Prolog

39 18 1
                                    

'Aku menemukan petunjuk. Entah keputusanku benar atau tidak, aku akan tetap pergi. Tampar saja aku kalau kita bertemu, tapi, kuharap tidak. Berbahagialah, Lily.'

Pesan terakhir yang Praksa tinggalkan mengusikku setiap saat. Bahkan fokusku terpecah di sela-sela mengerjakan soal ujian. Aku tidak bisa terus begini. Aku akan mencarinya. Pasti. Hanya saja, aku--kami, harus menunggu hingga saat setelah kelulusan.

Ada hal yang janggal dengan kepergian Praksa. 'Petunjuk' yang dimaksud olehnya ... Petunjuk itu tidak hanya tentang orang-orang dibalik kematian orangtuanya, tetapi sesuatu yang lebih besar.

Beberapa hari yang lalu aku berada di tengah perkelahian dua orang pemuda. Terdengarnya bukan seperti hal yang aneh sebenarnya, selain perkelahian itu terjadi di rumahku. Tidak aneh, sampai kalian melihat kekuatan dari kedua pemuda itu. Tidak, aku tidak sedang berbicara tentang kekuatan fisik. Tapi kekuatan yang memiliki pancaran aura, kalau kalian pernah menonton film laga mungkin kalian tau maksudku.

Pemuda nyentrik yang memiliki rambut merah berkata padaku, "bergabunglah dengan timku! Keputusasaan dirimu begitu besar. Kau pasti akan dapat banyak life poin." Saat itu aku tidak mengatakan apapun, aku berusaha mencerna maksudnya. Sampai pemuda satunya menimpali lebih dulu, "bodoh! Itu hanya rumor." Dia mengatakan itu dengan sarkas. "Benarkah? Tetap saja tidak rugi untuk dicoba," jawab pemuda berambut merah dengan ekspresi tengil yang khas pada dirinya.

Suara ketukan tiga kali pada meja membuatku tersentak dan membuyarkan lamunan kilas balikku. Suara itu berasal dari guru pengawas ujian yang dengan sengaja menepuk meja di tempatnya duduk, suaranya tidak kuat, tapi cukup untuk di dengar seluruh siswa.

"Kalian jarang ribut! Masih ada waktu tiga puluh menit lagi. Ibuk mau keluar sebentar, terserah kalian mau ngapain yang penting jangan ribut! Duduk di tempatnya masing-masing!" Dan benar saja setelah mengatakan itu beliau langsung pergi menuju ke arah tangga, entahlah akan kemana.

Kalau dipikir lagi, sebenarnya ini miris. Tapi apa boleh buat, memangnya siapa yang tidak senang mendapat kesempatan seperti ini disaat ujian? Termasuk diriku sendiri.

Aku masih duduk dengan tenang di tempatku, menilik betapa riuhnya ruangan ini sekarang. Tidak ribut apanya. Aku tidak terlalu terobsesi untuk mendapatkan nilai bagus, yang membuatku panik adalah banyaknya soal yang belum terjawab olehku. Dan untuk mendapatkan jawaban itu, dibandingkan harus mencari contekan di buku atau browsing di internet, aku lebih baik bertanya pada temanku. Tapi, tentu saja, harus orang yang dekat denganku.

Untung saja, ujian kali ini sebagian besar jawabanku sudah terisi, walaupun sempat melamun tadi. Hanya tinggal beberapa soal objektif, tidak masalah, aku akan mengisinya nanti di detik-detik terakhir.

Seseorang menepuk bahuku sembari bersorak, bermaksud mengagetkan. Namun aku tidak kaget, karena tahu akan kedatangannya, dan itu membuatnya bersungut. Tapi aku mengabaikan ekspresinya itu.

"Sudah selesai?" Tanyaku membuka pembicaraan.

"Esai belum, mau liat dong," katanya cengengesan.

Aku menggerakkan daguku, sebagai petunjuk tempat aku meletakkan lembar jawaban esai milikku, "tuh. Liat aja," ucapku memberi izin.

"Yeay! Okey, aku bawa ya?"

"Mmm...Bawa aja, balikin sebelum ibuk datang."

"Iya," ucapnya berangsur pergi setelah mencubit pipiku geram. Baru beberapa langkah berjalan dia kembali lagi.

"Li...," panggilnya. Belum sempat aku menjawab dia kembali berbicara, "ini."

Dia meletakkan sesuatu di atas mejaku. Aku melihat benda itu dengan saksama, merasa tidak asing dengan benda yang dia berikan, lempengan logam berbentuk limas segi lima dengan sisi bagian atas lebih panjang dan lancip. Benda ini merupakan gunungan wayang dengan versi yang lebih kecil sekitar lima senti dan berbahan logam.

 Benda ini merupakan gunungan wayang dengan versi yang lebih kecil sekitar lima senti dan berbahan logam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dapat dari mana!?" Aku bertanya kaget setelah sadar dengan apa yang dia berikan.

"Siapa ya, aku ga tanya namanya. Tapi rambutnya merah."

"Anto?" Tanyaku tidak percaya. Anto adalah satu-satunya orang berambut merah yang pernah aku temui, orang yang sama dengan yang pernah berkelahi di rumahku

"Bukan, dia perempuan,"

"Perempuan?" Dia mengangguk sebagai respon.

Aku mengangguk, tidak ingin membahasnya lebih jauh. Fokus kami sekarang adalah menyelesaikan semua tantangan ujian sekolah hingga pengumuman kelulusan.

"Aku simpan ya. Kita jangan pakai 'tiket' ini kalau nggak terdesak. Kemungkinan mereka satu tim, mereka berbahaya!"

Wringin Lawang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang