Tanpa kusadari aku tertidur di perjalanan. Mungkin karena aku sama sekali belum tidur dari sejak aku pergi meninggalkan ayah.
Ketika aku membuka mata, kulihat Dan berdiri di depan bak mobil melihatku, seolah menungguku untuk bangun dan turun. Aku mengucek mataku sebentar sampai hilang pedihnya, kemudian aku turun.
Semua orang di dalam mobil sudah keluar, tampaknya aku dan Dan berada di urutan paling belakang, kecuali dua orang bermasker yang sepertinya mengawasi kami dalam diam. Mereka berdua berjalan pelan, tidak mendahului kami.
Yang kutahu adalah, orang yang menyelematkan kami adalah orang yang sangat kaya, mungkin. Bisa saja mereka hanya merampok rumah ini.
Lapangannya sangat luas, mungkin pintu rumahnya terletak sekitar dua puluh langkah di belakang dinding pagar yang tebal dan tinggi. Sebuah tempat yang sangat sempurna untuk malapetaka seperti ini.
Rumahnya sendiri terbilang mewah untuk ukuran penduduk di sini yang kebanyakan adalah petani. Catnya berwarna putih, walau kotor dan bertumbuhan sedikit lumut di bagian bawahnya. Atapnya memuncak, di sekeliling rumah ada lampu kuning yang remang-remang. Kebetulan hari yang sudah sore dan matahari yang sudah agak tenggelam membuat lampu itu terlihat sangat indah dan menyejukkan mata.
Aku masuk, sebelumnya aku melepas sendalku yang warnanya sudah sangat pudar, bahannya sudah sangat tipis karena gesekan saat berlari. Namun, kulihat tidak ada satu pun dari mereka yang melepas sendal. Aku pun memakainya lagi. Aku lupa, ini bukan rumah ayah.
Sampai di dalam, ramai sekali orang. Yang paling mencolok adalah pria berkepala botak dengan perut yang agak bulat di tengah lapangan, tatapannya selalu mengikutiku ketika aku berjalan mendekati Dan dan Kara yang berdiri di dekat jendela.
"Mau berapa orang lagi kau bawa, Tommy?" tanya Pria Berkepala Botak.
"Sesuai rencana." jawab seseorang yang muncul dari ruang belakang, aku mengenali wajahnya. Tadi dia duduk di samping supir.
"Selamat datang." Seseorang menghampiri kami, orang yang tadi menyupir kendaraan. Dia menyodorkan tangannya, memberikan segulungan perban kepadaku. "Tenangkan diri kalian."
"Terima kasih," kataku. "Brian." ucapku saat aku mengambil barang dari tangannya.
"Pal," katanya singkat.
Aku duduk, memperhatikan luka di lututku yang tampaknya sudah mengering. Sakitnya juga tidak terlalu terasa lagi, kubalut luka itu dengan perban hingga terasa rapat.
Selesai dengan urusan lututku yang luka, aku kembali berdiri. Kulihat di sisi lain ruangan ada seseorang yang sedang menenggak minuman keras, sembari duduk menengok ke luar jendela. Posisi duduknya sangat santai, dia duduk di lantai. Dengan kaki kanan diluruskan, dan kaki kirinya diangkat selutut. Pandangannya sungguh fokus, matanya bercahaya. Seperti seseorang yang sedang merenung dalam.
Aku mendekatinya, duduk di depannya. Dia sama sekali tidak menggubris, masih sibuk dengan lamunannya. Tangan kirinya yang digantung di lutut sedang masih memegang botol minuman keras, yang tampaknya sudah habis isinya.
Aku ikut menatap apa yang dia tatap, tadinya kupikir dia sedang melihat dinding luar. Setelah kuperhatikan lagi, ternyata dia sedang memandangi langit jingga.
"Jangan terlalu tegang." Suaranya yang serak basah mengejutkanku. Dia menaruh botol yang tadi dipegangnya di sampingnya. "Kita akan mati, tinggal menunggu waktu." Dia melanjutkan.
"Maksudmu?" Aku bertanya.
Dia terkekeh, sampai terbatuk-batuk, batuknya lama sampai dia memegang dadanya kesakitan. Dapat kudengar dahaknya yang kasar.