[21]

7 1 0
                                    


Gelap.

Ruang kecil dibalik jeruji itu gelap dan dingin menggigit. Selain bau apak dari dinding batu usang dan bau karat dari jeruji tua, aroma amis darah ikut menguar di udara.

Wanita tua di dalam jeruji terus-terusan menggali celah di bagian bawah dinding batu yang bertemu dengan lantai tanah. Dia menggalinya dengan alat makan yang rusak sejak tiga jam terakhir, tak peduli kulit jemarinya terparut permukaan kasar dinding dan berdarah-darah.

"Isla ... Isla pulang. Dia pulang ...." Kemudian dia tertawa lirih di tengah napasnya yang terengah-engah.

Kalung kristal hijau yang ia kenakan berkelip-kelip kuning seperti kunang-kunang di ladang rumput. Kalung itu yang memberitahunya kalau Isla ada di sini. Di dunia ini. Dan mereka harus bertemu.

Untuk memenuhi janji usang itu.

Kana tersedak dalam tidur dan ia perlahan bangun tuk meraih segelas air di lantai dekat kaki kasur tingkat.

'Tadi itu siapa? Wanita tua itu seperti mencoba kabur dari penjara' pikir Kana mengingat mimpi aneh barusan.

Dia lihat kalung kristal bersinar dari balik selimut Lisa yang tidur pulas. Sinarnya meredup perlahan. Dilihat dari reaksi si Kakak dan Miwa yang tidur di kasur atasnya, hanya Kana yang mendapat mimpi itu.

Perempuan itu heran, kenapa kristal kalung sangat semena-mena belakangan ini? Yah, bukan berarti kristal itu berpihak pada mereka sejak awal semua ini terjadi.

Paginya, Miwa memasang wajah ngeri setelah mendengar penuturan Kana tentang mimpi semalam. "Seramnya! Kristal kalungnya mengirim mimpi seperti itu?"

"Kilas balik," koreksi Lisa. "Mungkin wanita itu penyihir yang memberi kalung kristal Nenek Isma ke Nenek kita."

Mereka bertiga sedang bersiap memakai perlengkapan seragam maid. Kana yang tadi bangun awal tinggal memakai kaus kaki dan sepatu kain khusus pelayan. Lisa berkutat dengan cepolan rambutnya dan Miwa baru memakai celemek putih, belum mengikat rambut dan memakai perlengkapan lain.

Para pelayan berkumpul lebih dulu di dapur untuk mendengar pembagian jadwal hari ini.

"Kana, Runi, Bella dan Caster akan membantu Pangeran Lucius untuk menata ruangannya seharian ini. Aku ingatkan, Pangeran Lucius mudah sekali terpancing emosi, jadi sebisa mungkin kalian bersikap lebih peka dan tak begitu menanyainya. Pangeran Tobias akan membantu kalian juga sampai siang hari."

"Dimengerti."

Kana dan yang lain diminta membawa alat bersih-bersih sebelum mulai mengangkut perabotan ke dalam ruangannya.

"Aneh sekali. Tiba-tiba dia mau menetap di sini? Apakah hari ini ada acara spesial?" tanya Bella.

"Iya, ya. Kita tau betul Pangeran Lucius alergi dengan udara di kastel," timpal Runi. "Ah, aku dengar dia bertengkar dengan Paduka lagi kemarin. Aku tak dengar detailnya, tapi aku dengar suara pukulan ketika melewati ruangan Paduka"

Kana membulatkan mata selagi mendengarkan. "Pukulan?" Kaget Bella. "P-paduka memukul adiknya?"

"Entah? Namun, apakah itu mengherankan jika yang dipukul Pangeran Lucius? Dia pembuat onar, aib keluarga kerajaan Othia. Pukulan mesti sesekali dipakai agar laki-laki itu sadar."

"Kau juga memukul adik laki-lakimu soalnya, ya, Runi? Namanya Gerald? Yang kau bilang masih sebelas tahun itu," kata

"Aduh, jangan buat aku mengeluhkan semua kenakalan anak itu lagi. Rahangku akan pegal," kata Runi yang terlanjur pasrah.

Ruangan kosong yang diperuntukkan untuk Lucius mulai dibersihkan sementara kedua pangeran sedang pergi memilih perabotan di pengrajin kayu langganan.

Tobias melirik kakaknya yang diam saja dan menyerahkan urusannya pada sang adik. Dia tak paham tentang jenis kayu, model dan fitur yang dia perlukan untuk berkutat dengan urusan kerajaan.

The Bright Life of Isla [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang