[6] Mungkin Bukan Aku Orangnya

87 20 4
                                    

"Wah! Kok ada banyak lampu?!" Bola mata Inka membulat takjub melihat taman kosong yang ia kira terbengkalai justru menjadi terang-benderang. Dihiasi bohlam yang bersinar hangat bak mutiara di kegelapan, lahan kosong yang seharusnya terkesan menyeramkan saat malam justru menjadi estetik berkilauan. Tidak kalah dengan gemerlap lampu pencakar langit yang menyilaukan.

"Lo yang masang sebanyak ini?!" tanya Inka tidak percaya.

Andra mengangguk sembari membereskan peralatan belajarnya.

"Bohong!"

"Omongan gue nggak ada yang lo percaya."

"Masa cepet banget?! Cuma beberapa jam udah banyak lampu? Tadi pas kita datang nggak ada."

"Ya tinggal pasang doang. Tadi ada orang yang bantuin gue."

"Duh, kalau begini gue jadi mulai percaya bualan lo." Inka sedikit berlari senang di bawah sinar lampu yang mengantung.

"Enak kali ya kalau tempat ini disulap jadi semacam basecamp gitu." Dia mulai mengoceh. "Nanti kita bikin rumah buat Beti dan anak-anaknya biar nggak kehujanan. Terus nanti ada rumah kayu juga, sederhana aja. Di dalamnya ada rak buku, terus ada bean bag. Nanti di dahan digantungin hammock, biar bisa tiduran gitu. Terus ada bakaran buat barbekyu... Hmm... pasti menyenangkan..." Tangan Inka terentang lebar-lebar, bersemangat mengeluarkan khayalannya memperindah tempat ini.

"Udah ngocehnya?" Andra berdiri di belakang Inka, tangannya bersidekap, kakinya melangkah meninggalkan Inka lebih dulu.

Inka terkikik sendiri, mengangguk, lalu membuntuti Andra menuju motornya dengan langkah gembira. Ranselnya bergoyang ke kanan-kiri.

***__________***

"Cukup sampai sini aja."

Motor Andra berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah perumahan yang jalanannya sepi. Tepat saat Andra hendak melajukan motornya, seorang pria dengan rambut yang memutih di beberapa bagian memanggil Inka.

Gadis yang mulai berjalan di antara remangnya penerangan itu mematung.

"Heh! Kenapa baru pulang?!" tanyanya yang terdengar setengah mabuk.

Andra yang tadinya berniat pergi, memilih untuk memperhatikan keduanya dari jauh.

"Makin sering pulang malam, ya?! Mana duit lo?! Gue tahu lo masih nyimpen duit, kan?! Kasih gue sini!" Pria itu mencengkram lengan Inka sekaligus memaksanya melepaskan ransel.

Andra turun dari motornya ingin melerai mereka. Langkahnya berhenti begitu lirihan Inka terdengar di telinganya. "Inka nggak punya uang lagi! Kan Ayah udah ambil semua uang Inka!" Gadis itu berusaha melepaskan tangan pria yang ia panggil 'ayah'.

Andra menelan ludahnya. Kakinya seperti dipaku ke tanah. Ayah? Pria brengsek itu... ayahnya?

Plak! Satu tamparan sukses mendarat ke pipi Inka.

"Berani bohong lo sama orang tua!" Dengan begitu kasar ayahnya menyeret Inka pulang. Gadis itu berusaha melepaskan cengkaraman kuat ayahnya, namun tidak berusaha berteriak minta tolong. Sebab jika ia berani berteriak, satu tamparan keras akan membungkam mulutnya. Kakinya terseok-seok menyimbangkan tubuh yang diseret paksa.

Ingin sekali Andra bergerak lalu menarik gadis itu agar berlindung di belakangnya. Namun, seperti ada tangan tak kasat mata menahan tubuhnya, lekas berbisik 'Kamu nggak perlu ikut campur, itu urusan keluarganya. Kamu urus saja masalahmu sendiri. Keluargamu juga nggak lebih baik dari dia.'

Di antara remang lampu jalan, Andra hanya bisa melihat bayangan Inka yang disakiti, semakin jauh sebelum akhirnya menghilang. Meninggalkan dirinya yang mematung sendirian bak orang tolol yang hendak tutup mata tapi hati kecilnya berlagak pahlawan.

Bumi Kecil AndraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang