"Masa lalu bukan segalanya, dan masa lalu bukan pemenangnya."
@Listya12
***
"Sal?"
Aku menoleh kaget saat seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Di-ra?" Aku mengerutkan kening dan menatap sekitar yang tidak ada siapapun kecuali kami berdua.
"Apa kabar? Lama, ya, nggak pernah ketemu?" Dira tersenyum ke arahku, membuatku semakin canggung. Di antara semua orang di dunia ini, kenapa harus dia yang kutemui saat berkunjung ke rumah orang tua Kak Zaki? Dan entah ke mana Kak Zaki hingga tanpa sadar meninggalkanku sendirian hingga bertemu dengan seseorang di masa laluku itu.
"Ah, sorry ... bukannya mau gimana-gimana, Sal, seenggaknya kita udah bisa baikan, 'kan?" Lelaki yang memakai sarung kotak-kotak dan kaos oblong berbeda warna itu memberikan cengiran khasnya, membuatku yakin bahwa aku masih belum bisa memaafkannya sejak saat itu.
"Eh, Dir? Udah dateng, tha?" Tiba-tiba Kak Zaki muncul entah dari mana dengan membawa satu kantong plastik besar berwarna putih, kemudian aku memintanya untuk dibawa ke dalam. Namun, saat aku hendak berjalan untuk menghindari percakapan dengan mereka, Kak Zaki menarik pinggangku dan membisikkan sesuatu di telingaku. "Kenapa menghindar kayak gitu, Dek? Belum bisa move on, ya?"
Aku menyikut perutnya hingga dia meringis pelan, tapi Kak Zaki malah terkekeh puas dibarengi Dira yang berdehem heboh. Aku segera masuk ke dalam dan membiarkan mereka ngobrol ngalor-ngidul di teras rumah, sekaligus untuk menghindari serangan mereka lagi.
"Eh, Nduk ... itu tolong dibikinin minum tamunya, nggih?"
"Nggih, Ibuk ... Salim pindahin belanjaane Kak Zaki riyen nggih?"
"Nggih." Ibu Kak Zaki mengelus pundakku lembut, kemudian berlalu menemui "tamu" yang dimaksud. Dari suara renyah percakapan di teras yang kudengar, sepertinya Dira memang sudah terbiasa dan sering main ke sini, dan sepertinya hanya aku yang tidak terbiasa dengan hal itu.
Aku membuatkan dua cangkir kopi setelah memindahkan semua belanjaan ke kulkas dan lemari penyimpanan. Sudah sekitar tiga hari di rumah mertuaku ini, tapi rasanya masih belum terbiasa, sebab aku dan Kak Zaki langsung tinggal di ndalem pondok setelah menikah. Berkunjung ke rumah orang tuaku atau orang tua Kak Zaki pun seringnya tidak menginap. Karena Farisha weekend ini minta menginap di rumah Mbah-nya, akhirnya kami di sini hingga hari ini. Lebih tepatnya nanti sore akan pulang.
Jika tidak mengingat betapa baik hatinya suamiku itu, mungkin sudah kumasukkan tiga sendok garam ke kopinya Dira. Masih jengkel? Jelaslah. Rasanya masih sangat segar sekali perasaan patah hatiku waktu dulu. Benar-benar membuatku kesal jika terus-terusan mengingatnya. Mana Kak Zaki adalah salah satu perantara antara aku dan Dira saat surat-suratan kala itu. Hish! Menyebalkan sekali kalau mengingat masa-masa itu!
"Kopinya, Kak ...." Aku menaruh dua gelas kopi di meja, dan Kak Zaki menarik lenganku untuk duduk di sampingnya.
"Duduk sini dulu, Dek, sekalian ngobrol ini, lho, sama Dira ...." Bau-baunya Kak Zaki berniat untuk terus menggodaku, dan dengan memaksakan tersenyum lebar aku pun mengiyakan dan mendekap nampan yang belum sempat kukembalikan ke dapur.
"Kang, bojomu kayane isih sensi mbi aku ...." Dira melirik ke arahku dengan kekehan kerasnya, dibarengi tangannya yang mengambil cangkir kopi dan menyeruputnya dengan wajah tanpa dosa.
Kak Zaki menatapku dengan senyum jahilnya, kemudian mengusap kepalaku lembut. "Udah, mulai sekarang jengkelnya dikurangin. Ya?"
Aku pun menjawab dengan perasaan tidak ikhlas. "Nggih." Dengan ekspresi yang pastinya tidak bisa disembunyikan kalau perasaan kecewa dan kesal di masa itu sudah mendarah-daging.
YOU ARE READING
Takdir Tersembunyi 3 (The Closing Part)
General Fiction(Sequel Takdir Tersembunyi) Jika semua hal dapat tercapai seperti yang kita inginkan, lalu apa arti sebuah kekecewaan dan ketidakberuntungan? Salima Devita Azzahra. Perempuan yang akhirnya menikah dengan seseorang yang dikaguminya sejak masih Madras...