Prolog

3 2 2
                                    

"Menurut teori relativitas khusus, cepat lambatnya waktu itu tergantung pada kecepatan gerak pengamat relatif terhadap kecepatan cahaya."

Samar-samar, suara seorang pemuda di masa lalu tertangkap oleh pendengaran Emma. Tangan Emma bergetar setelah dirinya mendapatkan panggilan dari Jodie Alberts, seorang teman lamanya yang mengatakan bahwa Joshua Evans ditemukan telah tiada di kamarnya pada tanggal 24 November 2005, bertepatan dengan hari Thanksgiving, hari ini.

Hari Thanksgiving yang seharusnya menjadi saat baginya untuk bersyukur dengan apa yang ia punya, mencoba membuka lembar baru setelah banyak hal buruk yang ia alami. Namun, untuk kali pertamanya, tidak ada yang Emma syukuri dari tahun 2005 ini.

"Jo-Joshua? Joshua Evans?" tanya Emma, lagi.

"Iya, Emma. Aku juga terkejut mendapat kabar ini," sahut Jodie dari seberang sana.

Ia tidak mengerti mengapa Emma terdiam begitu lama. Apakah Emma sedang sibuk atau Emma sebegitu syoknya mendengar kabar tersebut?

"Em? Kau baik-baik saja?" tanya Jodie khawatir.

Emma duduk terkulai lemas di lantai kamarnya. Ponsel yang ada digenggamnya terjatuh ke lantai begitu saja karena getaran hebat dari tubuh Emma yang tiba-tiba saja timbul kala mendengar nama Joshua Evans. 

Panggilan dimatikan sepihak oleh Emma kala menyadari Jodie masih menunggu balasannya. Ia terlalu syok untuk sekadar merespons. Emma menutup matanya rapat-rapat berharap ini adalah mimpi.

Belum cukup 'kah tekanan yang dialaminya sepanjang tahun ini sehingga di detik ini juga dirinya harus kembali menelan kenyataan pahit dimana orang yang cukup berarti di hidupnya meninggalkan dunia ini selamanya.

Air mata Emma yang sudah ia bendung begitu lama akibat banyaknya hal buruk yang terjadi belakangan tumpah begitu saja kala dihantam lagi oleh sebuah kenyataan pahit. Rasa sakit ini membawa Emma memutar memori lama di otaknya tentang Joshua. Dirinya diliputi oleh sedikit penyesalan.

Kesedihan itu terus berlanjut hingga hari pemakaman mendiang Joshua. Dapat Emma lihat tangisan pilu dalam diam dari Tuan Evans. Tampak dari sudut mata Emma bahwa sang pria tua sedang berjalan menghampiri dirinya yang terlihat memasang wajah datar.

"Miss Roberts?" panggil Tuan Evans ragu.

Emma menoleh ke sumber suara sembari berusaha menunjukkan senyumannya. "Iya, Mr. Evans."

Ini pertama kalinya ia berbicara dengan pria paruh baya itu. Suara pria itu terdengar parau. Sepertinya, pria tua ini menyiksa dirinya dengan menganggap bahwa dirinya adalah salah satu penyebab Joshua pergi jauh. Jauh dan tak akan kembali.

Melihat senyum terpaksa dari perempuan berusia 32 tahun itu, Tuan Evans menepuk pundak perempuan itu dengan tenang. 

"Maafkan aku." Suara pria itu bergetar hebat. Bisa Emma lihat bagaimana kerasnya pria itu menahan semua lonjakan emosi itu agar tidak meluap, agar dirinya terlihat kuat.

Emma hanya mampu menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan, menahan tangis. "Tidak perlu menyalahkan diri anda sendiri. Ini semua sudah terjadi."

Tuan Evans lantas tak kuasa menahan air matanya yang sebenarnya sejak tadi sudah berjatuhan kembali kala mendengar kalimat pertama dari Emma. Dapat dirasakan oleh dirinya bahwa ada nada kemarahan dari kalimat itu yang Emma telan bulat-bulat dan tahan.

Emma tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiri memandangi batu nisan dengan ditemani seorang pria tua yang masih menangis tak kuasa menahan rasa sedih.

Sunyi. Hingga Tuan Evans memecah keheningan menyedihkan itu. "Terima kasih sudah datang, Miss Roberts. Kau satu-satunya teman Josh yang datang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Change The EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang