Malam itu, langit dipenuhi awan gelap yang mengancam dengan hujan deras. Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Gabriela duduk di sudut sofa dengan wajah penuh resah. Daniel baru saja pulang, wajahnya tampak lelah, dan tanpa sepatah kata pun, ia langsung menuju kamar mereka.
Gabriela menatap ke arah pintu kamar yang tertutup. Hatinya dipenuhi campuran rasa cemas dan marah. Dia tahu ke mana Daniel pergi tadi—dia bersama teman-temannya lagi. Seperti biasa. Sudah terlalu sering Daniel mengabaikan keberadaannya, lebih memilih hang out bersama teman-temannya daripada menghabiskan waktu dengannya.
Ketika Gabriela masuk ke dalam kamar, Daniel sudah berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan kosong. “Kenapa kamu selalu memilih mereka?” suara Gabriela penuh dengan emosi yang terpendam. “Apa aku tidak cukup buatmu, Dan?”
Daniel mendesah pelan. “Gaby, aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri, untuk berkumpul dengan teman-temanku. Kenapa kamu selalu harus membuatnya jadi masalah?”
Gabriela merasa darahnya mendidih. “Masalah? Tentu saja ini masalah! Kamu selalu mengabaikanku, Daniel. Aku hanya ingin kamu di sini bersamaku, bukan dengan mereka.”
Daniel bangkit dari tempat tidur, menatap Gabriela dengan kemarahan yang tak lagi bisa disembunyikan. “Gaby, kamu tidak bisa mengatur hidupku. Aku butuh ruang! Kamu membuatku tercekik dengan sikapmu yang terus mengekangku!”
Suasana tegang itu membuat ruangan terasa sempit. Gabriela menatap Daniel dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku hanya takut kehilanganmu... Aku ingin menjaga hubungan kita.”
“Apa kamu menyebut ini menjaga? Ini lebih seperti mengekangku, Gaby. Aku merasa seperti tawanan di dalam hubungan ini,” sergah Daniel. Kata-kata itu meluncur seperti pisau yang menusuk hati Gabriela.
Gabriela mencoba meraih tangan Daniel, tetapi Daniel menarik diri. “Kenapa kamu tidak bisa mengerti? Aku hanya ingin kita bahagia,” isak Gabriela.
Daniel mendekat, matanya berkilat marah. “Dan kamu pikir aku bahagia dengan semua ini? Aku merasa tertekan, Gaby. Kamu terlalu mengontrol setiap gerak-gerikku!”
Sebelum Gabriela bisa membalas, tangan Daniel terangkat dalam kemarahan yang meledak-ledak, dan dia menjambak rambut Gabriela dengan keras. Gabriela tersentak, rasa sakit dan ketakutan menyebar cepat di wajahnya. Mereka saling menatap, terdiam dalam keheningan yang menghancurkan. Seperti ada sesuatu yang patah di antara mereka.
“Ini tidak bisa diteruskan,” kata Gabriela akhirnya, suaranya serak, air mata mengalir pelan di pipinya.
Daniel menunduk, seolah-olah kata-kata Gabriela adalah hukuman yang tak terhindarkan. “Aku tahu...” bisiknya pelan. “Kita sudah mencoba semuanya, tapi... tidak pernah berhasil.”
Hening panjang menyelimuti mereka, hanya suara detak jam yang mengisi kekosongan itu. Dalam keheningan yang menyesakkan, mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka telah sampai pada titik akhir. Tidak ada jalan lain kecuali berpisah, meski rasa cinta itu masih ada, tapi cinta itu telah berubah menjadi sesuatu yang tidak sehat.
“Baiklah,” ujar Gabriela setelah beberapa saat, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. “Aku akan pergi besok pagi. Aku akan tinggal dengan teman untuk sementara.”
Daniel mengangguk tanpa menatapnya. “Aku akan tinggal di sini sampai aku bisa menemukan tempat lain.”
Malam itu, mereka tidur di tempat tidur yang sama, tapi dengan punggung saling membelakangi. Kehangatan yang dulu pernah mereka rasakan kini berubah menjadi dingin yang menusuk. Tak ada lagi pelukan, tak ada lagi kata-kata manis. Hanya ada rasa sakit yang tak terucapkan.
Keesokan paginya, Gabriela mengemasi barang-barangnya dalam diam. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam tas seakan membawa kenangan yang menyayat hati. Daniel duduk di sofa, menatap ke luar jendela dengan pikiran yang melayang. Ketika Gabriela akhirnya keluar dari pintu apartemen, tidak ada kata perpisahan. Hanya keheningan yang mengiringi langkahnya pergi.
Daniel menutup pintu dengan perlahan setelah Gabriela menghilang dari pandangannya. Dia berdiri di sana, merasakan kekosongan yang begitu mendalam. Apartemen yang dulu penuh dengan tawa dan cinta kini terasa sunyi, seolah-olah semua kenangan itu telah dihapus begitu saja.
Waktu berlalu, namun luka itu masih terasa segar bagi keduanya. Gabriela mencoba menjalani hidupnya tanpa Daniel, tetapi bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. Setiap kali ia berjalan di tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi bersama, ia merasa ada lubang besar di dalam hatinya yang tidak bisa diisi.
Daniel pun tidak jauh berbeda. Dia mencoba kembali ke kehidupan lamanya, berkumpul dengan teman-teman, tapi selalu ada rasa hampa yang menyertainya. Setiap kali ia mencoba tertawa, selalu ada ingatan tentang Gabriela yang menghentikannya.
Meski mereka berdua tahu bahwa keputusan untuk berpisah adalah yang terbaik, itu bukanlah jalan yang mudah. Rasa sakit itu tetap ada, menyelinap di sela-sela kebahagiaan kecil yang mereka coba ciptakan sendiri. Namun, perlahan-lahan, keduanya mulai menemukan sedikit kedamaian dalam diri mereka.
Gabriela mulai belajar untuk mencintai dirinya sendiri, untuk tidak bergantung pada orang lain demi kebahagiaannya. Dia menyadari bahwa rasa cemburu dan ketidakamanan yang dulu dia rasakan adalah cerminan dari ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri. Daniel juga mulai memperbaiki dirinya, memahami bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan dalam sebuah hubungan yang penuh dengan rasa sakit dan tekanan.
Meski mereka telah berpisah, Gabriela dan Daniel tetap saling mendoakan yang terbaik dari kejauhan. Mereka tahu bahwa hubungan mereka yang dulu pernah membara kini hanya menyisakan bara, dan untuk menyembuhkan luka-luka itu, mereka harus melangkah ke depan, walaupun dengan hati yang berat.
Di suatu pagi, ketika matahari mulai terbit, Gabriela duduk di tepi pantai, menikmati angin pagi yang lembut. Dia menutup matanya, membiarkan pikirannya melayang, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia merasakan ketenangan yang mendalam.
Sementara itu, di apartemen yang kini kosong, Daniel menatap keluar jendela, memandang dunia dengan perspektif yang baru. Meski masih ada rasa kehilangan, dia tahu bahwa mereka berdua akan baik-baik saja, masing-masing menemukan jalannya sendiri. Perpisahan mereka adalah pelajaran yang pahit, namun perlu, untuk menemukan cinta yang lebih sejati—cinta yang dimulai dari dalam diri sendiri.
---
Cerpen ini menjadi pengingat bahwa kadang kala, perpisahan adalah satu-satunya cara untuk menemukan kembali diri kita yang hilang dalam sebuah hubungan yang penuh dengan luka. Gabriela dan Daniel, meskipun terpisah, belajar bahwa cinta yang sejati bukanlah tentang mengendalikan atau dikendalikan, melainkan tentang menerima dan mencintai diri sendiri terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Time [Kumpulan Cerpen]
Short StoryYuk yang lagi gabut boleh mampir kesini kakak🗣️ Berbagai macam kisah ada disini, kalau kalian punya cerita menarik dan mau di buat cerpen boleh kirim DM yaa🕊️