03. Problematik dua garis biru

5 2 0
                                    

Monika dan Reza adalah pasangan muda yang telah menikah selama hampir lima tahun. Usia pernikahan mereka masih terbilang muda, namun, tekanan dari lingkungan sekitar tentang kapan mereka akan memiliki anak mulai membuat mereka gerah dan muak. Monika adalah seorang selebgram yang sibuk dengan berbagai iklan dan endorsement, sementara Reza adalah kepala cabang di sebuah perusahaan, dihormati oleh bosnya dan dicintai oleh bawahannya.

Setiap kali berkumpul dengan keluarga besar, pertanyaan-pertanyaan klise seperti "Kapan hamil?" atau "Kenapa belum hamil juga? Udah di cek belum?" selalu muncul. Pada awalnya, Monika dan Reza hanya bisa menanggapi dengan senyuman, mencoba untuk tetap tenang dan berpikir positif. Namun, semakin lama, pertanyaan-pertanyaan itu mulai mengganggu mereka. Di balik senyuman yang mereka berikan, ada rasa cemas dan kekhawatiran yang semakin mendalam.

***

Suatu malam, ketika Reza pulang terlambat dari kantor, Monika sudah menunggunya di ruang tamu. Wajahnya terlihat tegang, dan suasana rumah yang biasanya hangat berubah menjadi dingin.

"Kenapa baru pulang?" tanya Monika dengan suara rendah, namun jelas terdengar ada nada curiga di dalamnya.

Reza yang sedang melepas sepatu menoleh ke arah istrinya. "Iya maaf, aku lupa ngabarin. Ada rapat mendadak tadi. Kamu tahu sendiri kalau akhir-akhir ini kerjaan di kantor lagi banyak."

Monika mendengus pelan. "Banyak kerjaan? Atau banyak alasan?"

Reza mengerutkan kening, merasa tidak nyaman dengan nada bicara Monika. "Maksudnya gimana?"

Monika berdiri dan mendekati Reza, menatapnya dengan mata penuh kecurigaan. "Kamu nggak bosan sama aku kan? Kamu nggak lagi selingkuh, kan? Cari wanita lain yang bisa ngasih kamu anak?"

Pertanyaan itu membuat darah Reza mendidih. Tanpa bisa menahan diri, ia menggebrak meja di depannya. "Kamu ngomong apaan sih? Kamu terlalu overthinking! Aku pulang telat karena kerja, bukan karena hal yang kamu tuduh itu!"

Monika tidak mundur, meskipun hatinya mulai gemetar. "Za, kamu pikir cuma kamu yang capek? Aku juga capek dengar pertanyaan orang-orang, seolah-olah semua ini salahku! Aku sudah periksa semuanya, aku baik-baik saja. Tapi kenapa kamu selalu menolak diperiksa?"

Reza terdiam. Dalam kemarahan, ia merasa tersudut, dia tidak pernah mempermasalahkan soal anak dalam pernikahan ini, Monika yang meminta untuk dirinya mengecek kesehatan sangat mengusik harga dirinya. "Aku nggak perlu diperiksa! Aku sehat! Yang salah itu kamu, Mon. Kamu terlalu banyak kerja, terlalu sibuk dengan iklan-iklan itu. Coba kalau kamu sedikit mengurangi kerjaan, mungkin kita sudah punya anak sekarang!"

Kata-kata itu menghujam Monika seperti pisau. Ia merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia menolak untuk menangis di depan Reza. "Jadi, menurutmu ini salahku? Semua ini gara-gara aku?"

"Kamu yang cari gara-gara duluan ya," sahut Reza mengabaikan pertanyaan Monika, dia tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

"Aku bukannya cari gara-gara, aku mau kita saling komunikasi biar aku nggak mikir macem-macem."

Reza tidak menjawab, hanya menatap Monika dengan amarah yang belum mereda. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil kunci mobil dan meninggalkan rumah, membiarkan Monika sendirian di ruang tamu yang kini terasa semakin dingin.

Monika akhirnya menangis, merasakan seluruh beban dan kekhawatiran yang selama ini ia coba tahan, meledak dalam isak tangis yang tak tertahan.

***

Hari-hari berikutnya terasa sangat berbeda. Monika dan Reza yang biasanya hangat dan penuh canda tawa, kini berubah menjadi dingin dan saling menghindar. Di rumah, mereka hampir tidak pernah bicara, kecuali jika benar-benar diperlukan. Bahkan saat berpapasan di koridor rumah, mereka hanya saling mengangguk tanpa kata. Reza merasa bersalah, tapi ego dan rasa sakit hatinya menahannya untuk meminta maaf terlebih dahulu.

Story Time [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang