Tujuh bulan setelah semuanya...
Bara Alexander, pria yang enam bulan lalu memutuskan berhenti jadi karyawan kantoran. Ia sekarang sudah menjadi pemimpin di perusahaan ayahnya sendiri. Ini adalah kali pertama Gika dapat melihat Bara secara langsung lagi setelah beberapa bulan terakhir ia sangat sibuk. Bara sibuk bekerja dan menghasilkan uang, Gika sibuk membenahi diri hati pikiran serta hidupnya yang porak-poranda.
Well.. perceraian itu ternyata berdampak sangat besar pada keberlangsungan hidup Gika. Mentalnya terasa di pukul habis dari berbagai sisi. Gika membutuhkan waktu enam bulan lebih untuk kembali bangkit, dua hari lalu adalah kali pertama Gika keluar rumah lagi setelah perceraian itu terjadi. Perceraian yang tidak ia tau prosesnya karena Gika tidak di beri akses. Gika hanya mendapat surat resmi dan kabar dari pengacaranya bahwa bahkan mediasi tidak perlu diadakan karena pihak penggugat benar-benar hanya ingin perpisahan.
Enam bulan yang Gika habiskan dengan sangat amat menyesal juga berusaha menyakinkan diri bahwa kesalahan itu tidak berasal darinya. Gika memutus semua hubungan baik seperti apa yang orangtuanya suruh kan.
"Udah kaya, ganteng, tapi sayang jomblo." Ucap Gika, ia sembari menatap lamat Bara yang sedang memakan nasi dan beef blackpepper di depannya. Restoran sederhana yang Gauri buka dua bulan lalu. Restoran favorit Bara karena memang ini sangat dekat dari kantornya, restorannya yang saat ini Gika pegang selain Elegiac.
"Diem lo!" Jawab Bara sembari menatap Gika dengan sinis
Bara, yang tujuh bulan lalu bersama ayahnya tidak berhasil menemukan keberadaan Aksara. Aksara, yang sangat amat membuat Gika ingin meremukkan seluruh tulangnya karena berani-beraninya dia membuat kesalahpahaman paling fatal dan membuat hidupnya berantakan
Bara, yang setengah mati Gika bujuk untuk tidak mendatangi mantan suaminya karena pria itu begitu ingin menghantam wajahnya dengan tinju.
"Lo jomblo, gue jomblo, kenapa gak kita aja sih yang nikah?" Bara sudah selesai makan, ia buang tisu bekasnya diatas meja.
"Gue gak mau ah, lo jelek." Gika menatap marah padanya. Perceraian itu memang mengubah banyak hal, termasuk penampilan Gika. Rambutnya yang dulu sepunggung kini hanya mencapai bahunya.
"Gue jelek? Lo gak ngaca ya?" Bara tertawa, sebenarnya tidak. Gika masihlah sangat cantik. Sahabatnya itu janda muda dan cantik jujur saja, tapi bagi Bara, Gika lebih cocok ia anggap saudara daripada istri. Tidak akan kesana, Gika memang sering bercanda soal itu. Apalagi dia tau kalau Bara sendiri sedang dekat dengan orang lain
"Emang lo mau nikah? Maksud gue..lo gak trauma?" Gika angkat bahu, trauma? Di sepertinya tidak. Tapi kalau untuk menikah lagi, Gika agaknya belum memikirkan itu lagi.
"Gak sih, gue mau sendiri aja sekarang." Setelah semuanya, dengan status baru yang tersemat padanya, Gika bahkan berani keluar rumah membutuhkan waktu dan persiapan yang lama, Gika tidak dekat dengan laki-laki mana pun tentu saja.
"Gue kemarin coba kerumah Aksara lagi" Bara berucap setelah beberapa lama diam.
"Udah lah Bar" Gika masih marah, masih ingin menampar keras wajah Aksara, namun selama berbulan-bulan ini dia menghilang, Gika pelan-pelan berusaha rela.
"Gak bisa, bajingan itu paling enggak harus gue patahin tangannya." Karena ulah tangannya lah Gika jadi sedih, Gika di buang. Begitu saja. Dan sebenarnya alasan itulah yang membuat Bara keluar dari kantor karena enggan bertatap muka dengan Aric. Ia takut ingkar janji pada Gika dan mamanya bahwa ia tidak akan mengotori tangannya dengan darah Aric.
"Rumah itu di tinggali sama orang lain, dan dia sama sekali gak kenal Aksara. Dia beli rumah itu dari orang lain." Gika selalu sakit kepala ketika membahas soal itu. Dan ia sudah menutup buku masa lalunya, Gika tidak lagi mau mundur kebelakang.
