Chapter 4 - Deja vu

119 21 10
                                    

Happy Reading🏹

Halfoy kembali ke kamarnya dengan langkah berat. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, penggungnya bersandar pada dinding yang terasa dingin di punggungnya. Pandangannya terpaku pada buku tua yang kini ada di tangannya, buku yang menjadi kunci semua pertanyaan ini. Jemarinya menyusuri sampulnya yang usang, mencoba mencari jawaban dan semua ini. Pikirannya kacau, seolah-olah ribuan suara berbicara di dalam kepalanya, tapi tidak ada satu pun yang memberinya jawaban yang jelas.

“Bagaimana bisa?” bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa serumit ini. Bibi Anne, Netherrealm—semuanya terjalin dalam benang kusut yang semakin sulit diuraikan. Halfoy meremas buku itu lebih erat, seolah berharap bisa mengeluarkan semua jawaban dari dalamnya. Namun, tidak ada yang terjadi. Hanya ada kesunyian yang menelan setiap desah nafasnya.

Ia merasa terkepung, tidak ada jalan keluar yang jelas. Semua orang di sekitarnya, termasuk para saudara kembarnya sendiri, tidak mempercayainya. Bahkan Theodore, yang seharusnya berada di pihaknya setelah apa yang mereka alami bersama, malah tampak acuh tak acuh. Padahal, Theodore yang pertama kali membuka semua misteri tentang Netherrealm.

“Sialan, kenapa harus aku yang mengingat semua ini?!” Halfoy bertanya pada dirinya sendiri, suaranya penuh dengan keputusasaan. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia cepat-cepat menghapusnya. Ia tidak ingin menangis, tidak sekarang.

Namun, saat ia menutup matanya, bayangan Caspian muncul kembali, begitu jelas dan nyata di benaknya. Caspian yang selama ini hilang dari ingatan semua orang, seolah-olah tidak pernah ada. Hanya Halfoy yang masih bisa mengingatnya, hanya ia yang merasakan kehilangan yang begitu dalam.

Halfoy merasakan hatinya semakin berat, dipenuhi oleh kesedihan yang tidak bisa ia ungkapkan. Semua orang sudah melupakan Caspian, seolah-olah keberadaannya tidak pernah berarti. Tapi bagi Halfoy, Caspian adalah bagian dari dirinya, bagian yang hilang namun tidak pernah bisa digantikan.

Halfoy beranjak dari duduknya, berjalan menuju cermin besar yang ada di kamarnya. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin, wajahnya memantulkan tekad yang baru saja tumbuh dalam hatinya. “Halfoy, sekarang tugasmu bertambah, selain berusaha mengembalikan ingatan semua orang tentang Caspian,” gumamnya dengan suara penuh tekad. Suara itu terdengar lebih keras di telinganya, seolah memberi kekuatan pada dirinya sendiri, dan keinginan yang mendesak untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar mengingat.

“Jika keadilan atas kematian Caspian tidak bisa ditegakkan, bukankah nyawa harus dibayar dengan nyawa?” ujarnya dengan smirk yang perlahan muncul di sudut bibirnya. Kata-kata itu keluar dengan dingin, nemun terasa benar. Ia tidak lagi merasa takut dengan apa yang harus dilakukan. Dendam yang perlahan-lahan tumbuh dalam dirinya mulai menemukan bentuknya, memaksa Halfoy untuk bertindak lebih jauh.

Pikirannya kembali pada Theodore. Sebuah perasaan yang aneh melingkupi dirinya—campuran antara kemarahan dan rasa syukur. Jika bukan karena Theodore, ia tidak akan pernah tahu tentang Netherrealm, dan keberadaan Bibi Anne di sana, terjebak dalam dunia yang tak terbayangkan. Sepertinya nasib telah mempertemukan mereka kembali dengan cara yang paling tak terduga. Sekarang, ia merasa harus berterima kasih kepada Theodore, meskipun hanya dalam hati.

"Benar, semua ini tidak mungkin kebetulan," bisik Halfoy, matanya menyipit saat mencoba menyusun potongan-potongan yang tersebar di kepalanya. Setiap kejadian yang mereka alami, setiap petunjuk yang mereka temukan, semuanya seolah-olah dirancang untuk membawa mereka ke titik ini. Namun, satu nama terus menghantui pikirannya, menggantung tanpa jawaban yang jelas. “Siapa Pangeran Avi?” tanyanya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar seperti desisan pelan, hampir tidak terdengar.

𝐀𝐫𝐫𝐨𝐰 𝐨𝐟 𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang