Suara cekikikan Marshal sudah menjadi satu bagian tetap di antara kebisingan sekaligus keheningan kantor ini. Namun, Kana merasa suara cekikikannya seperti bertambah dua kali lipat daripada biasanya. Kana menghentikan jarinya dari kegiatan mengetik laporan. Ia memutuskan untuk bangkit sejenak dan mengecek Marshal.
Di open space, satu tempat yang memang disediakan oleh perusahaan untuk karyawan mereka bersantai, Marshal tampak sedang sibuk bermain bersama seorang anak lain. Anak itu mengenakan seragam yang sama dengan Marshal. Ketika mengamatinya lebih dekat, Kana langsung mengenali anak itu. Matanya terbuka lebar karena terkejut.
"Bunda!" Perhatian Marshal ketika melihat Kana. Ia segera berlari kecil ke arah Kana. Kana pun menangkapnya ke dalam pelukan lalu mencium kedua pipi bulat Marshal yang sedikit kemerahan.
"Acem ih, anak bunda," ujar Kana menggoda Marshal. Si bocah hanya terkekeh geli dan kembali turun dari gendongannya. "Hi, Luke!" Kana duduk di salah satu bean bag di dekat mereka bermain.
"Hi, Aunty!" sahut Luke ceria seperti biasanya.
"Luke, kok bisa ada di sini?"
"Iya, karena Daddy ada urusan."
Bibir Kana mengerut membentuk huruf O. Berarti Jana ada di sini dan mungkin memang ada janji dengan salah satu rekannya. Kana lalu mengawasi mereka bermain.
Sudah hampir sebulan sejak hari pertama sekolah. Ia pikir Marshal tidak akan bisa berteman dekat dengan Luke. Mengingat Luke pernah membuat putranya menangis di hari pertama sekolah. Ternyata dugaan Kana salah. Putranya cukup pemaaf. Sejak saat itu mereka selalu bermain berdua. Bahkan guru mereka juga mengatakan bahwa Luke dan Marshal seperti tidak terpisahkan.
Kana pun ikut memperhatikan Luke. Anak itu punya energi yang lebih besar dibandingkan Marshal. Kana memiliki kekhawatirannya sendiri kalau saja Marshal tidak bisa mengimbanginya. Ia tahu sekali putranya sangat pendiam dan pemalu. Bahkan sampai Kana pernah memeriksakan kondisi Marshal yang ia pikir telat bicara. Marshal juga hampir tidak pernah mau berlari-lari seperti anak lain. Marshal pun tidak suka mengeluarkan suara kencangnya kecuali ketika menangis.
Sekarang justru sebaliknya. Marshal menjadi lebih aktif dan berisik sejak ia bersekolah. Kana semakin sering melihat senyuman cerah dan celotehan Marshal. Semuanya berkat Luke. Ditambah berteman dengan Luke membuat kemampuan Bahasa Inggris Marshal lebih bagus. Jadi, menurut Kana mungkin tidak buruk juga pengaruh energi anak itu.
Hanya saja Kana hampir tidak pernah melihat ibunya. Selalu saja pengasuhnya atau Jana yang menjemput. Pernah sekali Kana melihat wanita lain yang menjemput Luke. Namun melihat penampilannya, Kana berasumsi bahwa wanita itu neneknya.
Kana ingin sekali bertanya tetapi tidak pernah ada kesempatan. Mungkin inilah kesempatan yang tepat, pikirnya.
"Luke, kenapa Luke nggak di rumah saja sama mommy?" tanya Kana pelan-pelan. Luke melirik sekilas. Kemudian bocah itu bergeleng.
"Hm, nggak ada mommy di rumah," jawab Luke dengan .
"Oh, emang mommynya kemana? kerja juga?" tanya Kana lagi. Luke bergeleng sekali lagi.
"No, mommy in heaven." Luke menjawab dengan nada polos khas anak kecil.
Deg!
Perasaan bersalah langsung menyelimuti hati kecil Kana. Kana ingin meminta maaf tapi ia takut Luke malah tidak mengerti mengapa ia meminta maaf.
"Oh... gitu ya...." Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Kana. Luke tampaknya tidak peduli. Ia malah berdiri mengikuti Marshal untuk berlari mengelilingi open space.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOMMY, I Want DADDY!
Romance[ON GOING] Kana menjalankan peran ganda sebagai ibu, ayah, sopir, koki, dan masih banyak peran lainnya demi putra semata wayangnya, Marshal. Sejak perceraian tragisnya bertahun-tahun yang lalu, Kana harus banting tulang demi mengamankan masa depan M...