jamais vu - V

164 27 6
                                    


⚠️⚠️TRIGGER WARNING!!⚠️⚠️

[ TERDAPAT ADEGAN YANG MENUNJUKKAN INDIKASI PERCOBAAN BUNUH DIRI, PERILAKU SELF HARM, DAN DEPRESI]

  (⁠✷✷⁠)


Heeseung  masih berkutat di dalam studionya meskipun tak ada yang dirinya lakukan selain termenung. Pikirannya melayang tak tentu arah, berulang kali bibirnya mendesis lelah sebab rasa pening yang menyerang kepala. Sunoo sudah tidak pulang selama tiga hari belakangan dan dirinya masih diam tanpa bertindak. Demi Tuhan, laki-laki itu tidak tahu harus melakukan apa. Ia linglung total, sisa-sisa percakapan sakit antara dirinya dan Sunoo tempo hari selalu bermain di dalam ingatannya bagaikan kaset rusak.

Bahkan rasa panas yang dihasilkan dari pertemuan antara dua permukaan kulit tangan dan pipi itu masih membekas. Heeseung genggam tangannya kuat, lantas pukul mejanya dengan perasaan gundah.

"Brengsek!" Heeseung mengerang frustasi.

Surai gelap berwarna biru lurus dan lebat itu ia tarik pelan demi mengusir pening yang makin menjadi. Lantas tak lama setelahnya, ponselnya bergetar. Nama kontak nomor “my love” tertera pada layar datar benda pintar tersebut. Napasnya tercekat seketika, dan tangannya bergerak lebih cepat daripada otaknya yang belum sempat mencerna. Heeseung meraih ponsel tersebut dan membawanya ke telinganya.

"Kak, ayo bikin taruhan." Sunoo berbicara tanpa basa-basi. Sapaan pun tak lagi ia dengar sebagai kalimat pembuka yang biasanya terlontar manis.

Dan segera Heeseung sadari, suara tersebut terdengar bergetar dan melemah. Apakah kekasihnya yang satu itu sedang sakit? Ingin sekali ia menanyakan hal tersebut tetapi belum sempat mulutnya loloskan kata Sunoo mendahuluinya.

"Bukan taruhan juga sih, tapi lebih ke challenge. Sebutannya siapa yang paling bisa tahan buat nggak ketemu satu sama lain selamanya dia yang menang. Yang kalah dapat hukuman, hukumannya juga mudah. Kamu juga pasti gak akan kesulitan."

Sunoo menelan teguk kesulitan di seberang sana. Tanpa Heeseung ketahui bahwa kini dirinya tengah duduk bertekuk lutut di sudut ranjang kamar milik Jay dengan noda merah terang serta kental telah mengotori sebagian pakaiannya dan juga lantai. Lagipula pun jika Heeseung tahu, Sunoo sangat amat yakin seseorang yang masih menjadi pemilik kehidupannya itu tak akan peduli.

"Lagipula, pasti aku yang kalah. Aku yang paling gak bisa hidup tanpa kamu, Kak. Dari awal aku yang janji buat gak akan pernah berhenti sayang ke kamu. Mau gimanapun keadaannya nanti, aku gak akan pernah benci ke kamu, Kak. Jadi udah jelas nggak sih siapa yang bakalan kalah di sini? Hukumannya sederhana, kok. Boleh nggak kamu bilang ke aku kalo kamu udah nggak mau aku lagi, Kak?  Bilang kalau Kakak udah nggak sayang ke aku lagi, jadi aku ada alasan buat pergi. Seenggaknya aku dengar itu sendiri dari kamu, Kak."

"Sun..."

Heeseung tidak mampu mengatakan sepatah katapun selain seruan nama tak yakin yang lolos dari bibirnya barusan. Bibirnya bagaikan terkunci kala mendengar isakan berat dari seberang sana. Namun ia masih tidak melakukan apapun selain duduk di tempat yang sama sembari mendengarkan segala ungkapan menyesakkan tersebut.

"Kak, terus ngapain?"

"Kim Sunoo..."

"Ngapain aku harus terus hidup kalau tanpa kamu, Kak? Karena kenyataannya kamu lebih bahagia tanpa aku dan bukan aku lagi alasan bahagianya kamu."

Heeseung tidak tahu dan barangkali tidak akan pernah tahu bahwa luka yang tergores pada pergelangan tangannya itu digunakan untuk menutup luka serupa pada lubuk hatinya. Heeseung tidak akan pernah tahu kalau luka itu dibuat untuk menyembuhkan luka yang dia torehkan pada Sunoo.

Dan Heeseung malah memutus sambungan panggilan tersebut secara sepihak sebab merasa terluka karena Sunoo malah menyalahkannya.

Bukannya memang seharusnya menyerah saja?

  (⁠✷✷⁠)


Jaeyun menatap penuh penghakiman, namun Heeseung masih tidak mengatakan apapun selain menggenggam jari-jari tangannya. Pandangannya hanya fokus pada benda bulat cantik yang bersinar melingkar pada jari manis Jaeyun, serupa dengan miliknya.

"Sayang..." Jaeyun panggil Heeseung lembut, namun terdapat nada penekanan sebab ia butuh atensi dari yang lebih tua. "Sunoo ke mana? Dan kamu ada apa sama dia? Ini udah tiga hari dan dia belum juga pulang. Kamu yakin dia nggak kenapa-kenapa?"

Heeseung masih betah bisu, tangannya pun masih setia menggenggam tangan Jaeyun erat-erat.

"Lee Heeseung."

"Nggak tau, deh." Akhirnya kedua bibir itu melakukan fungsinya. Nadanya lolos frustasi.

Jaeyun memandang laki-laki yang ia cintai itu lekat, tak ingin luput dari besit netra yang saat itu coba dihindari darinya. Lantas ia perbaiki posisi duduknya, balik menggenggam tangan Heeseung sebagai tanda bahwa ia siap mendengarkan.

Heeseung buang napas berat, mulutnya ragu untuk berucap namun tatapan dari Jaeyun membuatnya kesulitan untuk tetap diam dan menghindari segalanya.

"Malam sebelum dia pergi kita sempat bertengkar. Dan aku gak bisa tahan diri sampai aku tanpa sadar nampar dia. Aku beneran marah ke dia karena dia kurang ajar, ngomong hal nggak baik tentang kamu di depan mata aku. Aku tau aku salah, tapi tindakan dia itu udah keterlaluan. Dia bilang kamu rampas aku dari dia, padahal itu ngga bener! Aku gak pernah diambil oleh siapapun, harusnya dia paham kalau aku bukan cuma milik dia—"

"Nggak kok, Kak." Jaeyun menghentikan kalimat Heeseung sebelum pasangannya itu berbicara lebih jauh. Genggaman pada tangannya mengerat, "I did. Sunoo benar, aku rampas kamu dari dia."

Heeseung kontan katupkan mulutnya rapat-rapat. Sejauh mana dirinya akan terus berpura-pura untuk tidak sadar dan acuh tak acuh.



  (⁠✷✷⁠)


Hal yang pertama yang menusuk indera penciumannya adalah aroma menyengat dari obat-obatan. Dan benda pertama yang tertangkap oleh pandangan kaburnya adalah langit-langit sebuah ruangan putih bersih yang cukup asing. Sudah barang tentu itu bukan kamar Jay lagi, karena seingatnya ruangan itu didominasi warna hijau daun gelap yang meneduhkan mata. Kelopak matanya berulang kali mengerjap sebab coba menyesuaikan bias cahaya yang memaksa masuk menembus retinanya.

"Ughhh, aku belum mati, ya?"

Suara yang keluar dari bibirnya begitu serak dan kering, mengundang atensi dari seseorang yang sedari kemarin duduk di kursi sambil memejamkan mata meski pada kenyataannya dia tetap terjaga. Segala rasa khawatir yang menumpuk pada pundaknya perlahan-lahan luruh kala Sunoo akhirnya sadarkan diri.

"Sayangnya belum, tuh."

Sunghoon dapat menghela napas lega sekarang. Ia diperkenankan untuk marah dengan sesuka hati karena akhirnya Sunoo masih tetap hidup meski bukan itu yang dia inginkan.

Karena jika tidak Sunoo benar-benar tidak pernah bangun lagi, maka Sunghoon akan menyesal seumur hidup.

"Aku keliatan kayak gimana, Kak?"

"Kayak orang tolol, bodoh juga."

Kekeh kecil lolos dari bibir pucat yang lebih muda. Gelak tawa pelan yang gamang dan perih. "Tau nggak, Kak Hoon?"

"Kalau aja aku bisa menentukan siapa orang yang harusnya aku cinta, aku bakalan pilih kamu deh, Kak. Tapi sayangnya nggak bisa, ya."

"Diem kamu. Nggak usah banyak ngomong." Sunghoon tahu itu, amat sangat tahu.

"Ck, lain kali nggak bakalan gagal deh."




  (⁠✷✷⁠)



haluuu lagii

jamais vu - l.heeseung x k.sunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang