33

22.5K 1.5K 36
                                    

Ini sudah minggu kedua Aric di Singapura. Laki-laki itu bohong, dia bilang hanya sebentar. Tapi apanya yang sebentar kalau semalam dia menelpon dan meminta maaf belum bisa pulang?

Gika mengerti, bahwa Aric disana memang menjalankan segala pengobatan. Ia dan tentu saja pak Arman rutin mengabari bersama bukti foto juga supaya Gika tidak terlalu penasaran. Tapi tetap saja, ia rindu dengan pria itu. Meski dia menyebalkan, judes, kalau memanggilnya tidak pernah santai dan tidak mau sabar, juga gampang menyerah, Gika sudah bilang bahwa cintanya pada pria itu sejak SMA belum juga pudar.

Maka Gika tidak akan heran jika dua minggu belakangan dia begitu merindukan Aric dan ingin memeluknya. Tapi karena kesibukannya disini juga tidak bisa di tinggalkan. Gika memilih tetap menunggu

Elegiac mengalami peningkatan drastis, ada banyak hal yang terpaksa membuat Gika harus turun tangan. Meski pun karyawan sudah di tambah karena pekerjaan makin banyak.

Ini sudah pukul sembilan malam, Gika hanya berisitirahat karena kakinya pegal bolak-balik dapur seharian. Ponselnya berdering, mungkin itu Aric. Maka Gika dengan semangat mengambil ponselnya

"Iya, Aksa?" Tapi ternyata bukan, dia Aksara. Pria yang rutin mampir kesini setiap dia pulang kerja. Juga sebenarnya berusaha Gika kurangi pertemuan mereka karena Gika khawatir orang-orang salah paham. Aksara memang setiap hari kesini, tapi Gika selalu menolak ajakan ngobrolnya dengan alasan sibuk.

Gika, gue boleh minta tolong?

Aksara membalas dengan suaranya yang serak, Gika sebenarnya ingin bilang tidak. Ia lelah dan butuh istirahat. Tapi Aksara yatim piatu, apa dia tidak merasa berdosa mengabaikannya?

"Lo kenapa?"

"Yaudah, tunggu disana." Aksara bilang dia sakit, kepalanya pusing seperti berputar dan ia tidak bisa bangun untuk sekedar mencari obatnya. Gika, meski sebenarnya setengah hati-, ia tetap mampir membeli makanan juga obat untuk Aksara. Dia akan berikan padanya lalu pulang. Bukan karena ia tidak punya rasa empati, tapi sumpah, Gika benar sudah mau istirahat.

Namun, Gika sudah sepuluh menit berdiri di depan rumah Aksara. Ia mengetuk juga menelpon pria itu, tapi tidak ada sahutan. Gika menoleh menatap sekitar, Aksara tinggal di daerah perumahan sederhana, beberapa rumah sepertinya belum berpenghuni. Daerah ini sepi, Gika tidak tau mau minta bantuan siapa kalau-kalau Aksara di dalam sudah tumbang. Ia mendial nomor pria itu sekali lagi, tersambung. Tapi tidak diangkat.

"Aksara..?"

Gika spontan membuka knop pintunya, yang ternyata tidak di kunci. Ia memasukan sedikit kepalanya, ruangan gelap. Gika membuka pintunya lebar-lebar dan mencari letak saklar untuk menyalakan lampu.

"Aksara?" Gika masuk lebih dalam, membuka pintu pertama yang ia dapat. Aksara disana, terbaring dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh kecuali kepalanya.

"Aksa?" Ia menepuk bahu Aksa, pria itu membuka matanya yang nampak sayu.

"Lo bisa bangun gak? Ayo gue anter ke rumah sakit" Aksa menggeleng pelan, ia menurunkan sedikit selimutnya.

"Gue gak mau ke rumah sakit, besok juga sembuh." Ucapnya, yang membuat Gika agak kesal. Kalau tau besok akan sembuh, kenapa harus sampai merepotkannya? Lagi pula diantara banyak kontak di ponselnya, kenapa harus dia?

"Yaudah, ini makan sama obat buat lo. Gue pulang dulu." Aksara menahan pergelangan tangan Gika, yang seperti biasa Gika lepaskan secepatnya.

"Lo gak bisa disini aja? Temenin gue?" Gika tanpa repot-repot menyembunyikan ekspresi kesalnya pada Aksara. Ia menatap pria itu dengan tajam

"Ya mana mungkin! Gak etis dong kalau gue disini temenin lo, gue kan punya suami." Aksara terkekeh, tindakannya itu membuat Gika heran.

