Kehidupan yang membawa rasa sakit

64 44 11
                                    

Rakyat dari kekaisaran Murtha, yang dalam bahasa Jinjaar berarti Matahari. Mereka menyembunyikan bakat dan keunggulan dalam bayang-bayang kemiskinan. Sementara para bangsawan dan keluarga kekaisaran selalu sibuk unjuk gigi disemua kesempatan yang ada, bahkan dalam kelahiran sekalipun.

Suara erangan seorang wanita terdengar sangat pilu dalam kesakitan. Mulutnya disumpal dengan jerami . Ia meraung dalam perjuangan melahirkan bayinya sendirian. Bayi yang hampir merenggut nyawanya telah lahir, tanpa kekurangan satupun. Mendengar suara yang hening, pria itu berlari masuk, mendobrak pintu kayu begitu kuat. Langkahnya yang bersemangat, menjadi tertatih.

Perlahan bayi itu membuka matanya, mengerjap dalam kegelapan malam. Sial, apa aku tertidur lagi di tenda pasukan? Hmm, dingin sekali. Kenapa gelap sekali? Tangan ku... tidak berdaya.

Pria itu mendekatkan obor untuk melihat lebih jelas bayinya.

Mata besar bayi itu menelusuri wajah-wajah asing didepannya. Siapa mereka?! Ah... aku mati lagi? Dan sekarang aku bereinkarnasi lagi!? Gila. Kenapa tidak biarkan saja aku mati?

"Dia perempuan? Perempuan..."pria itu terduduk lemas.

Perempuan lagi? Padahal aku ingin setidaknya sekali hidup sebagai seorang pria. Selama menjadi seorang tentara bayaran, aku selalu mendapat cemoohan karena jenis kelamin ku ini. Dasar kasta sialan!

"Aku tidak mau membesarkan anak yang tidak bisa berkuasa! Kau bunuh saja dia, atau kubur hidup-hidup! Tidak ada gunanya merawat makhluk yang hanya bisa melahirkan!"teriakinya dan pergi begitu saja meninggalkan istri yang terbaring lemah.

Kedua kata itu memiliki arti yang sama, dasar rakyat jelata! Aku ingin sekali memakinya secara langsung.

Wanita yang terlihat ringkih dengan mata tanpa kilauan, menggendong anak yang baru terlahir ke dunia "Kau seharusnya tidak terlahir sebagai perempuan. Hidup seorang perempuan penuh dengan hinaan, juga hina"lirihnya.

Apa yang dia katakan pada bayi yang bahkan tali pusarnya masih menempel? Kenapa aku selalu memulai dari bayi, Tuhan? Dan kenapa pula aku selalu hidp sebagai orang miskin!? Tidak bisa kah membiarkan ku menikmati beberapa uang gratis tanpa harus hidup malang sejak dini?

Ia menatap bulan besar yang muncul dari balik jendela, menerangi kegelapan dimatanya  "Baik dimata pria dan sesama perempuan sekalipun, jika kau lebih rendah dari mereka kau akan terlihat hina"lanjutnya.

Ya, ya. Aku sudah tau. Aku mengalaminya ratusan kali dalam hidup ku. Cukup berikan aku asi hingga bisa berjalan, aku tidak akan menyusahkan mu nyonya. Ugh, lihatlah gubuk ini, tunggu... Ini bukan gubuk tapi kandang kuda?! Kau melahirkan ditempat ini sendirian?!

Wanita itu meraba-raba. Ia mengambil batu tajam disamping dipan beralaskan jerami. Air matanya bercucuran menggenggam sekuat tenaga.

Bayi itu menatap pasrah. Apa aku akan mati lagi? Jika aku mati kali ini, apa aku akan hidup lagi? Yah, terserahlah. Mau memohon seperti apapun juga, tidak ada yang akan berubah.

SRET!
Wanita itu menyayat lehernya sendiri. Darahnya menetes turun dari leher ke dadanya. Melumuri anaknya sekali lagi dengan darah.

Aku sudah banyak melihat raut wajah orang tua yang marah dan putus asa begitu dilahirkan. Namun kali ini adalah yang terburuk!

Nafas wanita itu tesengal-sengal, suara jantungnya yang semakin melemah dapat didengar oleh bayinya "Li...thia..."ucapnya di nafas terakhir. Tatapannya berakhir pada dua bola mata emas yang berkilauan dibawah sinar bulan.

Sial! Nama terkutuk! Konyol bukan? Apa yang dia katakan pada ku, dan caranya mengakhiri hidup didepan bayi yang baru hidup. Seharusnya dia mengatakan hal yang baik, dan hidup sedikit lagi. Mungkin aku bisa lebih berfikiran terbuka pada kehidupan kali ini. Tapi aku memang selalu terbuka, terlalu terbuka...

Harusnya kau bunuh aku saja...
Suara tangisannya baru terdengar, dengan sangat keras. Namun tidak ada kehidupan yang menyambutnya.

Kehidupan yang lain juga baru dilahirkan di hari yang sama, namun ia lahir dengan cahaya yang terang  dan derajat yang sangat berbeda. Sebagai anak seorang bangsawan.

"Duke Torondo! Bayinya sudah lahir!"gema suka cita dokter itu menyebar keseluruh mansion
Duke berlari kencang, menghampiri bayinya dengan jantung yang berdebar.

"Bayinya, perempuan"senyum terukir diwajah Duchess Torondo.

Sang suami mengambil bayi cantik itu dalam gendongannya "Anak ku... Anak ku perempuan!"soraknya tersenyum lebar. Putri kecil ini adalah anak keduanya, setelah putra pertama.

"Dia sangat cantik"sambung istrinya menggenggam tangannya.

"Kecantikan yang pantas sebagai putri mahkota!"gelegarnya. Merasa siap dengan rencana yang selama ini sudah diidam-idamkannya.

Duchess tertawa kecil "Jangan begitu jelas. Dinding punya telinga. Tapi Duke, matanya berwarna emas"risaunya merasa gelisah menatap kedua bola mata yang seakan bisa melihat semuanya "Mengerikan"gumamnya pelan.

"Tidak masalah. Tidak ada satupun anak yang bermata emas di Murtha selain putri ku. Betapa cocoknya dia dan tahta!"

"Bagaimana dengan namanya?"sanggah Duchess lagi. Nama yang sudah mereka siapkan sejak lama menghilang seketika. Dan digantikan dengan nama yang sama-sama muncul dalam benak mereka.

"Nadina Humaira!"serempaknya. Sontak bayi itu menangis keras.

"Menangis lah putri ku. Umumkan kelahiran mu!"Duke tertawa senang.

"Bagaimana dengan nama belakang keluarga, duke?"timpali Duchess.

"Dia tidak membutuhkannya. Saat menjadi putri mahkota, dia akan membawa nama kekaisaran dibelakangnya. Menjadi kebanggaan dan kemuliaan keluarga Torondo!"ujarnya sibuk mengecup putri berharganya.

Bayi ini disambut dengan baris kemewahan sekaligus nasib yang sama malangnya dengan perempuan diluar sana.

Abroum Inthus the Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang