Celine Dumara, sejak kecil dihantui oleh bayang-bayang ingatan yang terasa begitu nyata. Seakan-akan ia pernah hidup di masa lampau. Setiap kali mencoba berbagi, ceritanya selalu dianggap khayalan belaka.
Dijauhi dan diisolasi, Celine merasa kesepia...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ikuti alurnya saja?"
***
Siang itu, udara kota masih terasa segar berkat rindang pohon mahoni yang berbaris di sepanjang jalan. Celine berjalan tanpa tujuan, pikirannya melayang antara masa kini dan masa lalu yang samar. Kenangan tentang kalung misterius dan sosok pria bermata biru terus menghantuinya.
Kaki Celine terasa pegal. Ia mencari tempat teduh dan menemukan sebuah taman kecil. Di bawah pohon beringin yang rindang, ia duduk di bangku taman.
Anak-anak bermain riang di sekitar taman: ada yang sedang belajar bersepeda, ada yang bermain bola, dan ada juga yang menangis karena ingin es krim.
Senyum tipis terukir di wajah Celine. "Indah," gumamnya, terpesona oleh pemandangan di depannya. Tiba-tiba, suara seseorang membuatnya terkejut. "Indah banget ya mbak?" tanya seorang pemuda.
Celine menoleh dan mendapati tukang paket yang tadi pagi mengantarkan kalung misterius.
"Maksudnya, pemandangan kayak begini emang menyejukkan mata. Mbak nya tadi keliatan murung, sekarang udah senyum. Pasti ada kenangan indah di taman ini, ya?" lanjutnya.
Celine hanya tersenyum tipis. "Ngga juga," jawabnya singkat.
"Nama mbak Celine, kan?" sapa pemuda itu. Celine menoleh sebentar, lalu kembali menatap taman. "Dari mana kamu tahu?" tanyanya tanpa minat.
"Dari paket yang saya antar tadi pagi," jawab pemuda itu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Oh," gumam Celine. Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Kamu siapa?"
Celine menatap sekilas tangan Faja yang terulur, lalu mengabaikannya. "Siapa yang kirim kalung itu?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Faja tampak terkejut. "Kalung? Kalung apa?" Celine menatap tajam ke dalam mata Faja. "Kalung yang tadi pagi kamu antar. Kamu kan tukang paket, pasti tahu siapa pengirimnya."
Faja terdiam sejenak, berusaha mengingat-ingat. "Duh saya enggak tahu, serius. Saya kan cuma kerja nganter paket dari gudang ke rumah pelanggan." Celine mengerutkan kening, masih ragu. "Beneran nggak tau?" tanyanya lagi.
Faja mengangkat kedua tangannya, seolah menyerah. "Beneran, Celine. Apalagi saya baru kerja di sini, masih magang. Lagian, isi paket biasanya enggak saya lihat."
Celine mendengus kesal, "Jangan sok akrab manggil nama aku!" Nada suaranya dingin menusuk, lalu ia beranjak pergi dari sana. Faja tertegun sejenak, matanya membulat tak percaya. Sikap dingin Celine benar-benar di luar dugaannya.
Sehingga tanpa sadar Faja bergumam, "Cantik sih, tapi kok juteknya minta ampun, kayak mak lampir aja." Celine tiba-tiba berbalik, tatapannya tajam menusuk Faja. Sepertinya ia mendengar gumam pemuda itu.
Dengan nada mengintimidasi, Celine bertanya, "Bilang apa barusan?" Faja terkejut dan langsung memalingkan muka. "Oh paket masih ada yang harus diantar," ucapnya yang langsung buru-buru pergi dari tempat itu karena takut.
Celine melihat kepergian Faja yang buru-buru karena takut. Dia hanya menghela napas panjang. Rasa bersalah mulai menyeruak dalam hatinya. 'Apa aku terlalu kasar?' pikirnya.
Setelahnya Celine hanya berusaha melupakan kejadian tersebut dan lanjut jalan-jalan lagi.
Beberapa saat kemudian langkah kakinya terhenti saat Celine menemukan sebuah sudut kecil penuh warna di taman. Sebuah meja panjang dengan aneka warna cat dan kanvas tertata rapi. Rasa penasarannya membuncah, ia pun menghampiri seorang wanita tua yang sedang melukis. "Permisi," sapa Celine ramah.
Wanita paruh baya itu tersenyum hangat, "Ya, Nak? Mau ikut mewarnai juga?" tanyanya. Celine mengangguk antusias. "Berapa harganya, Nek?" tanyanya penasaran.
"Nenek kasih diskon khusus untuk kamu," jawab wanita tua itu sambil mengedipkan mata. "Kalau mau mewarnai, cukup tiga puluh ribu saja. Tapi kalau mau mencoba melukis, nanti Nenek lihat dulu hasilnya. Kalau bagus, Nenek beli, ya?"
"Iya, Nek, saya mau coba melukis aja," ujar Celine penuh semangat. Nenek itu tersenyum lebar, lalu menyiapkan semua perlengkapan melukis untuk Celine. Sebuah kanvas putih bersih, palet warna-warni, dan kuas halus sudah terhidang di hadapannya.
"Silakan, Nak. Pakai celemek ini biar bajumu tidak kotor," tawar sang nenek. Celine mengangguk senang, mengenakan celemek, lalu mengambil tempat duduk.
Sebelum mulai melukis, Celine mengikat rambut panjangnya agar tidak mengganggu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai membayangkan apa yang ingin ia lukis. Kuas halus itu mulai menari di atas kanvas, menciptakan goresan-goresan pertama.
Setiap goresan kuas seolah menjadi jendela jiwa Celine, menuangkan segala perasaan dan pikirannya ke atas kanvas. Namun, ketenangannya seketika terusik. Bayangan samar muncul kembali di benaknya.
Seorang gadis anggun dalam balutan gaun vintage, ditemani seorang pelayan setia yang tersenyum lembut menyaksikannya melukis.
"Enggak lagi!" Celine mendesah, memegangi kepalanya yang mulai berdenyut. Ingatan itu begitu nyata, membuatnya merasa pusing. Namun, ia menarik napas dalam-dalam.
"Oke, kita ikuti aja alurnya," gumamnya mantap. Anehnya, tangan Celine bergerak sendiri, seolah mengikuti ingatan samar itu, seolah dipandu oleh kekuatan misterius.
Bersambung..
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.