"Udahlah, istirahat aja biar cepat sehat dan gak ngawur"

"Apa sih hebatnya suami lo? Dia jalan aja gak bisa?" Dan Gika spontan menghentikan langkahnya mendengar itu. Ia berbalik menatap marah pada Aksara

"Iya, memang iya. Tapi lo siapa ya Aksara? Emang lo sempurna sampe berani-beraninya ngatain suami gue begitu?" Gika membalas, lupakan soal rasa kasihan dan empatinya pada Aksara.

"Kenapa lo gak mau nemenin gue disini?" Pertanyaan sampah macam apa itu? Sudah syukur Gika mau repot-repot mampir ke apotik

"Ya gak mungkin! Kenapa harus gue yang nemenin lo!" Aksara yang mendengar bentakan Gika semakin sadar, meski kepalanya pusing bahkan ketika ia hanya duduk diatas kasurnya.

"Lo emang jijik kan sama gue? Dari dulu lo emang gak mau temenan sama gue kan? Karena gue cupu, gue miskin! Iyakan?" Gika tidak menjawab, ia agak kaget mendengar Aksara meninggikan suaranya.

"Gue pulang__

"Itu kan yang lo bilang di depan temen-temen lo?" Gika kembali menghentikan langkahnya. Jadi ini soal masa lalu?

"Lo denger waktu itu? Tapi gak semuanya kan?" Gika selalu mencari momen untuk meminta maaf pada Aksara dulu. Tapi pria itu yang selalu menghindarinya. Dan sekarang, Gika sampai lupa ia pernah menyakiti hatinya. Yang sebenarnya Gika tidak tau kalau ternyata Aksara mendengar obrolannya dengan teman-temannya hari itu.

"Gue minta maaf__

"Terlambat" Aksara memotong cepat, menatap tajam pada Gika dengan kedua matanya yang sayu.

"Lo gak akan tau kalau omongan lo hari itu berdampak besar buat gue Gika! Gara-gara lo gue hidup tanpa rasa percaya diri!" Gika menelan ludahnya, ia termundur beberapa langkah mendengar Aksara membentaknya. Padahal, apa yang dia dengar tidak seperti apa yang ada di pikirannya.

"Dan sekarang lo marah denger gue bilang suami lo gak bisa jalan? Padahal itu faktanya?" Gika kembali maju, berdiri di hadapan Aksara yang berani-beraninya memancing emosinya saat dia sendiri dalam keadaan lemah.

"Kalau emang lo marah sama gue, ya gue aja Aksa. Gak usah bawa-bawa orang lain!" Gika balas berteriak, Aksara sejenak terdiam mendengarnya.

"Kenapa sih lo tiba-tiba mau nikah sama dia? Karena dia kaya? Lo kasihan?" Suaranya memelan, karena sakit di kepalanya membuat tenaganya terkuras.

"Iya gue emang kasihan, gue juga benci sama dia karena dia pernah nolak gue, dia emang gak bisa apa-apa keliatannya. Tapi Aksara, semua itu akan tertutupi karena gue cinta sama dia. Gue mau terima dia apa adanya, mau dia sakit atau sehat, gue tetap cinta sama dia. Lo gak bakalan ngerti!"

Lalu Gika keluar dari rumah Aksara setelah membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia menyesal datang kemari. Rasa empati sialan! Buat apa ia berikan itu pada Aksara. Gika mengirim pesan pada seluruh karyawannya di Elegiac untuk tidak membiarkan Aksara masuk ke kafe sejengkal pun mulai sekarang.

_____

"Jangan langsung percaya mas, bisa jadi itu editan, atau mungkin memang benar. Tapi mas jangan percaya selain sama mbak Gika." Aric pura-pura tuli, ia tetap mengamati empat gambar yang terkirim di ponselnya beberapa menit lalu. Dari nomor asing

Ia juga mau berfikiran positif, tapi dari anak buahnya yang pernah ia minta untuk mencari informasi soal Aksara. Alamatnya benar, rumah dengan cat berwarna hijau dan putih itu adalah kediaman Aksara.

Gika mendatanginya di malam hari tanpa memberitahunya, bukannya tadi ia bilang akan pulang? Lalu apa yang ia lakukan dirumah laki-laki lain dengan kantong makanan di tangannya?

Aksara kembali menerima pesan masuk, itu sebuah rekaman suara yang segera ia putar dan dengarkan bersama Arman yang duduk di depannya.

Aric dengarkan rekaman itu sampai habis, lalu melempar ponselnya hingga membentur dinding dan hancur.

BORN TO BE OVERLOVE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang