chapter 23. kehampaan

270 57 1
                                    

Keesokan harinya terasa sangat berbeda bagi Ferrel. Kehampaan menyelimuti hatinya ketika dia tidak menemukan Fiony di depan rumah seperti biasa. Biasanya, Fiony selalu menunggunya dengan senyum manis dan semangat untuk berjalan bersama ke kantor. Namun, pagi itu, hanya ada keheningan yang menyambutnya. Langkah Ferrel terasa berat saat dia berjalan sendirian melewati rumah Fiony. Matanya tertuju pada jendela kamar Fiony yang berada di lantai dua, yang kini tampak sunyi dan tak berpenghuni. Perasaan bersalah dan kerinduan bercampur menjadi satu dalam hatinya.

Saat tiba di kantor, Ferrel merasa sulit untuk fokus pada pekerjaannya. Bayangan Fiony terus menghantuinya, terutama senyum dan tatapan matanya yang selalu penuh kehangatan. Saat jam kerja usai, dia berjalan pulang dengan perasaan yang sama kosongnya. Tak ada lagi Fiony yang menunggunya di depan kantor, mengajak pulang bersama dengan canda tawa yang dulu selalu menghangatkan hatinya. Hari-hari berlalu dalam kehampaan, dan setiap langkah yang diambil Ferrel terasa semakin berat tanpa kehadiran Fiony di sisinya.

Dua hari kemudian, ketika Ferrel baru saja tiba di rumah setelah pulang kerja, dia mendengar adiknya, Sasha, sedang berbicara dengan ibu mereka, Arana, di ruang tamu. Sasha terdengar cemas saat berbicara tentang kakak temannya yang tidak mau makan, wajahnya yang pucat, dan selalu berusaha menyakiti dirinya sendiri. Ferrel mencoba untuk tidak terlalu memikirkan obrolan itu, tetapi saat Sasha menyebut nama "Fiony," langkahnya tiba-tiba terhenti. Nama itu membangkitkan kembali kenangan tentang Fiony yang selalu ceria, dan perasaan bersalah serta kecemasan langsung memenuhi hatinya.

Tanpa berpikir panjang, Ferrel berbalik dan berlari keluar rumah, meninggalkan Sasha dan Arana yang terkejut melihat reaksinya. Ferrel berlari secepat mungkin menuju rumah Fiony, hatinya berdegup kencang karena khawatir. Ketika sampai di depan rumah Fiony, Ferrel langsung mengetuk pintu dengan penuh kegelisahan. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan ibu Fiony, Veranda, muncul di ambang pintu.

"Masuklah, Ferrel," ujar Veranda dengan suara lembut namun penuh kesedihan. "Fiony ada di kamarnya."

Tanpa ragu, Ferrel melangkah masuk dan mengikuti Veranda menuju lantai dua, tempat kamar Fiony berada. Sesampainya di depan pintu kamar Fiony, Ferrel mengetuk pintu dengan lembut. "Fiony, ini aku, Ferrel. Tolong buka pintunya," panggilnya dengan suara penuh harap.

Tidak ada jawaban dari dalam kamar. Ferrel mengetuk lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras. "Fiony, aku ingin bicara denganmu. Kumohon, buka pintunya."

Setelah beberapa saat, Ferrel mendengar suara kunci diputar. Pintu kamar Fiony perlahan terbuka, dan di sana berdiri Fiony dengan wajah yang pucat dan mata yang sembab. Ferrel merasakan dadanya sesak melihat keadaan Fiony yang begitu berbeda dari biasanya. Tanpa berpikir panjang, dia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya.

Fiony duduk di tepi tempat tidurnya, tidak berusaha menutupi keadaannya yang lemah. Ferrel menghampirinya, duduk di sampingnya dengan penuh perhatian. "Fiony, apa yang terjadi? Kenapa kamu seperti ini?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh kekhawatiran.

Fiony hanya diam, tidak menjawab, namun air matanya mulai mengalir lagi. Ferrel meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut. "Aku minta maaf, Fiony. Aku benar-benar minta maaf jika aku membuatmu merasa seperti ini."

Mata Fiony menatap lurus ke depan, seolah dia tidak bisa menatap Ferrel langsung. "Aku... Aku hanya ingin kamu bahagia, Ferrel. Tapi aku terlalu bodoh untuk berpikir bahwa kamu bisa bahagia bersamaku."

Ferrel merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Fiony. "Fiony, kamu penting bagiku. Aku hanya... aku bingung dengan perasaanku sendiri."

Fiony tersenyum lemah, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Kamu tidak perlu khawatir tentang aku, Ferrel. Aku akan baik-baik saja... pada akhirnya."

Ferrel ingin mengatakan lebih banyak, ingin meyakinkan Fiony bahwa dia berharga dan bahwa dia peduli, tetapi kata-kata itu tampak menguap di udara. Akhirnya, dia hanya bisa duduk di samping Fiony, menggenggam tangannya, berharap kehadirannya bisa memberikan sedikit ketenangan pada sahabat masa kecilnya yang tengah terluka.

The pursuit of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang