1. Sebuah Pertemanan

68 26 74
                                    

Don't forget to vote & comment if you like this story (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)
Selamat membaca...

Don't forget to vote & comment if you like this story (⁠≧⁠▽⁠≦⁠)Selamat membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hidup adalah perjalanan menuju pulang,
Tapi entah.. tidak tau akan sampai kapan.

Orang-orang menggunjing satu sama lain,
Memaki,
Mencela kekurangan.
Tanpa perasaan, tanpa pemikiran.
Seolah-olah mereka adalah sang maha benar.

~Lagu Seribu Bangau

***

"Eh, eh, itu tadi anak IPS yang sakit kemarin, kan?" suara itu terdengar ketika Aras berada di salah satu bilik kamar mandi. Ketiga siswi yang baru saja ia lewati di depan cermin kini membicarakannya. Walaupun terdengar berbisik-bisik, namun suara mereka terdengar jelas olehnya.

"Iya, kemarin kaget banget waktu lihat dia kejang-kejang. Matanya itu loh, nyeremin gitu!"

"Tuh, kan! Kemarin aku juga sempat lihat. Matanya kayak nakutin banget!" Seru salah satu siswi yang tergabung dalam peng-gosip-an itu, lengkap dengan nada yang mencela. Di dalam bilik, Aras mendengarkannya dengan dongkol. Telinganya ini sudah sering mendengar gunjingan semacam itu. Kali ini ia ingin mendengar sejauh mana gosip-gosip itu berbunga.

"Halah paling dia cuma mau caper aja. Zaman sekarang kan banyak orang yang mau dikenal tanpa modal." ejek salah satu siswi lainnya.

"Tapi kalau dia beneran sakit gimana? Enggak mungkin kan dia mau pura-pura kejang, di tempat umum lagi. Kayak enggak elegan banget, ih!"

"Siapa tau? Bisa aja, kan? Entertainment sekarang itu tertariknya sama hal-hal kayak gitu. Enggak perlu bakat, yang penting duitnya dapet. Mungkin aja dia salah satunya."

Slinggg

Bayangan segitiga abstrak bermunculan. Kepala Aras mulai nyeri dengan jari-jari tangan gemetaran tak terkendali. Tidak bisa. Aras tidak ingin penyakitnya kambuh di dekat mereka. Dirinya tidak mau dijadikan bahan gosip lagi. Sembari menutup mata, tubuhnya tersandar penuh pada dinding toilet. Aras berusaha melakukan relaksasi pernapasan 4-7-8 yang pernah diajarkan saat sesi terapi. Mula-mula ia menarik napas melalui hidung selama 4 hitungan, kemudian menahannya selama 7 hitungan, dan menghembuskannya melalui mulut selama 8 hitungan. Aras mengulanginya  4 sampai 5 kali hingga tubuhnya tenang.

"Masa sih dia cuma pura-pura? Kalau beneran sakit gimana? Jangan sampai penyakitnya nular ke kita-kita. Eh, penyakitnya bisa nular enggak, ya? takut banget ketularan!"

"Ih, amit-amit, deh!"

Niat awal Aras untuk melegakan kandung kemihnya terlupakan. Tergantikan kupingnya yang geli. Kini respon tubuhnya jauh lebih stabil dari sebelumnya. Bel pergantian mata pelajaran berbunyi, dan ketiga serangkai itu tidak kunjung pergi. Terpaksa ia harus menghadapi mereka. Dibukanya pintu bilik, Aras berjalan menuju wastafel membasuh kedua tangannya dengan air mengalir. Ketiga serangkai itu seketika terdiam. Mereka saling berpandangan sebelum kemudian melirik-lirik kearahnya.

"Tenang aja," cetus Aras seraya mengelap kedua telapak tangannya menggunakan tisu yang tersedia di samping wastafel, "Penyakit yang kalian lihat kemarin enggak akan nular,"

"Dan pansos pake bawa-bawa penyakit itu enggak level,"

"Cuma buang-buang waktu." Tentu saja Aras tidak akan membiarkan mereka menang atas cacian yang sudah dilayangkan padanya. Dirinya tidak suka dan tidak ingin dijadikan bahan gunjingan. Lagi pula siapa yang mau dijadikan objek ghibahan? Tentu tidak ada kecuali orang itu benar-benar gila. Selesai dengan acara 'bersih-bersihnya' kini Aras berjalan keluar. Meninggalkan ketiga penggosip itu dengan senyum ramah yang terpatri sinis di wajahnya.

***

"Sumpah?" teriak Laila setelah mendengarkan cerita dari Aras mengenai kejadian di toilet pagi tadi. Beberapa siswa yang sedang menikmati makan siang mereka bahkan mengalihkan atansi kepada sejoli itu atas teriakkan yang tak kenal tempat. Sedang si empu cerita hanya mau mengangguk sebagai respon yang tak acuh, melanjutkan acara makannya yang terganggu akibat teriakkan Laila.

"Kamu masih ingat wajah-wajah kutu kupret itu? Biar aku samperin terus geprek-geprek mereka!" sungut Laila. Ia mengepalkan tangan kanan dan meletakkannya di telapak tangan kiri. Mengandaikan telapak tangannya sebagai wajah ketiga penggosip itu. Mie ayam di depannya bahkan mulai dingin, terabaikan. Selera makan Laila seketika menghilang.

"Kalau mau ngelabrak, orangnya ada di meja sebelah kanan. Di dekat pintu masuk," ujar Aras, menatap datar ketiga serangkai yang saat ini sedang tertawa ria. Membuat Laila seketika berbalik badan, menatap sinis ketiganya. Tangannya sudah terkepal sempurna, siap untuk membuat perkara.

"Tapi kalau mau nurutin saranku, kamu jangan buat masalah. Baru minggu lalu kamu masuk bk. Jangan sampai kali ini masuk bk lagi cuma gara-gara hal sepele." pungkas Aras, seraya mengaduk-aduk bekal nasi goreng sehatnya.

"Sepele? Hal kayak gitu sepele, Ras?" Laila tidak suka mendengarnya. Lebih tepatnya ia tidak suka dengan Aras yang sering menyepelekan masalah. Sebagai seorang yang sudah lama bersama, Laila tau bagaimana sifat Aras. Sahabatnya itu akan membiarkan orang-orang berbicara sesukanya. Entah baik atau buruk, asalkan dirinya tidak merasa terganggu maka itu tidak akan menjadi masalah.

"Mereka mau buat gosip itu bukan urusan kita, La."

"Termasuk gunjingan mereka ke kamu?" Laila tak terima. Dirinya bukan orang yang mudah memaafkan. Bahkan kalau bisa ia akan membawa dendam sampai mati. Terdengar klise memang, tapi itulah dirinya. Itulah tabiat buruknya.

"Selagi aku ngerasa enggak dirugikan, menurutku enggak masalah. Toh, gosip-gosip itu udah ada sejak setahun yang lalu. Aku udah kebal. Udah engak apa-apa."

Pembohong. Aras pembohong ulung!

 Aras pembohong ulung!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hallo hallo hai
Ketemu lagi di LSB bab 1 ^⁠_⁠^
Buat teman-teman yang mau kasih saran kepenulisan ataupun seputar mengenai penyakit yang diderita Aras, dipersilahkan ya..

Penyakit dari cerita ini dipelajari melalui internet, sehingga bisa saja kesalahan. Jadi ditunggu ya komen-komen sekalian. Mari belajar bersama (⁠人⁠ ⁠•͈⁠ᴗ⁠•͈⁠)

Terima kasih sudah berkunjung
Jangan lupa kembali lagi

See you 💫

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lagu Seribu BangauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang