"Mengapa aku masih takut, meski kamu telah kumiliki sepenuhnya? Benarkah kita ini berjodoh, hingga maut memisahkan? Atau hanya tempat singgah, yang kemudian berlayar kembali dengan tujuan yang berbeda?"
—Salima Devita Azzahra
***
"Dek!"
Aku mendengar panggilan Kak Zaki sejak tadi, tapi sepertinya pikiranku melanglang buana entah ke mana, bahkan sepertinya tatapanku kosong meski aku sadar sedang memperhatikan lalu-lalung para mbak-mbak santri yang sedang melintas. Hingga kesadaranku sepenuhnya kembali saat kurasakan hentakan sedikit kasar tangan Kak Zaki dari lenganku.
Aku cukup kaget melihat ekspresinya, dan aku kebingungan saat dia menarik tanganku dengan cepat dan mengisap jari telunjukku.
"Tunggu sini dulu, Kak Zaki ambilin P3K dulu!" Wajahnya terlihat khawatir, dan aku hanya berdiri mematung sembari melihat telunjukku yang mulai mengalirkan darah segar. Tak membutuhkan waktu lama, Kak Zaki kembali dan segera menarikku mendekat ke arah wastafel dan membersihkan luka tadi sebelum membalutnya dengan perban.
"Mikirin apa, sih, Dek? Kak Zaki panggil dari tadi nggak direspon, malah ...." Kak Zaki tak menyelesaikan ucapannya, dia sibuk membalut lukaku saat kami duduk di kursi dapur dekat wastafel tadi. Dahinya mengerut, napasnya tak beraturan seperti sedang menahan emosi, dan aku hanya diam dan memperhatikannya sejak tadi.
"Sakit nggak? Apa perlu ke dokter?" Dia menatapku dengan ekspresi khawatirnya, dan aku masih saja diam sembari memperhatikan tiap inci wajahnya.
"Benarkah kita berjodoh?" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku, dan dengan ekspresi bingung Kak Zaki seolah kehilangan kata untuk melontarkan rsponnya. Beberapa detik kemudian, aku mendekatkan wajah dan mengecup lembut bibirnya singkat. Masih tanpa ekspresi, aku pun lekas berdiri dan bermaksud melanjutkan memotong wortel untuk membuat sayur sop kesukaan Farisha. Saat berjalan ke arah meja yang menghadap langsung ke jendela di dapur ini, Kak Zaki menarik lenganku agar duduk kembali, tapi aku bersikeras untuk melanjutkan kegiatan memasak yang tertunda tadi.
Kak Zaki yang mengalah, dia pun bersandar di tembok dekat jendela sembari menggulung tangannya di depan dada, lalu memberikan tatapan penuh selidik ke arahku.
"Biasanya minta tolong mbak-mbak untuk masak, tho, Dek? Kalau Kak Zaki tadi nggak kebetulan lagi nyariin kamu, terus gimana nasib jarimu itu?" Dari suara Kak Zaki terdengar dia benar-benar sedang menahan amarahnya, bahkan helaan napasnya terdengar berat dan frustrasi.
"Salim bisa sendiri," jawabku kemudian, begitu singkat, dan tidak seperti biasanya. Ah, entahlah, perasaanku akhir-akhir ini sangat berantakan, dan aku seolah tidak bisa mengekspresikan topeng bahagiaku seperti biasanya.
"Kenapa, sih? Ada masalah apa?" Kak Zaki menghentikan gerakan tanganku yang masih sibuk memotong wortel.
"Nggak ada." Aku seakan malas bicara, tapi tetap saja aku tidak boleh tidak menjawab pertanyaan suamiku sendiri meski sedang tidak mood bicara, 'kan? Namun, sepertinya ucapanku lah yang menjadikanku lebih tidak sopan terhadapnya. "Kita bahas nanti aja, ya, Kak? Salim beresin masaknya dulu." Akhirnya aku mencoba untuk membujuknya, dan berhasil, dia pun mengangguk setuju.
"Kak Zaki juga mau ngomong sesuatu. Kak Zaki tunggu di perpustakaan aja, ya?" Kemudian aku yang mengangguk pertanda setuju, dan dia mengelus kepalaku pelan sebelum pergi.
Aku menghela napas panjang dengan mengangkat jari telunjuk kiriku, melamun sebentar sembari melihat perban yang membalut jari telunjukku itu, dan melanjutkan kegiatan memasak sayur sop tadi sesegera mungkin, meski ada sedikit ngilu di sudut hatiku.
YOU ARE READING
Takdir Tersembunyi 3 (The Closing Part)
General Fiction(Sequel Takdir Tersembunyi) Jika semua hal dapat tercapai seperti yang kita inginkan, lalu apa arti sebuah kekecewaan dan ketidakberuntungan? Salima Devita Azzahra. Perempuan yang akhirnya menikah dengan seseorang yang dikaguminya sejak masih Madras...