⛧
Tak terhitung sudah berapa kali Natan berjalan memutari tempat yang sama. Mencari sosok yang mungkin tidak dapat Ia temui lagi disana dengan segenggam harapan.Angin sore berbaur dengan derap langkah kakinya yang linglung. Safir birunya memperhatikan lingkungan sekitar dengan seksama, sembari diam-diam mengucap harapan kecil yang tengah membelenggu perasaannya.
Kakinya terus berjalan kesana kemari tanpa arah. Bahkan kedua orang- ralat, satu manusia dan hewan itu belum tentu dapat Ia temukan dalam waktu dekat. Namun, Ia tetap pergi kesana setiap hari, karena jauh berada di lubuk hati nya, Natan begitu percaya bahwa usahanya tidak sia-sia dan akan berbuah manis pada akhirnya.
Sejujurnya Natan tak mengerti.
Kenapa pula Ia harus repot-repot melakukan ini?
Namun tekadnya yang sebelumnya berapi-api kini mulai meredup bahkan nyaris mendekati kata putus asa. Wajar, mengingat Ia tak kunjung mendapatkan titik terang ditengah kelabunya hingga saat ini, bahkan setelah melakukan pencarian selama tiga hari berturut-turut sendirian hasilnya selalu berakhir sama. Nihil.
Matanya terpejam cukup erat. Dengan khidmat merasakan sensasi nyeri yang menjalar dari telapak kaki hingga ke area lututnya secara perlahan.
Tidakkah ini sedikit keterlaluan?
Tulang tua nya sudah tidak cocok lagi bermain petak umpet dengan anak remaja yang energik seperti Gusion. Seharusnya sekarang Ia sedang duduk dengan nyaman diatas kasurnya, menyesap teh hangat yang Angela suguhkan dengan senang hati sembari menikmati suasana sore yang tenang sebelum berganti malam.
Nyatanya disinilah Natan berada, ditempat terbengkalai yang hanya sesekali dikunjungi oleh para pelayan untuk dibersihkan. Kebun belakang kastil Aberleen.
Natan menjatuhkan tubuhnya yang lelah ke tanah, punggungnya menyender pada batang pohon yang terlihat tua namun masih berdiri dengan gagah hingga saat ini. Pohon besar yang terlihat sederhana, satu-satunya tempat yang menjadi saksi akan kebodohannya tempo hari.
Natan menekuk lutut sembari menenggelamkan paras cantiknya hingga tak terekspos lagi pada dunia. Helaian rambut yang sudah berantakan pun turut menyembunyikan sebagian kecil dari wajahnya. Seolah-olah mengatakan dengan keras bahwa Natan tak ingin dilihat dalam keadaan menyedihkan seperti ini.
Seragam yang biasanya rapi kini terlihat kusut dan kotor. Bahkan warna hitam pekatnya tak mampu menyembunyikan debu-debu dan tanah yang menempel padanya.
Natan mendongak, menatap langit yang mulai berubah warna dengan sendirinya, "Aku lelah." ucapnya tak bertenaga.
"Hei!"
Seru an yang cukup keras sukses mengejutkan Natan. Ia bangun dari duduknya dengan tergesa-gesa, mencoba tenang agar dapat memastikan pendengaran sembari mencari-cari sumber suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BL] DUKE
Short StoryNatan mengerti. Mengerti akan batasannya sebagai rakyat biasa. Dia pun tau, tau dimana tempatnya bagi para beta berdiri. Namun keserakahan hati menjerumuskannya kedalam jurang yang sama. Kesalahan dimasa lalu kini terulang kembali kepada orang yang...