04: Pertemuan

54 15 0
                                    


Setelah sekitar setengah jam berjalan, kalian akhirnya tiba di pos pertama. Itu adalah sebuah area datar di tengah hutan, dengan beberapa batu besar yang cocok untuk duduk. Kalian semua berhenti sejenak, meletakkan ransel, dan mengambil botol air masing-masing.

“Bagaimana? Lelah?” tanya Lefan sambil menuangkan air ke dalam gelas plastik.

“Sedikit, tapi masih bisa lanjut,” jawabmu sambil mengelap peluh di dahi.

Zeline mengeluarkan beberapa camilan ringan dari ranselnya. “Aku bawa beberapa makanan ringan. Kalian mau?”

“Aku mau!” Albern mengambil satu cracker dan menggigitnya. “Terima kasih, Zeline. Ini cukup untuk mengisi tenaga sebelum kita melanjutkan perjalanan.”

Setelah beberapa menit beristirahat dan bercanda, Lefan berdiri dan mengajak kalian untuk melanjutkan perjalanan. “Oke, teman-teman, kita sudah cukup istirahat. Mari kita lanjutkan perjalanan ke pos berikutnya. Makin dekat ke puncak, makin indah pemandangannya.”

Perjalanan mendaki kalian terus berlanjut, semakin ke puncak Medan yang dilalui semakin berat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perjalanan mendaki kalian terus berlanjut, semakin ke puncak Medan yang dilalui semakin berat. Meski merasa kelelahan kamu tetap lanjut melangkah, Zeline yang berjalan di depanmu sesekali menengok, memastikan kamu baik-baik saja.

"Bagaimana, [Nama]? Masih kuat?" tanyanya.

Kamu mengangguk pelan, meski kaki mulai terasa berat. "Masih... tapi jalannya mulai curam, ya?”

Lefan yang ada di depan memberikan aba-aba untuk hati-hati. "Teman-teman, jalur ini sedikit licin, jadi perhatikan pijakan kalian.”

Saat kalian mulai melintasi jalan setapak yang lebih curam, tiba-tiba kamu merasa tanah di bawah kakimu goyah. Sebelum sempat merespon, tanah longsor di bagian tepi jalan setapak itu membuatmu kehilangan keseimbangan. Kamu mencoba mencari pegangan, tapi semuanya sia-sia. Dalam sekejap, kamu terperosok ke dalam jurang.

“AAAH!”

"[Nama]!!" Zeline menjerit panik saat melihatmu jatuh. Lefan dan Albern segera berlari ke arah tepi, tetapi kamu sudah terlanjur jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam.

Kamu merasa tubuhmu melayang di udara, jatuh semakin dalam ke lembah yang gelap. Pikiranmu kacau, rasa takut mulai merayap di pikiranmu. Kamu sudah membayangkan yang terburuk; bahwa kamu akan terluka parah atau lebih buruk lagi, mati. Alih-alih terbentur keras di dasar jurang, kamu malah merasakan sepasang lengan yang menyambutmu dalam pelukan. Kedua matamu yang sebelumnya terpejam perlahan terbuka, dan di hadapanmu berdiri seorang pria dengan tatapan tajam namun tenang.

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya dengan suara lembut dan tegas, senyum tipis menghiasi wajah tampannya. Nada bicaranya hangat namun juga otoritatif, seolah-olah dia berbicara bukan hanya sebagai penyelamatmu tetapi sebagai pemilikmu.

Kamu termenung, “Aku... aku tidak terluka? Aku masih hidup?!”

“Tidak, aku telah menangkapmu sebelum kamu jatuh,” jawabnya sambil menurunkanmu dengan ke tanah. Namun, dia tidak melepaskan genggaman di tanganmu. “Aku sudah lama menantimu.”

“M-menunggu?” gumammu, masih merasa kebingungan.

Pria itu mengangguk. “Aku adalah Eledor, sang Fae yang telah diramalkan akan bertemu denganmu, pengantinku. Ramalan telah memberitahuku bahwa suatu hari, seorang manusia akan datang dan menjadi istriku. Hari ini, ramalan itu telah menjadi kenyataan.”

Kamu terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Pengantin? Tapi... aku tidak mengerti...”

Eledor menarikmu lebih dekat. “Takdir telah mengikat kita, [Nama]. Kamu adalah milikku sekarang, dan aku akan melindungimu selamanya. Di dunia Fae, takdir adalah hukum yang tidak bisa dilawan. Takdir kita telah tertulis sejak lama, dan sekarang kita akan bersama selamanya.”

Sebelum kamu bisa memberikan respon, Eledor melanjutkan, “Jangan khawatir, aku akan menjaga dan melindungimu dengan segenap kekuatanku. Kamu tidak perlu khawatir tentang apapun lagi. Kamu sekarang adalah bagian dari dunia ini, dan aku bersumpah akan membahagiakan kamu, [Nama].”

Perasaan campur aduk mulai muncul di dalam dirimu—antara takut, bingung, dan terpesona oleh sosok Eledor yang begitu misterius dan memikat. Kamu merasa bimbang, namun ada sesuatu dalam dirimu yang seolah-olah menerima kenyataan ini. Kamu mencoba bergerak, tapi tangan Eledor menggenggam erat tubuhmu, seolah dia tak ingin melepaskanmu lagi. Dia sudah mengklaim kamu sebagai istrinya, tanpa menunggu persetujuanmu.

Dengan itu, Eledor menggenggam tanganmu lebih erat, menatap matamu dalam-dalam, seolah mencari kepastian dari takdirmu yang baru saja diungkapkan. Dunia di sekitarmu terasa seakan memudar, hanya menyisakan kalian berdua, terikat oleh benang takdir yang tidak bisa diputuskan.

***

Sour Life 「Original Fiction 」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang