02. Setitik putih diantara kegelapan

9 3 0
                                    

Aldo adalah seorang lelaki berusia 27 tahun yang telah lama terjebak dalam dunia kelam obat-obatan dan minuman keras. Lingkungannya penuh dengan racun itu, dan Aldo, sebagai ketua geng, tak pernah membayangkan ada jalan lain yang bisa dia tempuh. Setiap harinya adalah siklus yang sama: pesta, mabuk, dan akhirnya kehampaan yang semakin dalam.

Pagi itu, Aldo sedang duduk di sudut sebuah kafe kecil. Kopi hitam yang hampir dingin tepat di depan  hadapannya, namun matanya tampak kosong menatap ke luar jendela, akan tetapi pikirannya berputar-putar, terperangkap dalam kegelapan hidupnya.

"Kenapa gue nggak bisa bahagia kayak orang lain ya?" gumam Aldo dalam hati.

Saat itulah, matanya tertumbuk pada sosok seorang perempuan yang sedang tertawa bersama teman-temannya di meja sebelah. Dari yang dia tahu perempuan itu bernama Anisa, wajahnya bercahaya penuh keceriaan. Sesuatu dalam diri Aldo bergetar melihatnya. Bagaimana bisa ada orang yang begitu bahagia, padahal dunia terasa begitu suram baginya?

Malam itu, ketika Aldo pulang ke markas gengnya, bayangan senyuman Anisa terus membayangi pikirannya. Entah kenapa, ia merasa iri. Di tengah hiruk-pikuk pesta di markas, Aldo merasa semakin terasing. Gengnya terus tertawa dan bersorak, tapi Aldo hanya terdiam, pikirannya mengembara.

"Bro, lo kenapa? Kok diem aja?" tanya Alfin, sahabat sekaligus tangan kanannya di geng.

Aldo hanya bisa menggeleng pelan, "Nggak apa-apa, Fin. Cuma lagi mikir."

"Lo jarang-jarang mikir sampe sedalem ini, ada apa sebenernya?" Alfin terlihat curiga.

"Biasanya juga lo terbuka sama kita, cerita aja Do," sahut yang lain menambahkan.

Aldo enggan menjawab. Dalam hatinya, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang salah dalam hidupnya. Tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana dan bagaimana?

---

Hari-hari berikutnya, Aldo terus memikirkan Anisa. Ia mulai mencari tahu lebih banyak tentang kehidupan perempuan itu. Aldo bahkan beberapa kali mengikutinya dari kejauhan, mencoba mengintip apa yang membuat hidup Anisa begitu berbeda dari dirinya. Ia menemukan bahwa Anisa sering menghabiskan waktu di sebuah komunitas religius. Orang-orang di sana tampak damai, sesuatu yang langka dalam hidup Aldo.

"Kenapa mereka bisa damai kayak gitu, ya?" gumam Aldo, saat ia mengamati mereka dari kejauhan.

Aldo semakin sering datang ke tempat itu. Ia mulai berbaur, meski dengan rasa canggung. Suatu sore, Anisa melihat Aldo duduk di belakang, sendirian.

"Eh, kamu yang sering aku lihat di kafe itu, kan?" sapa Anisa sambil tersenyum.

Aldo sedikit terkejut, "Iya, namaku Aldo." Tidak di sangka Anisa juga selama ini memperhatikannya, ada rasa senang yang dia rasakan saat ini.

"Aku Anisa. Sering banget aku lihat kamu di sini, kamu gabung aja yuk, biar nggak sendirian."

Aldo ragu sejenak, tapi ajakan Anisa terlalu menggoda untuk ditolak. Ia pun bergabung, dan mulai terlibat dalam berbagai kegiatan di komunitas itu. Mereka banyak berbicara tentang agama, tentang hidup yang lebih bermakna. Bagi Aldo, semua itu baru, tapi ia merasa tertarik. Ada semacam ketenangan yang mulai merasuki hatinya.

Seiring waktu, Aldo semakin dekat dengan Anisa dan lingkungan barunya. Ia mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Tapi ia tahu, jalan yang ia pilih tidaklah mudah. Geng yang selama ini menjadi 'keluarganya' tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.

---

Suatu malam, setelah beberapa hari tidak muncul di markas, Aldo menerima pesan dari Alfin. "Bro, lo ke basecamp sekarang. Kita perlu ngomong."

Aldo tahu ini saatnya. Dengan hati yang berat, ia pergi ke markas gengnya. Ketika ia tiba, semua anggota sudah berkumpul, menatapnya dengan tatapan tajam dan siap untuk melontarkan beberapa pertanyaan padanya.

"Apa yang lo lakukan, Do? Lo udah mulai jauh dari kita," suara Alfin terdengar keras, penuh emosi.

Aldo menunduk sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Gue... Gue cuma lagi nyoba hidup yang berbeda, Fin. Gue capek hidup kayak gini terus."

"Lo udah lupa sama kita? Geng ini udah jadi keluarga lo sejak lama. Kita udah banyak ngelewatin suka duka bareng!" Alfin tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.

Aldo menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak pernah lupa. Tapi gue juga punya hak buat milih jalan hidup gue sendiri, Fin. Gue pengen hidup yang lebih baik."

"Jadi, lo milih ninggalin kita semua?" tanya Alfin, suaranya lebih lembut, tapi penuh kesedihan.

Aldo menatap sahabatnya itu. "Gue nggak mau ninggalin kalian, tapi gue nggak bisa terus-terusan hidup dalam kegelapan ini. Gue cuma pengen berubah, Fin."

Alfin terdiam, menatap Aldo dengan mata yang sedikit berkaca. "Kalau itu yang lo mau, gue nggak bisa maksa lo. Tapi ingat, kita selalu ada buat lo."

Aldo mengangguk. Ia tahu, ini adalah perpisahan yang berat. Tapi ia sudah memilih jalannya. Dengan berat hati, Aldo meninggalkan markas gengnya untuk terakhir kalinya.

---

Hari-hari berikutnya terasa asing bagi Aldo. Tanpa geng dan rutinitas lamanya, ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang lebih sehat dan religius. Anisa selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya. Ia mulai mengikuti berbagai kegiatan positif, dan perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan buruknya.

Tahun-tahun berlalu, Aldo mulai merasa damai dengan hidup barunya. Ia telah melalui berbagai proses rehabilitasi untuk menghilangkan ketergantungannya pada narkoba. Kini, Aldo telah memiliki kehidupan yang lebih baik, bahkan telah menikah dengan Anisa dan memiliki seorang anak. Hatinya penuh rasa syukur, meski terkadang rasa rindu pada teman-teman lamanya masih mengintip di sudut hatinya.

Suatu hari, saat sedang bermain dengan anaknya di taman, Aldo dikejutkan oleh kehadiran Alfin dan beberapa anggota geng lamanya.

"Bro, lama nggak ketemu," sapa Alfin dengan senyum canggung.

Aldo berdiri, menatap sahabatnya yang terlihat sedikit berbeda. "Fin, lo ngapain di sini?"

"Lo pasti udah denger berita tentang kita kan? Gue nyesel ga ikut lo berubah, hidup lo jadi lebih baik ya," Alfin menggaruk kepala dengan gugup.

"Ya begini lah Fin, lebih nyaman menurut gue. Tapi berita apa? gue nggak tahu."

Alfin menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, "Gue sama anak-anak juga pengen berubah, Do. Setelah lo pergi, geng kita makin berantakan. Beberapa dari kita ketangkep polisi, pesta terakhir kita dikhianati sama cepu. Gue rasa, hidup kita udah cukup kacau, dan kita pengen mulai hidup yang lebih baik, kayak lo sekarang."

Mata Aldo berkaca-kaca mendengar hal itu. Ia tidak menyangka sahabat-sahabatnya akan datang kepadanya untuk mencari jalan keluar. "Gue senang denger itu, Fin. Gue siap bantu lo semua."

Alfin tersenyum lega. "Makasih banget, Do. Gue bener-bener butuh bantuan lo buat ngasih kita arah yang baru."

Aldo mengangguk. Ia tahu, jalan yang mereka pilih tidak akan mudah, tapi ia juga tahu bahwa mereka akan melewatinya bersama-sama. Perubahan memang sulit, tapi tidak ada yang tidak mungkin selama ada kemauan dan dukungan dari orang-orang yang peduli.

Akhirnya, Aldo, Alfin, dan anggota geng lainnya memulai perjalanan baru mereka. Mereka belajar untuk hidup lebih baik, dan meski sulit, mereka terus berjuang untuk masa depan yang lebih cerah. Setiap perkumpulan mereka kini menjadi kearah yang lebih positif, terkadang dalam 4 bulan sekali mereka mengadakan camping bersama tanpa adanya obat-obatan dan minuman keras itu lagi.

---

**Epilog**

Beberapa tahun kemudian, Aldo dan teman-temannya telah berubah menjadi individu yang lebih baik. Mereka menemukan kedamaian dalam hidup yang sederhana dan bermakna. Aldo dan Anisa hidup bahagia bersama keluarga kecil mereka, sementara Alfin dan yang lainnya terus berusaha memperbaiki hidup mereka.

Perjalanan mereka belum selesai, tapi mereka yakin bahwa dengan terus melangkah di jalan yang benar, mereka akan menemukan kebahagiaan yang sejati. Perubahan memang menakutkan, tapi kadang, itu adalah satu-satunya cara untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.

Story Time [Kumpulan Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang