05. Namanya Juga Pengantin Baru

46 12 10
                                    

Kata orang, malam pertama setelah resepsi pernikahan itu akan dua kali lipat lebih canggung dibandingkan kencan pertama. Rasanya sungguh benar terjadi.

Sangga yang menginap usai melangsungkan resepsi pernikahan dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam ini, ternyata tidak mampu menghapus kecanggungan di dalam kamar bernuansa biru muda tersebut.

Mereka duduk berjauhan di atas kasur. Gyana memeluk erat bantalnya dekat sekali dengan lampu tidur pemberian Sangga. Dan pria itu duduk di ujung sisi lain. Memainkan ujung-ujung selimutnya.

Sangga melirik Gyana takut-takut. Perempuan cantik itu masih basah rambutnya, dia bilang dia tidak bisa sehari tidak keramas, apalagi acaranya dari pagi. Bingung kalimat pembuka apa yang harus dia katakan sekarang. Soal tamu undangan? Soal biaya nikah yang sudah lunas? Katering hari ini? Apa?

"A Sangga."

"Iya?" Sangga buru-buru menyamping untuk menatap Gyana setelah suara perempuan itu terdengar.

Gyana malu-malu mendongak. "Mau buka amplop nggak?"

Sangga melongo. "Eh?"

"Dibanding bingung mau ngapain, mau ngitung amplop nikahan hari ini nggak?"

Mereka kompak melihat di ujung kamar mereka, dua kotak amplop yang ada di depan meja tamu tersebut teronggok manis agak tersudut di antara hadiah pernikahan yang lain.

"Kamu mau buka amplop?"

"Terus Aa mau ngapain sekarang?"

Sangga menggaruk tengkuknya. "Iya ya, ngapain ya?"

Gyana memainkan bantalnya. "Aku 'kan lagi datang bulan," cicitnya malu.

Itu dia. Sangga tidak bisa melakukan 'sesuatu' malam ini karena jadwal bulanan Gyana katanya sedikit maju dari perkiraan. Istrinya itu bilang sih hanya perlu tiga hari lagi. Tapi sebenarnya bukan masalah bisa malam pertama atau tidak, tapi Sangga kesal dengan diri sendiri yang malah canggung bukan main di saat begini.

"Ayo deh ngitung duit aja." Sangga bangun dari kasur, menggotong satu kotak ke tengah ruangan. Mereka memutuskan menghitung si amplop pernikahan di atas karpet. Lumayan lega.

Gyana duduk di sebelah Sangga, agak melipat roknya agar tidak tersingkap. "Dicatat juga ya, A."

Sangga mengangguk. Itu budaya di sini, kalau datang ke undangan dan memberikan uang sebagai hadiah untuk pengantin harus dicatat. Dan kelak saat si pemberi melakukan hajat, uang serupa akan dikembalikan dengan nominal yang sama. Sejujurnya Sangga tidak mengerti awal mula budaya ini dilahirkan dan ada sampai sekarang. Namanya juga budaya, terjadi begitu saja.

Amplop pertama dibuka.

"Dari Rani."

"Temenku."

Sangga menyebutkan nomimalnya dan Gyana mencatat.

"Dipisah aja ya, A amplop dari teman Abah dan Ibu sama teman-teman kita."

Sangga setuju. Maka Gyana membuat dua catatan.

"Ini apa sih tulisannya? Kayak nulis pakai jari babi hutan."

Gyana tertawa, mencoba membantu. "Apa ya? Gi-Gilang?"

"Ini ng?"

"Kayaknya sih iya."

"Gibran kayaknya."

"Itu mah anaknya presiden, A."

Sangga menatap istrinya. "Loh ya siapa tahu Gibran mampir ke Bandung."

Gyana merengut. "Gilang ah namanya."

Kosan Biro Jodoh [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang