Aku menemukan petunjuk, saat kau membaca pesan yang kutinggalkan ini mungkin aku sudah pergi ke tempat itu. Atau ... jika belum, segera kejar Aku. Karena jujur, Aku bingung, apakah keputusanku sudah benar? Apapun itu, takdir apa yang akan menungguku nanti, tolong tampar saja aku jika kita bertemu. Tapi, aku harap kita tidak akan bertemu! Berbahagialah, Lily.
***
Mungkin aku sudah membaca catatan ini ratusan kali. Orang bodoh mana yang menyelipkan pesan di buku catatan matematika SMA-nya saat bahkan dia telah lulus. Pada lembar acak yang penuh dengan guratan angka, pesan itu tampak mencolok dengan tinta merah serta tulisan tangan yang berantakan.
Setelah menghilang begitu saja, apakah dia benar-benar berpikir seseorang akan membongkar dan memeriksa tiap halaman buku sekolahnya satu-persatu? yang benar saja! Ya, walaupun aku benar-benar melakukannya. Tapi, setidaknya dia bisa menuliskan pesannya di buku khusus, atau letakkan buku ini secara terpisah di tempat yang strategis.
Dari kalimatnya dia tidak bermaksud menyembunyikan kepergiannya. Tapi, sudah jelas dia juga tidak mau aku mencarinya. Si bodoh itu, dia bahkan menyembunyikan pesannya di tempat yang mustahil untuk diperiksa seseorang. "Kemana kau pergi? bahkan setelah menulis pesan ini untukku pun, kau tidak ingin aku menemukannya, kan?"
Aku meletakkan buku itu asal di atas kasur, lalu dengan langkah pendek berjalan keluar dari kamar Praksa, membiarkan pintunya terbuka. Aku berjalan menuruni anak tangga yang pijakannya terasa dingin. Kesunyian langsung saja kurasakan, dentingan jarum jam terdengar lebih lantang daripada apapun. Aku bertanya dalam hati, "bagaimana Praksa bisa tahan tinggal sendirian di rumah sebesar ini?" Lalu kupikir lagi, mungkin ini alasan yang kuat untuknya pergi?.
Sesampainya di lantai bawah, aku menuju ruang tamu. Ruangan ini tampak sederhana tanpa adanya banyak ornamen, hanya sebuah lukisan dan satu set meja, kursi ukir berbahan dasar kayu jati yang disusun membentuk huruf L. Aku ingat saat kami kecil dulu Praksa pernah bercerita kalau Ayahnya sengaja menempa ukiran khusus pada kursi itu. Dia mengatakan itu setelah aku bertanya kenapa orang tuanya masih perang dingin setelah beberapa hari berlalu.
"Buang kursi itu! Apa yang kau lakukan? Kita sudah sepakat untuk pergi dan meninggalkan semua hal yang berhubungan dengan orang-orang itu!"
"Sayang, dengarkan aku dulu. Kita tidak tau apa yang akan terjadi. Ini yang terakhir, Aku janji."
"Mas, aku ingin hidup tenang."
"Aku juga, aku ingin hidup bahagia denganmu dan anak kita ... Ini jejak terakhir ... mungkin akan mati."
Hanya itu yang dapat aku dengar. Aku hanya menangkap sepotong-sepotong kalimat yang diucapkan ayah Praksa, karena Praksa sudah menarikku menjauh.
Hari itu hari Minggu. Aku, Praksa dan kedua orang tuanya sedang berada di ruang tamu rumah mereka. Kami sedang bermain, aku dengan mainan masak-masakanku dan dia dengan robot-robot miliknya. Kami bermain seakan-akan aku memiliki rumah makan dan robot-robot milik Praksa adalah pelangganku. Setelah diingat-ingat lagi Praksa yang terpaut dua tahun lebih tua dariku tidak pernah mengeluh dengan permintaanku yang saat itu duduk di bangku kelas tiga SD, dan selalu menemaniku bermain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wringin Lawang
FantasyAku menemukan petunjuk, saat kau membaca pesan yang kutinggalkan ini mungkin aku sudah pergi ke tempat itu. Atau ... jika belum, segera kejar aku. Karena jujur, aku bingung, apakah keputusanku sudah benar? Apapun itu, takdir apa yang akan menunggu n...