Sejak hari itu Kana merasa dirinya semakin sering berpapasan dengan Jana. Baik di sekolah saat mengantar jemput Marshal ataupun di kantor. Sebab beberapa kali ia melihat Jana mondar-mandir untuk mengurus proyek ruangan James.
Sesekali ia mampir untuk mengobrol dan minum kopi bersama Kana. Meski hanya obrolan ringan, rasanya sedikit senang memiliki teman bicara yang tidak menghakiminya setiap kali ia berbicara. Terkadang Kana merasa Jana bisa mengerti apa yang ia rasakan sebagai satu-satunya tulang punggung sekaligus tulang rusuk.
"Lo kayaknya akrab banget sama bawahan," celetuk Kana ketika Jana menceritakan kejadian lucu di kantornya. Yaitu saat mereka sedang menghadapi tekanan berat di kantor semua orang menjadi serius, kemudian Jana sengaja datang ke kantor menggunakan atasan tuxedo tapi bawahan kolor. Jana secara sadar melakukannya. Ia hanya ingin membuat pegawainya tertawa.
Kana juga pernah mendengar bahwa pegawai Jana berbicara pada Jana seperti kepada teman akrab. Ia tidak sengaja mencuri dengar saat Jana membawa pegawainya untuk mengecek ruangan James.
Kana sedikit iri mendengarnya. Ia tidak pernah bisa seperti itu dengan bawahannya. Kana sadar bahwa memang ia selalu menekan mereka dengan berbagai macam pekerjaan. Namun, mereka memang dibayar untuk itu, kan?
Kana juga sadar bahwa para stafnya diam-diam membencinya. Kana sebetulnya tidak peduli. Tetapi ia sadari sekarang bahwa ia tidak memiliki teman di sini karena sikapnya yang seperti itu. Mereka bertemu 9 jam sehari dan berada di dalam ruangan yang sama dalam 5 hari seminggu. Terkadang malahan lebih. Namun tidak ada satupun dari mereka yang akrab dengan Kana. Bahkan dengan Andri yang merupakan sekretarisnya saja ia tidak akrab.
Tidak heran jika banyak dari mereka yang berharap dimutasi atau bahkan mengundurkan diri.
"Gue mesti baik sama mereka, kalau nggak ada mereka masa gue kerja sendiri?"
Kana mengangguk. "Bener, sih."
"Tapi," Jana menambahkan. "Baik aja nggak cukup, kita mesti fleksibel, rangkul mereka supaya mereka juga merasa nyaman dan bahagia kerja sama kita. Pegawai bahagia adalah cerminan bisnis yang sukses."
Kana hanya tersenyum pucat mendengarnya. Jana meliriknya penuh selidik. Kana menyeruput kopinya dengan cepat. Jana pun menyeringai kecil.
Keesokan harinya Kana sengaja mampir dan membeli seloyang brownies. Ia membaginya menjadi beberapa potongan, cukup untuk semua staf terdekatnya. Saat coffee break, Kana membagikannya langsung pada mereka.
Semua stafnya jelas keheranan. Terutama Andri. Ketika menerima kue itu ia bahkan bingung bagaimana menanggapinya. Apalagi Kana memberikannya dengan senyuman paling manis.
"Maaf, Bu, saya lupa kalau hari ini ulang tahun Ibu!" Andri menunduk penuh rasa bersalah. Kana memandangnya bingung.
"Enggak, ulang tahun saya kan sudah lewat."
Andri mendongak untuk menatapnya dengan wajah bodoh. "Marshal ulang tahun?"
"Enggak ada yang ulang tahun! Saya cuman mau bagi-bagi aja. Kamu suka brownies, kan?"
Andri sekali lagi tercengang. Ia segera mengangguk dengan gugup. "I-Iya saya suka banget. Terima kasih, Bu. "
Kana tersenyum lagi. Bulu roma Andri sontak berdiri. Ketika Kana kembali ke ruangannya Andri langsung berdoa kepada tuhan untuk tidak mendatangkan kiamat dalam waktu dekat. Sebab ia tidak mau mati dengan status lajang.
. . .
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Marshal sudah menantikan Hari Minggu datang. Setiap bangun tidur Marshal terus bertanya hari apakah hari ini. Kalau jawaban Kana bukan Hari Minggu Marshal langsung tantrum makanya Kana juga sangat menantikan datangnya Hari Minggu. Sebab ia sudah lelah menghadapi tantrum bocah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOMMY, I Want DADDY!
Storie d'amore[ON GOING] Kana menjalankan peran ganda sebagai ibu, ayah, sopir, koki, dan masih banyak peran lainnya demi putra semata wayangnya, Marshal. Sejak perceraian tragisnya bertahun-tahun yang lalu, Kana harus banting tulang demi mengamankan masa depan M...