"Kalau emang tuhan ijinkan, kita pasti bakal ketemu dia Bar. Lo tenang aja."
______
Restoran tutup pukul sepuluh malam, Gika memilih pulang duluan setelah membantu beberapa hal. Berada di luar rumah terlalu lama sejak musibah itu membuat Gika agak cepat lelah. Ia hanya mau pulang dan mendekam di kamar. Tidur agar pikirannya tidak melulu memikirkan hal-hal yang tidak perlu terutama jika itu berasal dari masa lalu.
Gika sudah hampir mencapai mobilnya ketika sebuah mobil lain berhenti tidak jauh di depannya.
Seorang wanita dengan blouse dan roknya turun dari sana, Gika belum pikun. Ia ingat dia siapa.
"Gika!" Ia berlari kecil kearah Gika, memeluknya erat seolah mereka dekat. Gika tidak membalasnya, tidak juga menampilkan ekspresi apapun. Altezza Aleanna di masa lalu tidak seceria ini setaunya.
"Kamu apa kabar?" Gika mengangguk beberapa kali, mundur dua langkah karena jaraknya terlalu dekat.
"Baik, mbak kok bisa disini?" Gika tidak tau apapun lagi mengenai keluarga itu, keras sekali dia menahan diri dan memaksa dirinya untuk lupa dan sebaiknya benci saja pada mereka semua. Gika juga marah tentu saja, tidak di masa SMA dan tidak di masa sekarang, cara Aric menolaknya selalu keterlaluan.
"Aku tadi lewat sini, terus liat kamu, jadi aku mampir." Alea memasang senyum tidak enak, Gika bahkan tidak membalasnya. Dan nampak tidak nyaman
"Oh" Gika menjawab singkat, mulai tidak nyaman. Apalagi dulu dia dan Alea juga jarang bertemu
"Kalau gitu permisi" Alea menghalangi langkah Gika, dan Gika berusaha bersabar menunggunya.
"Maaf atas ulah Aric, aku__
"Kenapa mbak yang minta maaf? Memang mbak ada andil disitu?" Alea menggeleng, seingatnya Gika tidak bicara sedingin ini padanya.
"Kalau gitu jangan minta maaf, aku pamit mbak." Senyum itu palsu, Alea menyadarinya. Aric melukai Gika lebih parah dari apa yang ia kira.
Laki-laki yang sekarang bahkan sudah keluar dari rumah sejak perceraiannya di resmikan, laki-laki yang hubungannya dengan kedua orangtuanya menjadi beku, laki-laki yang sekarang hanya kerja kerja dan kerja. Alea miris melihatnya tetap pura-pura baik-baik saja padahal sebenarnya sangat menyesal.
Gika sampai dirumah, ia langsung merebahkan dirinya diatas kasurnya. Menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Kamarnya gelap karena lampu yang tidak ia nyalakan
Sebenarnya Gika akui, sejak saat itu, ia rasanya tidak boleh sendirian. Karena kapan dia sendiri dan melamun, pikirannya selalu terlempar ke masa lalu. Masa dimana ia pernah kembali menemui Aric dan memastikan. Apakah benar, semuanya sudah diakhiri? Tangis dan permintaanya untuk bicara baik-baik tidak di gubris. Hal itulah yang membuat Gika ikut memutus hubungan pada semua anggota keluarganya. Meski Salma datang dan meminta maaf padanya dan menangis, Gika tidak lagi peduli.
Ia bangun, mengusap wajahnya sembari mengerang dalam hati. Kapan pikirannya jernih dari semua itu?
Ponselnya berdering, Bara menelponnya.
Gue ketemu Aksara, sekarang gue tanya, lo mau gue seret dia kehadapan lo, atau kita yang datang ke dia?
Gika terkejut, tangannya sampai gemetar. Karena memang, bukan ayahnya yang paling berusaha mencari Aksara. Tapi Bara
Gika? Lo pernah gak ngerasain tangan lo tremor karena pengen banget mukul orang?
Suara Bara sekarang seperti bukan dirinya, Gika sudah memintanya untuk tidak usah terlalu menggebu.
"Bawa dia kesini Bar, tapi jangan pake kekerasan." Karena Gika tidak mau Bara terkena imbas akibat apa yang menimpanya
Gak bisa gak pake kekerasan, paling enggak satu matanya gue bikin biru.
Lalu panggilan di putus Bara, ia perlu menyiapkan tenang untuk menghadapi Bara besok. Meski agaknya amarah dalam hatinya tidak pernah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
Chick-LitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower