2: Tentang Ukiran

29 8 4
                                    

"Jam 11," gumamku. Hari ini aku menyelesaikan ujianku lebih cepat, atau lebih tepatnya aku pasrah dengan jawaban yang aku isikan. Bahkan aku menyelipkan sebait lirik lagu Tailor Swift yang kunandungkan selama ujian berlangsung.

Aku pulang dengan berjalan kaki seperti biasa, begitu pula saat berangkat sekolah. Monoton, dan membosankan. Karena aku menyusuri jalan yang sama sejak aku di Sekolah Dasar. Dari gerbang SMA hanya perlu waktu tiga sampai lima menit berjalan kaki dan aku kini sampai di depan SMP tempatku bersekolah dulu.

Kurang dari 1 kilometer di depanku terdapat jalan rusak. Bagian jalan yang rusak ini menjembatani aliran parit yang cukup besar, mungkin itulah yang menjadi alasan kerusakannya. Sebenarnya, jalan ini sempat diperbaiki saat aku duduk di kelas VII namun tidak rampung. Hanya penggantian pipa untuk aliran airnya dan setelahnya ditimbun oleh tanah, tidak di aspal.

Lambat Laun timbunan tanah itu terkikis. Beberapa kali warga setempat menambah timbunannya dengan pasir yang dimasukan ke dalam karung beras, dan juga menambahkan batang-batang pohon yang disusun secara horizontal. Namun, tetap saja tidak berlangsung lama. Apalagi saat itu jalan ini masih sering dilewati truk.

Untuk sekarang, jalan ini masih bisa dilewati oleh pejalan kaki, meski harus berhati-hati terutama setelah hujan. Kendaraan bermotor sekarang sudah harus memutar arah, melewati jalan yang lain. Walaupun tetap saja beberapa pengendara tetap nekat untuk lewat. Di seberang jalan yang rusak, Aku melihat beberapa orang tua yang sedang menunggu anaknya-anaknya pulang. Yah, itu adalah alternatif lainnya jika tidak ingin memutar arah. Ada sekitar 8 motor di sana dan rata-rata merupakan ibu-ibu.

Salah satu dari mereka menarik perhatianku, seorang ibu dengan motor matic usang yang membawa 3 orang termasuk dirinya. Anaknya yang berusia sekitar 3 tahun tengah merengek karena cuaca  yang cukup panas, dia berdiri pada pijakan kaki pengendara. Sang ibu berusaha mendiamkan anaknya, sesekali dengan meninggikan suara. Anak yang satunya menggunakan seragam khas merah putih SD, Dia menutupi wajahnya dengan papan ujian yang sesekali ia kibas-kibaskan, tangan satunya dia gunakan untuk menutup hidungnya.

Tentu saja, selain jalan yang rusak tadi, sepanjang pinggir jalan ini menjadi tempat pembuangan sampah. Karena memang tempat ini adalah pasar sebelumnya, dan lokasi jalan ini dijadikan tempat pembuangan sampah. Jadi, hingga saat ini, walaupun pasarnya sudah tiada dan didirikan bangunan sekolah, seakan  lumrah membuang sampah di tempat ini, bahkan hingga menutupi badan jalan.

Padahal jalan ini dekat dengan 2 sekolah, yaitu SMA 10 Jati Luhur, dan SMP 3 Jati Luhur. Sekitar 300 meter dari SMP terdapat perpustakaan daerah, dan tidak jauh dari perpustakaan ke arah kanan adalah Kantor Camat. Rasanya kurang apik saja, dan saat aku SMP dulu sekolahku ini sering dijuluki SMP sampah oleh murid dari sekolah lainnya, ya sebabnya adalah sampah yang menumpuk itu.

Dering notifikasi dari aplikasi chatting datang beruntun, aku menghentikan langkahku dengan kesal, merogoh ponselku dan mengambilnya dari saku rok seragam putih abu yang warnanya mulai memudar. 'Wanda🐼' kontaknya menjadi satu-satunya notifikasi yang kulihat di layar kunci. "Ngapa lagi ni bocah," gerutuku.

Wanda🐼:
P
P
P
Oi
Lily
Udah di rumah?
Ayahmu di rumah ga?

Anda:
Hmm


Wanda🐼:
Jir hmm doang. Ditanyain jugak_-

Anda:
Sabar!
Lagi di jalan.
Minggat kalik, dah seminggu ga balek
Kenapa emangnya?


Wanda🐼:
Woyla...
Oke, tar kabarin ya. Aku kesana.
Kita mulai penyelidikan

Anda:
Dih, penyelidikan.
Penyelidikan apaan?

Wringin Lawang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang