman dengan kehadirannya, apakah ia harus menyerah?

Haein buru-buru mengemas pakaiannya ke dalam koper, wanita itu sudah buntu. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan disini. Biarlah Haein membawa pergi apa yang bisa dibawanya pergi, menyisakan ruang hampa yang semestinya tak ditinggali.

Esok hari pagi-pagi buta, Hong Haein meninggalkan apartemen beserta ponselnya. Wanita itu sengaja meninggalkan ponselnya, takut-takut bisa dilacak. Ia memakai hoodie hitam, masker putih dan kacamata hitam.

Kemana Haein pergi? Ke kampung halaman kakek dari sang ibu. Tidak ada yang mengurus rumah itu semenjak kepergian kakek dan neneknya, itu artinya Haein harus membersihkannya.

Sesampainya disana setelah perjalanan empat jam naik bus, Haein berjalan lagi menuju rumah peninggalan kakeknya. Begitu berdebu. Haein memegangi pinggangnya, merasa pegal sekali.

“Maafkan Mama, ya, boy? Tolong bertahan dulu, mama harus bersih-bersih, setelah itu kita istirahat.”

Haein membuang kain-kain putih yang tertutup debu tebal. Beberapa kali ia bersin hingga hidungnya berair karena membersihkan debu. Baru saja membersihkan kamar, Haein merasa tidak sanggup lagi. Akhirnya wanita itu tidur saja.

“Maaf bos, pelacakan ponselnya berhenti di apartemen ini.”

Taeyoung menggeram kesal, bagaimana bisa ia kehilangan langkah Haein dan dengan sengaja wanita itu meninggalkan ponselnya di apartemen. Kemana perginya Haein?
Bahkan, pengurus apartemen bilang, semalam apartemen ini masih digunakan. Namun sore ini, dia sudah kehilangan jejak langkahnya.

🍀

11082024

temen temen semuanya bisa follow aku, ya! anyway, aku udah ngedraft sampe bab 12. yang mana cerita ini gak akan lebih dari 15 bab:)

✅Love In Disguise | Kim soohyun Kim jiwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang