Semenjak uang tabungannya diambil oleh sang ayah, Inka lebih menghemat pengeluarannya yang hanya mengandalkan sisa uang dari beasiswanya. Padahal, uang tabungan tersebut Inka kumpulkan dari juara kompetisi atau olimpiade yang diikutinya. Sedikit demi sedikit, demi bisa kuliah. Ia mengabaikan keinginannya untuk jajan atau membeli pernak-pernik impiannya. Bagaimana pun, Inka tetaplah remaja yang tertarik dengan bando, jepit rambut, atau pewarna kuku. Namun, ia tahan semua keinginannya itu agar bisa menabung. Dan sekarang uang hasil jerih payahnya lenyap.
Saat makan siang, dia bisa mengandalkan prasmanan kantin yang memang digratiskan untuk para murid, yang termasuk ke dalam fasilitas sekolah yang ditunjang dari SPP yang mahal--yang tentu saja kalau harus bayar sendiri, Inka tidak mau.
Namun di luar itu, tetap memerlukan biaya seperti transportasi atau jika ada keperluan mencetak makalah dan fotokopi tugas. Dia tidak bisa mengandalkan Ibu untuk memberi uang saku. Entah kapan terkahir kali Inka meminta uang kepada ibunya itu.
"Inka boleh ajarin MTK yang materi tadi nggak?" Fatin, teman sekelasnya sejak kelas sepuluh, menghampiri Inka, sedikit kikuk dan ragu-ragu.
Cewek itu membalas dengan anggukan singkat. Fatin segera menarik kursinya dan belajar bersama Inka. Tak lama, Jessi ikut nimbrung mengerjakan tugas bersama. Di antara temannya yang lain, Fatin dan Jessi yang Inka kenal baik dan tidak pernah mencari masalah dengannya. Bisa dibilang, Fatin dan Jessi yang paling dekat dengannya di kelas ini.
"Wah! Makasih ya, Inka! Kalau gini gue jadi paham! Tadi cara yang diajarin Bu Erna ribet banget!" Fatin menggaruk-garuk kepalanya yang tertutupi hijab.
"Iya, itu sebenernya rumus yang sama. Cuma pakai turunan lagi. Jadi agak panjang," jelas Inka.
"Oh iya, Ka. Lu nggak apa-apa?" Jessi mendekatkan kepalanya ke tengah meja untuk berbisik. Kepala Fatin dan Inka ikut mendekat.
"Nggak apa-apa, kenapa emangnya?" Inka bingung.
"Yang waktu tugas presentasi Bahasa, nama Mila nggak lo tulis, lo nggak diapa-apain kan sama dia?"
"Nggak kok. Santai aja lagi. Gue kira kenapa." Inka tersenyum samar, menyembunyikan kejadian tempo hari di atap. Baginya, tidak ada kewajibannya untuk menceritakan itu kepada Jessi. Itu adalah keputusannya sendiri sebagai ketua kelompok.
"Gue juga sebenarnya nggak rela banget kalau Mila dapat nilai. Secara, dia kontribusinya nol besar! Benar-benar nggak membantu! Kita bertiga lho yang riset banyak bahan dari papper dan jurnal, dipikir nggak muak apa! Di satu sisi, gue merasa puas banget lo gak cantumin nama dia. Tapi di sisi lain, gue juga takut lo kena imbasnya," jelas Jessi memegang pundak Inka. Di mata Jessi yang sipit, Inka menangkap kekhawatiran yang tulus yang belum pernah ia temui dari orang lain.
"Gue nggak apa-apa, Jes. Gue cuma menghargai orang yang udah berusaha. Lo yang jelas-jelas baru keluar dari rumah sakit, bisa ikut bantu kerjain tugas. Fatin juga rumahnya jauh, rela pulang agak malam demi riset jurnal di perpus. Orang se-effort kalian masa mau disamain sama benalu."
"Ya ampun, Inka! Sweet banget!" Fatin memberi sign saranghaeyo di depan wajah Inka.
Gadis itu tertawa pelan. "Apa sih, Tin," ucap Inka malu.
Mungkin selama ini Inka hanya terlalu overthinking untuk berani membuka diri dalam berteman. Selama ini tidak ada yang benar-benar menjadi temannya karena Inka memang tidak menginginkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Kecil Andra
Literatura KobiecaMenurut rumor, Andra itu biang onar. Hobinya berkelahi, bolos sekolah, dan langganan bolak-balik ruang BK. Beberapa kali di D.O. sampai harus pindah sekolah. Inka adalah si juara kelas, peringkatnya selalu di puncak. Namun karena sikap kakunya, ia d...