Aku tidak ingin mati. Tidak, aku ingin mati. Hanya saja aku takut menghadapinya.
Bayangan kematian yang mengejarku membuatku tiba-tiba mendapat sebuah keberanian yang belum pernah aku rasakan, aku nekat kabur dari rumah. Meninggalkan ayahku yang sedang mabuk, berlari sejauh-jauhnya.
Pelarian ini tanpa arah, aku hanya berlari untuk hidup. Sejauh-jauhnya, aku melewati rerumputan yang panjang, terus sampai tembus ke jalanan aspal.
Hujan sangat deras, tenagaku sudah habis. Maka aku memutuskan untuk berjalan dan bernapas di pinggir jalan, seharusnya aku sudah sangat jauh dari rumah. Ayah tidak akan pernah menemukanku di sini.
Hari sudah tengah malam, aku berjalan sendirian di trotoar. Napasku tersengal-sengal, badanku menggigil, samar-samar tertutup hujan kulihat ada sebuah cahaya mobil pikap berwarna hitam dari arah berlawanan dari trotoar tempatku berjalan. Pikap itu membawa empat orang di belakangnya, melaju dengan kecepatan seolah mereka sedang berlari dari sesuatu.
"Lari, bodoh!" teriak dari salah satu orang yang ada di bak pikap.
Aku menoleh, kepalaku mengikuti sepanjang mobil itu melewatiku sangat cepat. Apa maksudnya? Lari dari apa? Ayahku?
Aku takut menghadapi kematian, maka aku berbalik arah ke arah mobil itu melaju. Berlari sekencang-kencangnya di tengah hujan.
Saking cepatnya berlari, aku terpeleset. Lututku terluka parah tergesek trotoar. Kucoba berdiri, tetapi tak kunjung berhasil. Rasanya terlalu sakit, ditambah air hujan yang jatuh menambah perih yang terasa.
Aku merasa ingin menyerah saja, maka aku duduk di pinggiran jalan. Memeluk kedua kakiku kedinginan, masih terguyur hujan.
Tiba-tiba sebuah klakson mobil mengejutkanku, aku pun menoleh. Ke samping.
"Hei, Nak! Kau baik?" tanya sopir dari mobil SUV putih berlumpur yang berhenti menghampiriku.
Aku hanya menggeleng sembari memasang muka kesakitan.
Di dalam mobil itu ada dua orang, satu orang pria, satu orang wanita. Perkiraanku mereka berdua berumur sekitar tiga puluh tahun.
"Ayolah, jangan membuang waktu. Kau mau mati?" kata wanita yang duduk di samping kursi sopir pria yang memakai jaket kulit coklat.
Tidak peduli yang dikatakan oleh wanita di sebelahnya, pria itu keluar dari mobilnya, menghampiriku. Sepatu bot panjangnya berdecit saat menyentuh trotoar yang licin.
"Lukamu perlu diobati," katanya sembari berjongkok memperhatikan lututku. Aku hanya diam, menahan perih.
Dia pun mengambil tangan kananku, mengalungkan tanganku di lehernya, lalu membantuku berdiri.
"Ayo, kau bisa mati di sini," ucapnya sembari membantuku untuk masuk ke dalam mobilnya.
"Cepatlah!" teriak wanita di samping kursi sopir.
Selesai membantuku, dia pun kembali ke kursinya. Lanjut mengendarai mobil dengan sangat cepat, seolah sedang dikejar oleh sesuatu.
"Aku Dan." Dia menatapku lewat kaca yang ada di antara kursi sopir dan penumpang di samping sopir.
"Brian," ucapku.
"Maaf sebelumnya, apakah kau dibuang oleh orang-orang yang sedang melarikan diri? Aku terkejut melihatmu terduduk di pinggir jalan."
"Tidak, aku hanya tersesat."
"Tersesat?"
"Cerita yang panjang ... boleh aku balik bertanya? Kalian dikejar siapa?"
"Entahlah, hampir semua orang di perumahan tiba-tiba menjadi aneh. Mereka seperti sedang mabuk, tetapi lebih mengerikan." Dan mengerutkan dahinya. "Mereka mendekati para warga yang tidak mabuk, dengan bola mata yang hanya kelihatan putihnya. Jalannya terseok-seok, tubuh mereka penuh urat tegang, kulitnya pucat sekali, seperti mayat."