4.1 Pagi yang tak terlupakan

2 1 0
                                    


Matahari pagi mulai menyinari rumah mereka, perlahan-lahan mengusir sisa-sisa kegelapan malam sebelumnya. Damien, Marcus, Ethan, dan Julian bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Mereka saling mengobrol singkat di dapur sambil merapikan barang-barang mereka.

"Lo tidur nyenyak?" tanya Ethan sambil menyeduh kopi.

Marcus mengangkat bahu, "Gua nggak yakin. Masih kepikiran soal kemarin."

"Ya, gua juga," tambah Julian, sambil merapikan tasnya. "Nggak tahu deh apa yang harus kita lakuin selanjutnya."

Damien, yang terlihat paling tenang di antara mereka, mengangguk. "Gua rasa kita cuma perlu jalanin hari kayak biasa. Lagipula, kita nggak bisa terus mikirin itu. Sekarang, kita fokus ke sekolah dulu."

Setelah semuanya siap, mereka berempat berjalan ke luar rumah dengan niat untuk melanjutkan rutinitas harian mereka—atau setidaknya mencoba. Namun, begitu mereka melangkah keluar dari pintu, langkah mereka terhenti.

Di samping mobil mereka, berdiri dua sosok yang sangat familiar. Kedua pria yang mereka temui semalam di gudang kosong itu, masih dengan pakaian rapi yang sama, menatap mereka dengan ekspresi tenang.

Damien berhenti sejenak, matanya menatap lurus ke arah kedua pria itu. "Kalian lagi?" tanyanya dengan nada terkejut.

Salah satu pria itu tersenyum kecil. "Selamat pagi, anak-anak. Kami hanya ingin memastikan kalian baik-baik saja setelah malam yang panjang."

Julian melangkah maju sedikit, tapi tetap waspada. "Apa yang kalian inginkan kali ini?"

Pria yang satunya melipat tangannya di dada. "Kami di sini untuk memastikan bahwa kalian tidak lupa tentang pembicaraan kita semalam. Mulai sekarang, hidup kalian akan berubah. Kalian telah dipilih untuk sesuatu yang lebih besar."

Ethan mengerutkan dahi, "Dan kenapa kita harus percaya sama kalian?"

Pria yang tersenyum tadi menjawab dengan tenang, "Kalian tidak punya pilihan, Ethan. Semuanya sudah dimulai. Dan percaya atau tidak, ini lebih besar dari yang kalian bisa bayangkan."

Marcus mendengus, "Jadi, apa yang kalian harapkan dari kita? Berhenti sekolah dan langsung terjun ke dalam... apa pun ini?"

Pria yang lebih serius melangkah maju, tatapannya tajam. "Kalian tidak perlu berhenti sekolah. Tapi anggap ini sebagai panggilan untuk mempersiapkan diri. Dunia tidak akan sama lagi bagi kalian. Kami hanya di sini untuk memastikan bahwa kalian siap."

Damien menatap mereka dengan tegas "Dan kalau kami tidak mau terlibat?"

Pria itu tersenyum tipis "Kami pikir setelah apa yang kalian alami, kalian tidak akan punya pilihan selain terlibat."

Ada keheningan sejenak. Keempat sahabat itu saling pandang dengan ekspresi campur aduk—antara kebingungan, kewaspadaan, dan sedikit rasa takut.

Akhirnya, Damien menarik napas panjang dan berkata "Oke, kita dengar dulu apa yang mereka mau. Tapi ingat, kami tetap pegang kendali atas hidup kami."

Pria itu mengangguk dengan hormat "Itu yang kami harapkan."

Mereka kemudian melambaikan tangan ke arah mobil hitam yang terparkir di depan rumah. "Masuklah ke dalam" katanya dengan suara tegas.

Damien, Marcus, Ethan, dan Julian ragu sejenak, tapi akhirnya mereka mengikuti instruksi. Mereka masuk ke dalam mobil yang terlihat begitu canggih dan elegan, dengan interior kulit hitam dan aroma khas mobil mewah. Pintu menutup secara otomatis di belakang mereka, dan tanpa berkata apa-apa lagi, mobil pun melaju dengan halus di jalanan kota yang masih tenang.

Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, tapi ketegangan terasa menggantung di udara. Keempat sahabat itu saling melirik dengan ekspresi penuh tanya. Ke mana mobil ini akan membawa mereka? Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Silent vanguard Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang