3: Omah Punakawan

13 4 9
                                    

"Udah sore nih, gimana, mau balek atau nginap aja? Kau ga dibolehin pulang malam, kan?" tanyaku memastikan. Memecah keheningan setelah dua jam berlalu.

Dari tempatku duduk, aku melirik gambar Wanda. Bukankah tadi dia bilang hanya akan menggambar dasarnya saja? Kenapa sketsa yang di gambarnya sangat rumit. Aku menggerutu dalam hati. Sebenarnya ingin menimpali, tapi moodnya sedang bagus. Jadi kubiarkan saja, dia benar-benar menikmatinya.

"Aduh, iya. Udah sore ya, aku pulang aja deh, susah dapat izin kalau mau nginap mah."

"Oke deh. Gambar Mu gimana, udah selesai?"

"Hampir rampung, kayaknya Aku tau ini apa. Tapi besok aja ya, sekalian Aku mau pastiin dulu. Soalnya ada beberapa yang mirip dengan ini," ucap Wanda sembari memasukkan semua perlengkapannya kembali ke dalam tas.

"Kau gimana, ga balek ke rumah?" tanya Wanda padaku.

"Ga deh, disini dulu aja. Lagipula rumahku di sebelah doang. Nda, ini boleh aku robek ga?" Aku menunjukkan buku yang tadi sempat ku pinjam darinya.

"Boleh-boleh, atau pegang aja dulu buku sama penanya. Besok aja balikin  di sekolah sekalian."

⊹ ࣪ ﹏𓊝﹏𓂁﹏⊹ ࣪

[Fragmen 5: Omah Punakawan]

"Selamat datang Wayangan! Di Lantai Punakawan, Saya Babe Semar penjaga fragmen ini. Saya akan jelaskan jelaskan aturan permainan kalian kali ini. Permainan ini dimainkan oleh tim, satu tim setidaknya diisi oleh dua orang. Itupun jika kalian merasa cukup kuat!"

Suara dari pria bernama Semar itu terdengar lantang berwibawa. Tubuhnya pendek berisi, sedikit buncit. Rambutnya putih dengan jambul di depan, kekanakan. Sorot matanya sendu, tidak kontras dengan senyuman yang terpatri di wajah keriputnya. Hal menarik lainnya, Babe Semar mengenakan cabe sebagai antingnya, tubuhnya ditopang oleh tongkat di tangan kanan yang jarinya selalu menunjuk.

"Terdapat dua sesi  pada fragmen ini. Seperti yang kalian lihat di belakang saya, Permainan akan dilakukan di Lawang Sewu. Bangunan ini punya dua gedung utama yang terpisah. Gedung Ngarep dan Gedung Mburi. Saya akan jelaskan garis besarnya, sesi pertama di Gedung Ngarep kalian harus merebut tiket sebanyak-banyaknya dari makhluk yang ada di ruang bawah tanah. Sesi kedua di Gedung Mburi, kalian harus menemukan portal yang terinstal pada pintu-pintu gedung, portal ini akan membawa kalian ke dunia asal kalian masing masing, tugas kalian adalah memberikan tiket ini kepada orang-orang di sana."

"Untuk apa tiket itu?" Seseorang bertanya di tengah kerumunan, aku tidak dapat melihatnya dari tempatku berdiri. Tapi, dia menanyakan hal yang sama seperti yang sedang aku pikirkan.

"Tiket-tiket itu hanya akan membawa lebih banyak orang ke Dioramtara, pemain-pemain baru, para Wayangan baru," ucap Babe Semar menjawab pertanyaan itu dengan lugas. Senyumnya sedikit luntur, namun tidak sampai hilang.

"Wayangan yang belum memiliki tim silakan membentuk tim terlebih dahulu. Namun sebelum itu, kalian akan dipasangkan gelang Tridatu. Gelang ini akan mendeteksi kecurangan yang terjadi. Akhir-akhir ini banyak wayangan yang menyeludupkan penyusup di pusaka yang mereka bawa. Semoga kalian bukan salah satu dari mereka."

"Bagong!" Panggil Babe Semar melirik  ke arah kanannya, di sana berdiri seorang pemuda yang mirip sekali dengannya. Namun berbeda dengan Babe Semar, pemuda itu memiliki mata yang bulat besar dan mulutnya agak dower.

Bagong mengangguk patuh, tanpa dipinta dia mengerti akan tugasnya. Dengan pasti Bagong memejamkan mata, merapalkan sesuatu, tangan kanannya terangkat sejajar di depan dada dengan telapak tangan yang terbuka.

Aku tersentak saat merasakan sesuatu yang panas menyentuh pergelangan tanganku. Sontak aku mendesis dan langsung menarik tanganku ke depan wajah, kulihat sebuah gelang tridatu sudah melingkar di sana. Gelang itu terbuat dari lilitan tiga utas tali berwarna hitam, merah, dan putih.

Wringin Lawang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang